Senin, 21 April 2008

Kesenian Tradisional Banten Bernafaskan Islam

DN. Halwany


Unsur – unsur agama pada kesenian di Provinsi Banten ini masih sangat menonjol, hal ini mudah dipahami melalui latar belakang Banten yang merupakan Kerajaan Islam yang termasyur dan berkuasa di abad 15 – 16. dan ini mempengaruhi sekali dalam Kesenian-kesenian Banten yang bernuangsakan keislaman diantaranya seperti :

Debus Surosowan

Debus Surosowan yang terkenal dengan atraksi – atraksi yang memukau, menakutkan dan menyeramkan seperti atraksi kekepalan tubuh, yang berupa menusukkan jarum panjang ke dalam pipi kiri hingga tembus ke pipi kanan, menahan sayatan sebilah golok pada lidah dan tubuh, menyiramkan air raksa kesekujur tubuh dan banyak lagi atraksi lainnya.

Rudat

Rudat adalah semacam tarian dengan alat musik berupa ganjring atau terbang besar, rebana dan kecrekan, alat – alat ini ditabuh mengikuti irama lagu arab yang syair-syairnya kebanyakan puji-pujian, yang dilantunkan pada setiap pertunjukan.

Patingtung / Penca Silat

Patingtung adalah sebuah irama musik yang biasa digunakan sebagai pengiring tarian pencak silat biasa, yang terdiri dari dua buah gendang kecil, sebuah gong kecil dan sebuah kulenter, biasanya pertunjukan memperlihatkan kebolehan para pesilat memperagakan kesaktian seperti; memukul, menyerang, bertahan, hingga memamerkan kekebalan seperti; disembelih, ditusuk-tusuk dengan senjata tajam dan lain sebagainya.

Syaman

Biasanya dipertunjukan dalam upacara-upacara adat keagaman. Para pemain duduk berkeliling sambil berdzikir semakin lama irama dzikirnya semakin cepat, kemudian mereka bergerak berkeliling mengikuti irama dzikir mereka.

Terbang Gede

Kesenian ini biasanya dipergunakan dalam pawai arak-arakan, dalam pernikahan atau khitanan dengan irama puji-pujian. Alat yang digunakan adalah sepasang gendang dan tiga buah terbang yang sangat besar.

Ketimpring

Ketimpring adalah alat rebana yang berjumlah 12 buah yang terdiri dari terbang besar dan terbang kecil, akan tetapi yang menjadi alat utama hanyalah empat, yaitu pancer, penelu, penyela dan indung, biasanya yang dibawakan adalah lagu-lagu puji-pujian kata-kata arab. Kesenian ini dipergunakan dalam pawai dan arak-arakan, pesta pernikahan dan khitanan dan lain sebagainya.

Baca Syekh

Baca syekh yaitu pembacaan cerita kehidupan syekh Abdul Kadir Zaelani atau Umar Maya, cerita dibacakan dengan beberapa tahapan jika selesai di bacakan satu tahapan narasuber memberikan penjelasan atau komentar tentang apa yang dibacakan, biasanya bacaan ini merupakan nasehat, bacaan ini ada yang menggunakan bahasa arab ada juga bahasa sunda/jawa.

Panjang Mulud

Salah satu budaya kebanggan masyarakat Banten, ritual ini biasa dilakukan pada saat bulan Maulid Nabi, yaitu memperingati lahirnya nabi Muhammad SAW, biasanya mereka membuat panjang yang berisikan makanan dan telur yang dihias dengan keretas krip yang menyerupai bunga dan banyak ragam hias yang lainnya.

Mawalan

Alat-alat yang digunakan adalah beberapa rebana, kesenian ini dimainkan oleh pria dan wanita, biasanya antara 6 – 8 orang, sebelum acara dimulai ayat-ayat suci Al-qur’an dikumadangkan terlebih dahulu. Kemudian sambil menabuh rebana orang –orang menyanyi, kesenian yang populer ini biasa dipertunjukan pada acara khitanan.

Buka Pintu

Kesenian tradisional buka pintu merupakan salah satu kesenian yang bernafaskan islam yang sampai sekarang masih ada dan merupakan adat yang biasa digunakan pada saat acara pernikahan. Kegiatan ini kurang lebih 30 menit, jumlah permainan 2 sampai 8 orang, pada saat pengantin pria datang ke rumah pengantin wanita maka saat itulah dilakukan buka pintu yaitu melakukan tanya jawab perwakilan pengantin pria dengan perwakilan pengantin wanita dengan menggunakan bahasa arab.

Mawaris

Mawaris hamir sama dengan syaman biasanya dipertunjukan dalam upacara-upacara adat keagaman. Para pemain duduk berkeliling sambil berdzikir semakin lama irama dzikirnya semakin cepat, setelah selesai berzikir bisanya para pemain melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Marhaban

Marhaban adalah sebuah ritual keagamaan yang dipadu dengan kebudayaan, acara marhaban dilakukan pada saat cukuran dan pemberian nama pada bayi, yaitu melantunkan puji-pujian yang semakin lama irama puji-pujiannya semakin cepat, setelah selesai melantukan puji-pujian barulah bayi dipotong rambutnya secara simbolis, pemotongan ramut ini bergiliran.

Teknologi Air Bersih Zaman Kesultanan Banten

DN. Halwany

Serang - Banten Lama banyak menarik perhatian. Pesonanya dipicu cerita kejayaan dan kemakmuran rakyat Banten pada masa lalu. Apalagi sisa kemajuan tadi masih bisa dijumpai di beberapa tempat. Alih-alih membangkitkan nostalgia, situs-situs itu justru menuai kritik dari sana-sini. Ini terjadi akibat benda-benda cagar budaya itu tampak dibiarkan kumuh dan tak terurus. Padahal, bila digarap serius situs Banten Lama berpotensi sebagai daerah tujuan wisata arkeologis. Cuaca siang itu (15/04/2006) terlihat begitu cerah. Hawa panas yang ada sudah cukup membuat keringat bercucuran. Tapi itu tak menyurutkan langkah ku untuk terus mencari dan melihat puing-puing sejarah kejayaan Banten.

