Selasa, 07 Juli 2009

Bertani Adat Leluhur Baduy

DN. Halwany

Masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Luas wilayah keseluruhan pada saat ini, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy adalah 5.101,85 hektar. Namun demikian masyarakat tersebut tetap menjalankan adat istiadat yang diturunkan nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga sekarang masih dapat bertahan di lingkungan alamnya. Cara hidup dan perilaku tradisional di tengah masyarakat yang berkembang menjadi unik dan menarik. Masyarakat Baduy memiliki beberapa kearifan tradisional yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya, antara lain dalam pola pertanian yang khas dan konsep tentang hutan dan kelestariannya. Mereka membagi dan menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan untuk konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan, sebagaimana pada masyarakat Kasepuhan Halimun (Nugraheni & Winata, 2003), dan diduga mereka mempunyai asal usul ataupun hubungan yang erat yang bersumber dari kebudayaan Sunda Hindu kuno peninggalan Kerajaan Pajajaran sekitar 600 tahun yang lalu.

Gambaran Ekologis dan Etnografis Masyarakat Baduy

Bahasa yang mereka gunakan tergolong ke dalam Bahasa Sunda dengan subdialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, agama, dan ceritera nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Kepercayaan masyarakat Baduy yang disebut sebagai ‘Sunda Wiwitan’ berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh Baduy tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladang adalah sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan merekapun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar menawar.

Objek religi terpenting bagi Masyarakat Baduy adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setiap tahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi Masyarakat Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a). Masyarakat Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik). Sedangkan kelompok masyarakat panamping adalah yang dikenal sebagai Baduy Luar yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kadu Ketuk, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Masyarakat Baduy mengenal 2 sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat Baduy. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Baduy yang tertinggi, yaitu Puun.

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah Puun yang ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan oleh Jaro. Di Baduy ada 4 macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

Interaksi Masyarakat Baduy dengan Masyarakat Luar

Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat (Garna, 1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy

Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993). Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).

Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun. Namun demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit ditambah dengan pertambahan penduduk, maka lahan huma yang tersedia juga semakin sempit sehingga dari tahun ke tahun masa bera ladang menjadi semakin pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal tersebut merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy yang tersisa adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau 51% (709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan pemukiman 24,5 ha atau 0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap 2.492 ha atau 49% (Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan untuk bertani dan luas tanah bera bervariasi dari tahun ke tahun.

Secara tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau huma berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam huma tersebut adalah:

1) Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy dalam, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.

2) Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.

3) Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.

4) Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.

5) Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.

6) Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.

Kepemilikan lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk wilayah Baduy Dalam, artinya setiap warga dapat menggarap tanah di wilayah ladang yang manapun dalam luasan yang tak dibatasi, namun hanya sesuai kekuatan tenaga yang mengerjakannya. Sedangkan bagi warga Baduy Luar, selain mengerjakan huma panamping, mereka juga dapat menyewa lahan pertanian milik penduduk non Baduy untuk digarap sesuai adat Baduy. Apabila lahan garapan tersebut kemudian dibeli, maka akan menjadi Huma urang Baduy, yang sepenuhnya menjadi hak milik orang tersebut. Pekerjaan di huma serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy Dalam, yang merupakan huma adat milik bersama dikerjakan secara bersama-sama pula, baik oleh masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pekerjaan di huma serang dilakukan dalam satu hari karena dikerjakan oleh banyak orang dan sarat dengan berbagai upacara adat. Menurut Anas, salah seorang penduduk Cibeo, pekerjaan di huma serang tersebut mengawali pekerjaan di huma lainnya.

Kalender Pertanian

Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001) Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah terlarang.

Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.

Tahap Pengolahan Ladang

Pengolahan ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap. Kegiatan pertanian padi tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy, sehingga setiap kegiatan pada masing-masing tahapan dilakukan dengan upacara adat (Permana, 2001). Tahapan pengolahan ladang tersebut adalah sebagai berikut.