Menurut pakar sejarah salah satu komponen persyaratan layak atau tidaknya sesuatu wilayah untuk dapat dijadikan sebagai pemukiman, ialah tersedianya suplai air bersih, dengan merekayasa sumber air yang tersedia di sekitar lingkungannya. Di Banten eksistensi danau Tasikardi yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tirtayasa, merupakan suatu fenomena yang amat menarik. Danau Tasikardi melalui hasil penelitian para arkeolog mengenai aspek fisik maupun aspek fungsi menghasilkan signifikasi yang cukup tinggi terutama dalam aspek fungsinya seperti penunjang kesejahteraan masyarakat, sebagai prasarana kegiatan ekonomi pertanian dan sekaigus sebagai sumber air bersih untuk lingkungan keraton.

Tasikardi terletak kurang lebih 2 km di sebelah tenggara keraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ yang luasnya kurang lebih 5 ha, sementara airnya hanya memenuhi 4 ha dengan kedalaman kurang lebih 1 meter, pada tengahnya terdapat sebuah pulau kecil yang khusus di buat oleh Sultan Tirtayasa untuk ibunda Sultan bertafakur “mendekatkan diri pada Allah”, yang membuat saya kagum dari danau tasikardi adalah tritmen air yang ada di sekitar tasikardi, yakni tritment untuk merubah air yang berwarna merah (campur tanah) menjadi air bersih yang siap pakai, tritmen ini melalui tiga tahapan yaitu tritmen satu (pangindelan abang), tritmen dua (pangindelan putih) dan tritmen tiga (pangindelan emas).

Menurut pakar arkeologi H. Halwany Michrob (almarhum), bahwa teknologi yang ada pada pengolahan air bersih di Banten pada zaman kesultanan merupakan perpaduan antara teknologi belanda dan teknologi cina, ini terlihat dari bentuk bangunan setiap pengindelan dan sistem irigasi yang ada. Di sekitar danau dibangun tembok atau benteng keliling. Areal benteng ini disetiap sudut terdapat pintu air. Berbeda dengan danau-danau yang lain, disini selain untuk pengairan sawah (irigasi) air danau ini juga sebagai air bersih bagi kebutuhan keraton surosowan, bisa dilihat dari saluran air danau yang menuju ke keraton surosowan.

Pulau yang ditengah danau berbentuk segi empat dan diberi tembok keliling setiap sisinya. Terdapat tangga untuk naik disisi sebelah utara, sebuah memandian terletak sebelah timur dengan beberapa anak tangga untuk menuju ke bawah, sekarang yang tersisa hanyalah pondasi bangunan yang terdiri dari batu bata.

Pangindelan Abang

Pangindelan Abang merupakan bangunan penyaring pertama yang menyalurkan air danau ke keraton surosowan, bangunan ini terbuat dari batu bata. Terdapat rongga didalamnya dengan bentuk melengkung, atap ditopang oleh dua buah pilar yang kokoh, panjangnya 18 meter, lebar 6 meter, terdapat satu pintu masuk yang berbentuk melengung dengan tinggi 1,5 meter. Sekarang yang ku lihat hanya genangan air dan sampah yang terdapat didalamnya.

Pangindelan Putih

Pangindelan Putih merupakan bangunan penyaring kedua setelah pangindelan abang. Letaknya sekarang jauh ditengah pesawahan yang menyalurkan air danau ke keraton surosowan, bangunan ini terbuat dan berukuran persis sama dengan pangindelan abang. Hanya saja bentuk banguannya agak sedikit berbeda atap bangunannya berbentuk setengah lingkaran dan terdapat lubang bulat dibagaian belakang. terdapat satu pintu masuk yang berbentuk melengung dengan tinggi 1,2 meter. Tapi aku tidak dapat melihat yang ada didalamnya.

Pangindelan Emas

Pangindelan Emas sekarang hanyalah tinggal puing-puing saja, atapnya sudah hancur dibagian depan terdapat sisa bekas saluran air yang terbuat dari batu bata, bentuk asli bangunan sudah tidak diketahui secara pasti. Pangindelan emas merupakan penyaringan air yang terakhir sebelum masuk kedalam keraton surosowan karena air yang keluar dari pangindelan emas merupakan air yang sudah dalam keadaan bersih dan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Pada masa Sultan Tirtayasa pun danau tasikardi tidak kurang penting, pada tahun 1706 Sultan Banten menerima seorang Belanda bernama Cornelis de Bruin, mereka berdiskusi di pulau tasikardi mengenai perdagangan Banten-Eropa. Begitulah menurut Halwany dalam bukunya ”Penelitian Arkeologi Situs Tasikardi Banten Lama”, dan setelah Banten sebagai pusat kota islam dipindahkan kedudukanya di Serang oleh Belanda tahun 1816, maka fungsi danau tasikardi berakhir tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

Sumber Data :

  1. Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
  2. Halwany Michrob, 1990, Penelitian Arkeologi Situs Tasikardi Banten Lama

3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2005, Inventarisasi dan dokumentasi Benda Cagar Budaya dan Purbakala

Jumat, 18 April 2008

Ceritra Diri

Anak Banten yang bukan Banten

(sebagai pemikiran bagi warga Banten)



Aku lahir dari seorang ibu yang baik dan bijaksana, serta memiliki seorang ayah yang menjadi suri toladan bagi keluarga karena selama hidupnya ia selalu mengabdikan dirinya untuk belajar dan belajar tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang ayah yang menjaga dan membimbing anak-anaknya menjadi orang yang baik dan berguna bagi orang lain. Menurut teman – teman kerja aku keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain, mungkin karena dilahirkan di Pandeglang dan dibesarkan di Serang, sifat bawaan kedaerahaan yang membuat aku seperti itu, tapi semua prilaku yang sekarang terinspirasi dan termotifasi oleh ayahku yang semasa hidupnya ia sangat mendedikasikan pada sejarah dan kebudayaan khususnya Banten, mungkin karena Banten adalah rumah baginya dan tempat lahirnya sehingga ia merasa bahwa Banten harus dikenal ke luar, dalam segi sejarah ataupun kebudayaan karena potensi Banten

Artikel tentang Banten yang ku buat semata-mata bukan karena tahu banyak tentang Banten tetapi karena masih banyak teman, kerabat, sudara dan masyarakat Banten tidak tahu akan sejarah, budaya, dan pariwisata yang ada di Banten. Oleh karena itu saya tergugah untuk membuat sebuah artikel sejarah, budaya ataupun pariwisata di Banten walaupun pengetahuan tentang sejarah, budaya atau parawisata Banten masih terbatas, tapi karena keinginanku untuk memberi tahukan yang ku tahu cukup besar pada masyarakat khususnya Banten sehingga aku mencoba untuk membuat Bloger, mudah-mudahan membawa manfaat yang sangat besar.

Meski artikel ini masih jauh dari sempurna, mohon kiranya para pembaca untuk memberikan komentar dan terinspirasi untuk mempelajari sejarah kebudayaan yang dimilikinya.

Terima kasih.....

Bahasa Jawi Banten (Babasan)

Kule lahir saking ibu sing baik lan bijaksane serte ngederbeni wong tuwe lanang sing dados suri toladan kange keluarge kerane sewaktos maler uripe niku selalu ngabdikaken dirine kangge belajar lan belajar tampe ngelalenaken kodrate selaku wong tuwe lanang sing nge jage lan ngebimbing pecil-pecile dados uwong sing baik lan bergune kange wong lian. Menurut batur batur medamel kule, kule niki keras kepala lan boten ayun mirengaken wong lian, mungkin kerane dilahiraken ning Pandeglang lan digedekaken ning Serang, sifat bawaan kedaerahan sing ngedamel kule sepertos niku, tapi sedanten prilaku sing seniki wenten semanget sing wong tuwe lanang kule sing semase uripe selalu turut serte ning masalah sejarah lan kebudayaan khususe Banten, mungkin kerane Banten niku diangep griye lan tempat lahire sehingge ngerase bahwe Banten kedah dikenal ning luar, ing dalem segi sejarah atanapi kebudayaan kerane potensi Banten sangat berarti.

Wacana tentang Banten sing kule damel niki semate-mate dede kangge sok uning mengenai Banten akan tetapi kule ayun ngisungi uning ning batur-batur sedanten serte masyarakat Banten sing boten uning sejarah, budaya serte pariwisata sing wenten ning Banten. Kange niku kule nyubi ngedamel wacana tentang sejarah, budaya lan pariwisata sing wenten ning Banten, walaupun uninge kule mengenai Banten maler terbatas, tapi kerane keinginan kule cukup gede kangge ngisungi uning ning masyarakat Banten sedanten maka kule nyobi ngedamel Bloger niki menawi wenten manfaate kangge dulur sedanten.

Meski wancana niki tebih saking sempurne, kule ngede maaf maring dulur sedanten kangge niku kule ngende komentar lan sarane kangge kemajuan budaya banten sing kule miliki sareng sareng.

Maturnuhun......


Kamis, 17 April 2008

Arsitektur Kuno Di Banten

DN. Halwany

Gawe Kuta baluarti bata kalawan kawis

Kita bangun kota ini kita bangun benteng ini

Dengan kuatnya batu dan kekarnya karang

Baldatun toyyibatun warobun ghofur


Dewasa ini banyak peninggalan kota lama yang bernilai arsitektur tinggi, dan memiliki nilai historis yang cukup memberikan arti yang mendalam terhadap perkembangan zaman, namun banyak yang kurang terawat dan terjaga oleh pemerintah ataupun masyarakat. Ini disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap Benda Cagar Budaya yang seharusnya sering disosialisasikan kepada masyarakat luas agar masyarakat tahu arti dan manfaat dijaganya Benda Cagar Budaya. Sangat disayangkan bagunan yang terlihat sangat kokoh dan berrciri khas tinggi seperti dapat kita lihat dari struktur bangunan, konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi bangunan lama, tentunya tidak terlepas dari berbagai peristiwa idiologi (keagamaan), politik (lokal, sumer daya), kebudayaan (kontak antar etnis/ras) serta keamanan.

Sebagai mana yang dikatakan oleh H. William Sallers (1984 : 1) reruntuhan dan sisa – sisa bangunan dalam kota kuno itu mungkin akan memperlihatkan suatu kualitas khusus yang kukuh memadai pada masanya, atau kualitas tertentu, lebih spesifik dapat kita lihat dari rancang bangun yang sama sekali tidak lazim, seperti keterampilan masyarakat pembuatnya membentuk sesuatu yang amat langka ditemukan pada bentuk- bentuk umum. Jika dilihat bangunan peninggalan Kota Lama Banten dari mata arsitektur maka banyak terlihat pengaruh dari “luar” serta dipengaruhi pula oleh ekspresi seni, lambang status dan kenyamanan penghuninya pada masa itu. Seperti terlihat pada bangunan – bangunan seperti; Kraton, Mesjid, Menara, Gedung, Jembatan, Benteng, Pelabuhan, Kelenteng, Waduk dan lain sebagainya.