1) Narawas

Narawas adalah merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi huma pada tahun tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih untuk dijadikan huma biasanya berupa reuma (bekas huma yang diberakan cukup lama) ataupun hutan sekunder. Lahan yang dipilih oleh sebuah keluarga biasanya ditandai dengan cara meletakkan batu, batu asahan, ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses memilih lahan maka mereka mengikuti pantangan untuk tidak berbicara kasar, kentut, memakai baju yang bersih dan memakai ikat kepala.

2) Nyacar

Nyacar berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang tumbuh tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon besar agar lahan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan biasanya dilakukan pada bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).

3) Nukuh

Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada proses sebelumnya (nyacar). Pada proses ini hasil tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar matahari, dan setelah kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan untuk kemudian dibakar pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang dijadikan huma terdapat pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan tidak boleh dilakukan sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada saat nyacar, melainkan menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali dengan upacara adat (pembacaan mantera dan pemberian sesaji) yang dilakukan oleh puun dengan maksud agar makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak marah karena tempatnya diganggu manusia.

4) Ngaduruk

Ngaduruk atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan ranting pepohonan yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat ngaduruk juga berpatokan dengan kehadiran bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang ngarangsang kudu ngahuru”, yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang waktu subuh, yang umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu yang tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk setiap onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan kebakaran hutan. Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu memastikan bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu bekas pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.

5) Nyoo Binih

Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan nyoo binih, ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim hujan dan berpatokan pada posisi bintang kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah apabila bintang kidang mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh, yang diistilahkan sebagai kidang muhunan. Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1 hari sebelum penanaman atau ngaseuk. Kegiatan tersebut dimulai dengan menurunkan benih padi dari lumbung, yang dilakukan oleh para wanita. Pelaku harus mengenakan selendang putih, sabuk putih, dan rambutnya disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut dengan suasana hening dan khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan mengucapkan mantra tertentu. Kegiatan menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh istri girang seurat, dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci, yaitu dewi pelindung pertanian dari tidurnya. Setelah menurunkan padi maka padi tersebut diletakkan di tempat yang lapang untuk diinjak-injak dengan telapak kaki di atas tampah agar butir-butirnya terlepas dari tangkai padi, kemudian benih tersebut disimpan di dalam bakul. Pada malam hari salah satu dari bakul tersebut, yang secara simbolis mewakili bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah lapangan untuk diberi mantra oleh para tetua kampung (baris kolot) diiringi serombongan pemain angklung yang semuanya pria dan disaksikan oleh seluruh warga. Benih pada bakul tersebut biasanya kemudian ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal masyarakat Baduy.

6) Ngaseuk

Kata ngaseuk berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu dengan cara membuat lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya, dan menanam benih padi ke dalamnya. Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria dewasa, dan penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.

7) Ngirab Sawan

Arti ngirab sawan secara harafiah adalah membuang sampah atau penyakit. Dalam kegiatan tersebut dilakukan pembersihan ranting dan daun atau tanaman lain (gulma) yang mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan lain yang berhubungan dengan ngirab sawan adalah ‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau membacakan pantun, dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan tersebut terdiri dari campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang, dan kelapa muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus, dicampurkan dengan abu dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan. Pengobatan tersebut adalah tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak 10 kali selama pertumbuhan padi.

8) Ngored dan Meuting

Ngored adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain yang timbuh di antara tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama pertumbuhan padi. Adapun meuting adalah kegiatan menginap di saung huma atau gubug yang dibangun di huma dengan jangka waktu tertentu dalam rangka mengurus dan memelihara tanaman.

9) Mipit

Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dan dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis yang pertama tersebut dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan dan huma panamping.

10) Dibuat

Istilah dibuat dalam pertanian Baduy adalah memotong atau memanen padi dengan mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Pelaksanaannya adalah setelah upacara mipit dan harus dilakukan segera. Apabila terlambat maka hama walang sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan tersebut dilakukan oleh seluruh keluarga, dan selama kegiatan tersebut sampai dengan padi menjadi kering dijemur, seluruh anggota keluarga menginap di huma.