Keraton Kaibon

Komplek Keraton Kaibon atau Kaibuan terletak di Kampung Kroya, pada tahun 1832 Kaibon di bongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, sekarang tinggal pondasi, tembok dan gapura saja. Keraton ini mempunyai sebuh pintu besar yang dinamai pintu dalam. Di pintu gerbang sebelah barat terdapat tembok, pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Padureksa dan Bentar). Apabila dibandingkan dengan arsitektur Keraton Surosowan, maka Keraton Kaibon ini nampak lebih “archaik” terutama apabila di lihat dari rancang bangun pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu Bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang yang menuju pintu bagian keraton yaitu gerbang Padureksa. Dalam konsep arsitektur Hindu pembedaan jenis pintu (Bentar dan Padureksa) mengacu pada jenis dan fungsi bangunan sakral atau profan.

Keraton Surosowan

Komplek Keraton ini sekarang sudah hancur. Yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi sisa-sisa bangunan berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa bangunan pemandian dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambang. Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 – 2 meter dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama dibagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali. Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat sama panjang, dengan luas kurang lebih tiga hekto are, pintu masuk / pintu gerbang berada di sisi utara menghadap ke alun-alun, dan di sisi timur berdasarkan peta dan gambar lama. Pada keempat sudut benteng , kita dapati bagian tembok yang menebal yang menjorok keluar (bastion), sedangkan dibagian sisi sebelah dalam benteng pada keempat sudutnya terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang ada dalam tembok benteng. Dilihat dari gambar dan peta lama diketahui pula bahwa kompek ini dahulunya dikelilingi oleh parit yang digunakan sebagai pertahanan, sekarang parit ini sebagian telah hilang, dan yang masih ada terletak di sebelah bagian selatan dan barat benteng.

Benteng Speelwijk

Benteng ini terletak di kampung Pamarican dekat Pabean. Sekarang sudah hancur, tetapi sebagian dari temboknya masih utuh terutama yang terletak di sisi utara benteng, di atas reruntuhan sisi utara tembok keliling benteng Speelwijk di bagian luar terdapat parit buatan yang mengelilinginya. Benteng Speelwijk terletak kurang lebih 600 m di sebelah barat keraton Surosowan, berbentuk persegi panjang tidak simetik karena setiap sudutnya terdapat Bastion. Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda dan untuk menghormatinya nama yang diberikan pada benteng ini adalah nama pejabat Belanda yaitu Gubenur Jendral Cornelis Janszon Spelman yang bertugas di Banten pada tahun antara 1681 – 1684.

Klenteng China Bio Hud Couw

Klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit, sementara itu menurut catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan Menara Banten. Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah lainnya pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha.

Komplek Masjid Agung Banten

Komplek Masjid terdiri dari bangunan masjid dengan serambi pemakaman dari kiri ke kanan, Bangunan tiyamah, menara dan tempat pemakaman di halaman sisi utara. Bangunan induk masjid ini berdenah segi empat, atapnya merupakan atap bersusun lima, dari kiri dan kanan bangunan ini terdapat masing-masing serambi.

Waduk Tasik Ardi

Dilihat dari sub sistem pemukiman manusia, merupakan salah satu prilaku adaptasi manusia dalam melindungi dirinya dari faktor-faktor lingkungan alam. Salah satu fungsi instruksi dari sub sistem pemukiman yakni; secara spesial sub sistem pemukiman manusia merupakan benteng ruang bagi manusia untuk menyelengarakan sebagian aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Salah satu komponen persyaratan layak atau tidaknya sesuatu bentang ruang untuk dapat dijadikan pemukiman, ialah tersedianya suplai air bersih, dengan merekayasa sumber air yang tersedia di sekitar lingkungannya. Di Banten eksistensi waduk Tasikardi yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tirtayasa, merupakan suatu fenomena yang amat menarik. Waduk Tasikardi melalui hasil penelitian para arkeolog mengenai aspek fisik maupun aspek fungsi menghasilkan signifikasi yang cukup tinggi terutama dalam aspek fungsinya seperti penunjang kesejahteraan masyarakat, sebagai prasarana kegiatan ekonomi pertanian dan sekaigus yang sifatnya rekreatif.

III. Analisia Perencanaan

Dalam proses analisa digunakan metode kualitatif dan kuntitatif terhadap aspek fisik, sosio ekonomi dan sosial budaya. Pada analisa fisik akan diarahkan pada site selection atau seleksi tapak yang menyimpulkan sub kawasan perencanaan yang layak dikembangkan atau sekaligus arahan untuk pembangunannya.

Daerah Pusat Kebudayaan minimal harus mampu memenuhi image dalam menambah pengalaman. Keberadaan Pusat Kebudayaan Banten sebagai salah satu asset untuk pemerintah Propinsi Banten sekaligus sebagai wahana pelestarian, pembinaan dan pengembangan seni budaya Propinsi Banten serta sebagai sarana informasi dan promosi berbagai aspek budaya dan untuk menginventarisir berbagai aspek kebudayaan yang ada di wilayah Banten, mensosialisasikan kepada khalayak umum yang membutuhkan. Oeh karena itu kebudayaan ini dapat mewadahi aktifitas dan kreatifitas para seniman dan budayawan.

IV. Konsep Perencanaan

Dasar perumusan konsepsi perencanaan adalah mencari titik temu antara rencana – rencana, arahan – arahan, dan kebijakan dari atas dengan karakteristik, potensi dan kecendrungan perkembangan dari kawasan perencanaan itu sendiri. Selain itu perlu juga mendapatkan masukan untuk perumusan perencanaan dari instansi – instansi sentral perencanaan – perencanaan sektoral yang berkaitan dengan kawasan perencanaan Pusat Kebudayaan Banten.

Kawasan Pusat Kebudayaan dapat dibagi menurut aspek-aspek bangunan kebutuhan ruang kegiatan Kebudayaan yang ada di wilayah Banten, seperti arsitektur bangunan yang rencana akan digunakan yaitu; Kaibon, Surosowan, Menara Banten, Gedung Kapolres dan gedung-gedung yang memiliki ciri khas bangunan kuno di Banten. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.

Runtuhan sisa-sisa bangunan itu, memperlihatkan suatu kualitas yang kukuh dan kokoh pada masa itu. Dari peninggalan arsitektur Banten lama dapat diperoleh gambaran-gambaran mengenai perkembangan yang terjadi dari masa kemasa jika dilihat dari objek arsitektur yang senantiasa berubah dalam kurun waktu yang cukup lama. Perkembangan kota ditinjau dari perkembangan dan perubahan elemen-elemen primer dengan latar belakang non pisik. Objek ini dapat dimamfaatkan untuk mempelajari pola perkembangan kota dan unsur yang mempengaruhinya, semuanya itu tidak lepas dari pengaruh luar terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan idielogis Kerajaan Banten.

Ternyata masih banyak peninggalan kota lama yang bernilai yang terlantar dan kurang mendapatkan perhatian, padahal peninggalan tersebut memiliki nilai historis yang cukup tinggi dan menjadi bukti kejayaan masa terdahulu serta menjadikan suri tauladan bagi generasi penerus yang akan datang. Sebuah puisi yang dibuat oleh H. Halwany Michrob, yang berbunyi;

Gawe kuta baluarti bata kalawan kawis

Kita bangun kota ini kita bangun benteng ini

Dengan kuatnya bata dan kekarnya karang

Telah lama kita dibenam kemegahan masa silam kelam

Terbisu kata pada pewaris jaya perkasa

Dari sultan ke sultan dari kurun ke kurun sejarah

Berikutnya, tiga abad lenyak ditelan masa

Konon Banten pernah disebut wahanten

Basah bumi dengan bebas berbuah kesuburan

Sungai mengalir deras penuh kemakmuran

Pernah pula Banten disebut katiban inten

Itu pertanda Islam masuk ke jantung sanubari

Kehadirannya laksana sinar pembawa amanah

Cahaya datang memerangi tiang persada

Baldatun toyyibatun warobun ghofur

Negara dan bangsa aman tentram penuh kemesraan

Di bawah lindungan tuhan seru syah sekalian alam

Sumber Data :

  1. Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
  2. Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1996, 30 Tahun Korem 064/Maulana Yusuf Banten

Si Bunda Puisi Banten yang Terlupakan


DN. Halwany

Dewasa ini banyak peninggalan kota lama yang bernilai dan memiliki nilai historis yang dapat menyiarkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah. Ini terlihat dari struktur, konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi kota lama, tentunya tidak terlepas dari berbagai peristiwa idiologi (keagamaan), politik, kebudayaan (kontak antar etnis/ras) serta keamanan. Jika dilihat bangunan kuno peninggalan sejarah di Banten maka banyak terlihat pengaruh dari “luar” dan dipengaruhi pula oleh ekspresi seni, lambang status dan kenyamanan penghuninya pada masa itu. Seperti terlihat pada bangunan – bangunan seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Gedung Timayah, Jembatan Rante, Benteng Speelwijk, Pelabuhan Karangantu, Kelenteng Cina, Waduk Tasikardi, Gedung Kapolres dan gedung-gedung yang memiliki ciri khas bangunan kuno di Banten lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.

Runtuhan sisa-sisa bangunan itu, memperlihatkan suatu kualitas yang kukuh dan kokoh pada masa itu. Dari peninggalan Banten lama dapat diperoleh gambaran-gambaran mengenai perkembangan yang terjadi dari masa kemasa jika dilihat dari objek arsitektur yang senantiasa berubah dalam kurun waktu yang cukup lama. Perkembangan kota ditinjau dari perubahan elemen-elemen primer dengan latar belakang non pisik. Objek ini dapat dimamfaatkan untuk mempelajari pola perkembangan kota dan unsur yang mempengaruhinya, semuanya itu tidak lepas dari pengaruh luar terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan Idielogis Kerajaan Banten pada masa itu. Sebagai mana yang dikatakan oleh H. William Sallers (1984 : 1) reruntuhan dan sisa – sisa bangunan dalam kota kuno itu mungkin akan memperlihatkan suatu kualitas khusus yang kukuh memadai pada masa-nya, atau kualitas tertentu spesifik tersebut berupa rancang bangun yang sama sekali tidak lazim, kualitas keterampilan manusia pembuatnya dalam rinciannya, atau kualitas itu berupa bentuk – bentuk yang amat langka ditemukan pada bentuk - bentuk umum.

Ternyata masih banyak peninggalan kota lama yang bernilai yang terlantar dan kurang mendapatkan perhatian dari masyarkat ataupun pemerintah. Keberadaan peningalan tersebut sebagai salah satu asset untuk pemerintah Propinsi Banten sekaligus sebagai wahana pelestarian, pembinaan dan pengembangan budaya Propinsi Banten serta sebagai sarana pendidikan dan informasi berbagai aspek sejarah dan untuk menginventarisir berbagai aspek kebudayaan yang ada di wilayah Banten.

Keraton Kaibon

Komplek Keraton Kaibon atau Kaibuan terletak di Kampung Kroya, merupakan keraton tempat kediaman ibu Ratu Asyiah, ibunda Sultan Syarifudin. Komplek ini pada tahun 1832 di bongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, sekarang tinggal pondasi, tembok dan gapura saja. Keraton ini mempunyai sebuh pintu besar yang dinamai pintu dalam. Di pintu gerbang sebelah barat terdapat tembok, pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Padureksa dan Bentar).