11) Ngunjal

Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk kemudian disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah beberapa hari dikeringkan atau dilantay, disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep). Sebelum diangkut ke kampung, tali pengikat padi diganti dengan tali baru. Pengangkutan hasil padi dilakukan secara bertahap oleh seluruh keluarga. Para pria mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua ikatan besar dan kemudian dipikul dengan menggunakan bambu, sedangkan para wanita membawa padi dengan cara menggendong dengan menggunakan kain.

12) Nganyaran

Nganyaran adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi baru, atau nasi pertama kali hasil dibuat di huma serang. Upacara nganyaran dimulai dengan mengambil 5 ikat padi dari leuit huma serang. Padi tersebut kemudian dibawa ke saung lisung, yaitu tempat menumbuk padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk oleh 5 orang wanita, yaitu para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan bekas puun. Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah masing-masing penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam bakul tempat nasi dan ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian, dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan harinya, nasi tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun untuk diberi mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen dari huma serang yang disediakan di depan golodog bale. Jika padi masih banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal tersebut merupakan suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah Baduy akan berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah terlarang untuk dijual atau diperdagangkan.

Pola Konservasi Hutan Tradisional Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut. Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air (Adimihardja, 2000). Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan DAS tersebut, maka masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan kerusakan ekosistem. Dengan demikian pertanian yang mereka praktekkan adalah pertanian sederhana, sesedikit mungkin mengolah tanah dan hanya untuk kebutuhan bertahan hidup secara subsisten saja. Bekas ladang akan diliarkan kembali dan menjadi hutan belukar, dan seterusnya menjadi hutan sekunder. Selain itu hewan ternak yang berkaki empat juga ditabukan mengingat injakan kaki serta kebutuhan makanan ternak akan daun-daunan dalam jumlah banyak diyakini pula dapat mengganggu kelestarian hutan.

Secara adat istiadat Baduy, hutan dibeda-bedakan berdasarkan peran dan fungsinya sebagai: hutan tua (leuweung kolot ); hutan muda ( leuweung ngora ); semak belukar lebat bekas huma (leuweung reuma ), dan semak belukar ( jami ). Hutan tua ada di wilayah Baduy Dalam dan jauh dari permukiman, sedangkan ketiga jenis hutan lainnya ada di sekitar perkampungan (Garna, 1993). Hutan tua di wilayah Baduy, secara adat dianggap suci dan tabu untuk dieksploitasi oleh manusia, sehingga pengawasannya ditangani oleh puun sebagai ketua adat. Hutan tua tersebut pada umumnya terletak di puncak perbukitan, sehingga Iskandar (1992, dalam Adimihardja, 2000) membagi zonasi hutan sebagaimana tertera pada gambar 2. Zona pertama (I) yang terletak di kaki bukit biasanya diperuntukkan bagi daerah permukiman dan dukuh lembur. Zona berikutnya (II), yang semakin mengarah ke lereng diperuntukkan bagi pertanian atau huma. Sedangkan zona yang terakhir (III) yang terletak di puncak perbukitan merupakan hutan tua. Strategi konservasi hutan secara tradisional pada masyarakat Baduy tersebut juga tercermin dalam penyusunan tata ruang, dalam hal ini susunan perkampungan penduduknya. Perkampungan Baduy dibedakan menjadi kampung Tangtu (Baduy Dalam), Panamping (Baduy Luar), dan Dangka yang terletak diluar wilayah Kanekes. Kampung dangka adalah kampung kecil yang merupakan kantong-kantong penyangga, atau semacam buffer zone pada lapisan terluar, berfungsi sebagai kampung penangkal bagi masuknya pengaruh luar ke wilayah Baduy. Selain itu penduduk kampung dangka juga bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan yang terletak di luar wilayah Baduy, sebagai hutan cadangan untuk kepentingan perluasan perladangan orang Baduy (Adimihardja, 2000). Namun demikian, keberadaan hutan larangan di wilayah dangka tersebut semakin lama semakin sempit, karena berbagai penyerobotan, penjarahan, dan penggundulan yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat di sekitar. Bahkan sejak jaman Belanda, banyak bagian dari hutan larangan di wilayah dangka tersebut yang diubah menjadi perkebunan karet. Dengan demikian fungsi kampung dangka sebagai buffer zone tersebut semakin lama semakin tidak berarti. Menurunnya fungsi dan peranan kampung dangka tersebut tercermin pula dari penurunan jumlah kampung yang ada. Pada awalnya terdapat 9 kampung dangka (Adimihardja, 2000). Pada 1929 jumlah kampung dangka telah menyusut menjadi 7 kampung, dan selanjutnya pada 1975 sampai dengan tahun 2000 hanya tinggal 3 kampung dangka lagi (Makmur, 2001). Sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan pada tahun 2003, hanya tersisa 2 kampung dangka saja. Dengan menyusutnya jumlah kampung dangka maka warga Baduy yang tinggal di kampung dangka kemudian ditarik ke wilayah Kanekes.