Apabila dibandingkan dengan arsitektur Keraton Surosowan, maka Keraton Kaibon ini nampak lebih “archaik” terutama apabila di lihat dari rancang bangun pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu Bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbangyang menuju pintu bagian keraton yaitu gerbang Padureksa. Dalam konsep arsitektur Hindu pembedaan jenis pintu (Bentar dan Padureksa) mengacu pada jenis dan fungsi bangunan sakral atau profan.

Keraton Surosowan

Komplek Keraton ini sekarang sudah hancur. Yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi sisa-sisa bangunan berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa bangunan pemandian dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambang. Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 – 2 meter dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama dibagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali.

Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat sama panjang, dengan luas kurang lebih tiga hekto are, pintu masuk / pintu gerbang berada di sisi utara menghadap ke alun-alun, dan di sisi timur berdasarkan peta dan gambar lama. Pada keempat sudut benteng , kita dapati bagian tembok yang menebal yang menjorok keluar (bastion), sedangkan dibagian sisi sebelah dalam benteng pada keempat sudutnya terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang ada dalam tembok benteng. Dilihat dari gambar dan peta lama diketahui pula bahwa kompek ini dahulunya dikelilingi oleh parit yang digunakan sebagai pertahanan, sekarang parit ini sebagian telah hilang, dan yang masih ada terletak di sebelah bagian selatan dan barat benteng.

Berdasarkan sejarah Banten komplek keraton Surosowan di bangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin (1552 –1570), sedangkan tembok benteng dan gerbangnya terbuat dari batu bata dan batu karang dibangun pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570 – 1580).

Benteng Speelwijk

Benteng ini terletak di kampung Pamarican dekat Pabean. Sekarang sudah hancur, tetapi sebagian dari temboknya masih utuh terutama yang terletak di sisi utara benteng, di atas reruntuhan sisi utara tembok keliling benteng Speelwijk di bagian luar terdapat parit buatan yang mengelilinginya.

Benteng Speelwijk terletak kurang lebih 600 m di sebelah barat keraton Surosowan, berbentuk persegi panjang tidak simetik karena setiap sudutnya terdapat Bastion. Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda dan untuk menghormatinya nama yang diberikan pada benteng ini adalah nama pejabat Belanda yaitu Gubenur Jendral Cornelis Janszon Spelman yang bertugas di Banten pada tahun antara 1681 – 1684.

Klenteng China

Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit, sementara itu menurut catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan Menara Banten. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten menurut catatan Cortemunde (1659), Klenteng ini terletak di kampung Pabean dan bangunannya bekas kantor douane (bea cukai) itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw.

Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah lainnya pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha.

Danau Tasikardi

Sub sistem pemukiman manusia, merupakan salah satu prilaku adaptasi manusia dalam melindungi dirinya dari faktor-faktor lingkungan alam. Salah satu fungsi instruksi dari sub sistem pemukiman yakni; secara spesial sub sistem pemukiman manusia merupakan benteng ruang bagi manusia untuk menyelengarakan sebagian aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Salah satu komponen persyaratan layak atau tidaknya sesuatu bentang ruang untuk dapat dijadikan pemukiman, ialah tersedianya suplai air bersih, dengan merekayasa sumber air yang tersedia di sekitar lingkungannya. Di Banten eksistensi waduk Tasikardi yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tirtayasa, merupakan suatu fenomena yang amat menarik. Waduk Tasikardi melalui hasil penelitian para arkeolog mengenai aspek fisik maupun aspek fungsi menghasilkan signifikasi yang cukup tinggi terutama dalam aspek fungsinya seperti penunjang kesejahteraan masyarakat, sebagai prasarana kegiatan ekonomi pertanian dan sekaigus yang sifatnya rekreatif. Tasikardi terletak kurang lebih 2 km di sebelah tenggara kraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ yang luasnya kurang lebih 5 ha yang pada tengahnya terdapat sebuah pulau kecil yang khusus di buat untuk ibunda Sultan bertafakur “mendekatkan diri pada Allah”

Makam Sultan

Kota kerajaan yang semula di Banten Girang dipindahkan ke dekat muara Sungai Cibanten yang kemudian dikenal dengan nama Banten. Pemindahan ibu kota ini setelah Pucuk Umun (Raja Banten) ditaklukkan dan daerahnya diislamkan.

Sultan Hasanudin merupakan raja pertama yang memimpin Kerajaan Islam Banten setelah didirikan oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah yang kemudian berdiam di Gunung Jati, Cirebon. Gelar yang dipangku saat itu adalah Panembahan Maulana Hasanudin. Biasanya sepulang dari berziarah, kebanyakan orang membawa air putih dalam botol kemasan air mineral. Air ini sengaja diletakkan di dekat makam raja ketika dia berwirid atau membaca Al-Quran. Air ini diyakini telah diberkati. Setiap tahun tercatat 12-13 juta orang berdatangan ke kawasan reruntuhan Keraton Kerajaan Islam Banten yang jaya pada abad ke-12. Mereka datang dari berbagai daerah, baik dari luar maupun dari Banten sendiri. Kedatangan mereka selain untuk berwisata, juga untuk mendapat berkah di petilasan kerajaan ini.

Sebelum berziarah ke makam raja, kebiasaan para wisata zarah tidak lupa membeli air mineral untuk meangkap berkah doa-doa. Pulangnya. tidak lupa pula, menyiapkan recehan karena akan diserbu pengemis anak-anak yang merengek dan mengikuti. Sekali memberi recehan, pengemis lain akan mengerubuti.

Masjid Banten

Berdasarkan data yang baik verbal maupun piktoral, Mesjid Agung Banten ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan yang pertama yaitu Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570) yang bergelar “Penembahan Surosowan”, beliau dilahirkan pada tahun 1479 M. Di Cirebon, putra dari perkawinan Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dengan Ratu Kaung Anten. Dan kemudian dilanjutkan pembangunan masjid Agung tersebut oleh putranya yaitu Sultan Maulana Yusuf yang menjadi Sultan ke-II, memerintah antara tahun 1570- 1580 Masehi. Pembangunan masjid secara lengkap mulai dilaksanakan pada tanggal 5, bulan Dzulhizah tahun 966 Hijriah atau 1569 Masehi.

Mendekati lokasi Masjid Agung Banten terdapat reruntuhan Keraton Kaibon yang kini sudah dipagar. Keraton Kaibon dibangun setelah berdirinya Keraton Surosowan yang merupakan keraton utama, tempat raja menjalankan pemerintahannya. Pembangunan kedua keraton itu dibantu arsitek Portugis bernama Cordel yang dianugerahi gelar Tubagus (Tb) Wiraguna.

Peninggalan tersebut ada yang masih utuh dan banyak yang tinggal reruntuhan saja bahkan tidak sedikit yang berupa frgmen-fragmen kecil atau berupa artefak-artefak kecil. Sebelum memasuki wilayah Banten Lama, kita akan banyak jumpai reruntuhan-reruntuhan yang temboknya masih terpelihara, ada yang berupa pintu gerbang, keraton dan banyak lagi yang lainnya yang masih berdiri tegak dengan motif arsitek yang cukup unik, hasil ciptaan para arsitek dari Belanda, Gujarat, dan Cina. Sedangkan di pusat pemerintahan Banten arsitek bernuangsa Islam, karena pada masa itu jaman keemasan Islam di Banten sekitar abad ke XVI - XVIII. Banten Lama letaknya kurang lebih 10 km sebelah utara Kota Serang, dapat di jangkau dengan berbagai jenis kendaraan tampa kesulitan.

Sumber Data :

  1. Halwany Michrob & Mujahid Hudori, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
  2. Festifal Banten 94

3. Halwany Michrob, 1997, Dissertation “Historical Reconstruction and Modern Development of The Islamic City of Banten, Indonesia

4. Hasan M. Ambary & Halwany Microb, 1992, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten

Rabu, 16 April 2008

Kebudayaan Cina Tertua Di Banten


DN. Halwany

Sejarah bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk – bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu. Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.

Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh keterangan serupa bahwa Kleteng kami tertua di Jawa, juga di Indonesia ! ujar Sha Ceng (55 tahun) pengawas sehari-hari klenteng itu.

Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw. Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari 1300 kepala keluarga.

Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.

Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.

Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk (Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.

Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.

Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Baten tidak bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeolodi di Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabialn dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)

Sumber Data :

  1. Halwany Michrob & Mujahid Hudori, 1993, Catatan Masa Lalu Banten

2. Halwany Michrob, 1997, Dissertation “Historical Reconstruction and Modern Development of The Islamic City of Banten, Indonesia

Halwany Michrob, 1993, Ekspor – Impor Di Zaman Kesultanan Banten

Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di Banten


DN. Halwany

Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.

Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.

Peninggalan sejarah yang amat berharga ini namaknya akan selalu menarik untuk diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam.

Keadaan Banten Pra Islam

Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.

Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.

Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)

Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh para akhli belum lengkap.

Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten

Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)

Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34) Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam. (Roesjan;1954:10)

Karena semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Panjang. (Hamka;1976:181) Disamping itu Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf. (Djajadiningrat;1983:163)

Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.

Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.

Sumber Data :

1. Ayatrohaedi, 1980, Masyarakat Sunda Sebelum Islam

2. Djajadiningrat,P.A. Hoesein, 1983, Tinjauan Kritis tentang Sedjarah Banten

3. Halwany Michrob, 1981, Pemugaran dan Penelitian Arkeologi Sebagai Sumer Data Bagi Perkembangan Sejarah Kerajaan Islam Banten 1982, Sejarah Masuknya Islam Ke Banten

4. Hamka, 1967, Sejarah Umat Islam Jilid III

5. Hasan M. Ambary, 1981, Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di Indonesia

Tragedi Berdarah Cilegon 1888

DN. Halwany


Dalam sekala nasional peristiwa Geger Cilegon merupakan peristiwa yang kurang ‘akbar’ dari peperangan yang ada di indonesia namun demikian tetap memiliki relevansi yang aktual dalam mencari pertautan antara peristiwa-peristiwa lokal yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sikuen-sikuen sejarah perjuangan bangsa.

Fenomena sejarah yang kita amati dan kemudian kita uji kebenarannya sebagai interpretasi seperti yang selama ini banyak diperbincangkan. Fenomena tersebut, menyangkut keberadaan dan tragedi dari seorang korban dalam peristiwa yang masyur terdengar di wilayah Banten yakni Pemberontakan Banten 1888 atau Geger Cilegon 1888, yang pada umumnya dikaitkan dengan pemberontakan para petani dengan berkulitkan Panji Panji Islam. Salah seorang korban yang fenomenal dan dianggap kontroversial, yaitu Wedana Cilegon yang bernama lengkap Raden Tjakradiningrat (PAA.Djajadiningrat, 1936:45-55; H.J.G. de Graaf, 1949:429).

Misteri terbunuhnya Raden Tjakradiningrat lebih bersifat khusus, karena mengingat yang bersangkutan menjabat sebagai wedana yang sebagian orang awam beranggapan bahwa Raden Tjakradiningrat adalah pro Belanda dengan kata lain aparat pemerintah penjajah. Tapi masalahnya, sejauh manakah kasus pembunuhan tersebut berkaitan langsung dengan jabatan yang melekat padanya ataukah ada faktor lain, dan bagai mana sejarah secara proporsional dan adil menetapkan posisi tokoh tersebut dalam suatu ketidak berpihakkan yang objektif dan faktual.

Seringkali permasalahan semacam ini mencuat kepermukaan, di tengah kontroversi yang dikaitkan oleh subyektifitas sejarah terhadap para pelaku dan korban peristiwa sejarah. Salah satu subyektifitas sejarah sebagai kisah, adalah sering kalinya rakyat kecil atau tokoh-tokoh selain utama tidak dapat tempat untuk diperbincangkan keberadaaanya, terlebih lagi peran/tindakan yang dilakukannya (J.M. Fowler, 1974:1477). Salah satu keritik Sartono Kartodirdjo terhadap historigrafi kolonial ialah, “bahwa mereka sangat rendah memandang peranan rakyat pada umumnya, para petani pedesaan pada khususnya” (1966:5).

Latar Belakang Peristiwa

Situasi sosial rakyat Banten pada saat itu dalam keresahaan dan kepihatinan, baik karena terjadinya penindasan maupun ketidak adilan yang selalu menimpa masyarakat oleh bangsa penjajah, dan yang merasakan tidak saja para Ulama tetapi hampir seluruh lapisan masyarakat termasuk kalangan petani yang ada di Banten. Pada tanggal 9 Juli 1888 di pagi buta meletuslah peristiwa yang penuh heroisme, yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Cilegon, Perang Kiyai Wasid, Geger Cilegon dan sebagainya. Dukungan peperangan ini berasal dari berbagai kalangan, seperti kalangan ulama, kalangan petani, kalangan pribumi dan Pejabat Pemerintah.

Menurut Sartono Kartodirdjo (1988:49 dst) sejumlah faktor telah ikut menyulut terpicunya perlawanan tersebut, diantaranya (1) fragmentasi kekuatan rakyat serta proliferasi kepemimpinan yang menghalangi pemberontakan bersekala besar, (2) kecendrungan struktural berupa munculnya kepemimpinan yang kuat dan keramat serta terbentuknya jaringan hubungan antara elite religious, (3) penderitaan berkepanjangan dari rakyat Banten sebagai akibat tindakan pemerintah dalam menghadapi wabah penyakit ternak, (4) prilaku aparat pemerintah Belanda (5) bahaya kelaparan, (6) penderitaan rakyat akibat letusan gunung Krakatau, (7) tumbuh gejala anti kafir serta semakin meningkatnya ibadah di kalangan rakyat, (8) diberlakukannya sistem perpajakan baru sebagai pengganti dihapuskannya kerja wajib dan sebagainya.

Pada suatu pagi dini hari tanggal 9 juli 1888 atau 29 sawal 1306 Hijriah, dengan didahului riuh pekik terdengar teriakan sabilillah, pecahlah pemberontakan lokal di Cilegon, dan kota Kewedanaan ini pun berubah menjadi gelanggang pertempuran rakyat dengan penjajah, yang sasaran utamanya adalah seluruh pejabat, baik pribumi maupun bangsa Belanda, dan korban pun mulai berjatuhan paling tidak 17 pejabat pemerintah tewas, dimana 7 diantaranya adalah orang Belanda, dan selebihnya adalah orang pribumi, dan salah satunya Wedana Cilegon yaitu Raden Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur, diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan tokoh pahlawan puncak pergerakaan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut dan perang terjadi selama tiga minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang tertangkap dibuang oleh para penjajah kedaerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur.

Tokoh fenomenal yang menjadi salah salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, Wedana Cilegon, yang menurut PAA. Djajadiningrat “....tempat kediamannya tidak didekat orang Eropah atau dekat Ambtenar boemi-poetra jang lain......” (1936:55). Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu adalah ketika ia akan bermusyawarah dengan para perjuang (peroeseh, Djajadiningrat), namun di antara mereka terdapat seorang tahanan yang sedang menunggu putusan perkara, namanya Kasidin. Kasidin adalah seorang pencuri yang ditangkap oleh Wedana Tjakradiningrat. Catatan Djajdiningrat berikutnya, menunjukkan bahwa ketika Tjakradiningrat dikepung oleh para perjuang, terdengar suara “.....djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !” tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat kemuka terdengar suara “..... ini jang mesti didahoeloekan !” dan pada saat berikutnya Kasidin membacok leher Wedana Tjakradiningrat (PAA. Djajdiningrat, 1936:56).

Paman PAA. Djajadiningrat, yaitu Raden Astrasoetadiningrat mendapati jenazah Raden Tjakradiningrat tampa kepala terbaring dijalanan dekat alun-alun, dan kepalanya ditemukan di tempat yang tidak jauh dari tempat badannya terbaring, bersama dua mayat anak dari assisten Resident. Menurut keterangan yang masih belum pasti kebenarannya, jenazah almarhum Wedana Raden Tjakradiningrat dimakamkan di suatu tempat dekat penjara yang kini telah menjadi pemukiman penduduk, kurang lebih 300 meter di sebelah barat perapatan jalan Raya Cilegon-Anyer-Bojonegara, setidaknya terdapat asumsi bahwa di dalam suatu keributan, pertempuran atau pun anarki, sering kali jatuh korban yang tidak berdosa. Dan Raden Tjakradiningrat salah satu korban yang mati sia-sia karena seharusnya beliau tidak mati oleh orang kita sendiri, sebab ia termasuk pejuang yang saat itu sebagai pejabat di dalam pemerintahan.

Sumber Data :

1. Diet Kramer, 1936, “Herinneringen Van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”