Keberlanjutan Ekosistem Baduy

Keberlanjutan ekosistem Baduy yang terdiri dari ekosistem alam dan sistem sosial budaya tergantung dari beberapa faktor. Faktor tersebut bersifat eksternal, apabila datang dari luar komunitas, dan internal apabila berasal dari dalam komunitas. Pada kasus Baduy, gangguan yang merupakan faktor eksternal antara lain adalah ancaman terhadap kelestarian hutan. Luas hutan alam yang merupakan leuweng kolot terus berkurang. Ancaman tersebut dilakukan oleh penduduk luar Baduy. Menurut Jaro Dainah, seorang jaro pamarentah yang tinggal di Kampung Kadu Ketuk, gangguan dari penduduk luar berupa penebangan hutan, penyerobotan tanah, dan pengambilan ikan di sungai dengan mempergunakan racun. Adapun faktor internal yang mengancam kelestarian lingkungan Baduy antara lain adalah pertumbuhan penduduk Baduy yang relatif pesat. Sebagaimana pada data pertambahan jumlah penduduk dari beberapa tahun, pertambahan penduduk adalah sekitar 3,7% per tahun (Iskandar, 1991). Pertambahan penduduk yang pesat tersebut menyebabkan kebutuhan akan sumberdaya alam terus meningkat pula. Sehubungan keberadaan sumberdaya alam seperti lahan pertanian relatif tetap, sedangkan pengusahaan dilakukan terus menerus, maka akan terjadi penurunan kualitas yang terus menerus. Dengan demikian batas daya dukung lingkungan di wilayah Baduy tampaknya akan segera terlampaui. Tanda tersebut antara lain tampak pada jarak waktu penanaman huma atau masa bera yang semakin pendek. Pada waktu yang lampau, bekas ladang yang telah diusahakan akan dibiarkan kembali menjadi semak belukar dan baru akan dibuka dan ditanami kembali setelah 7 sampai 10 tahun. Pada keadaan sekarang, masa bera tersebut menjadi berkurang sehingga 3 sampai 5 tahun. Dengan masa bera yang pendek tersebut, alam belum sempat memperbaiki diri dan mengembalikan kesuburan tanah. Karena praktek tersebut terjadi berulang-ulang, maka terjadi penurunan kesuburan yang signifikan terhadap perladangan di wilayah Baduy.

Faktor internal lain yang berpengaruh adalah cara pertanian tradisional Baduy yang hampir tanpa pemupukan, kecuali abu. Tanpa adanya pemeliharaan terhadap kesuburan tanah seperti pemberian pupuk, dibutuhkan waktu yang relatif lama bagi tanah untuk mengembalikan kesuburan alaminya. Dalam kasus praktek ladang berpindah, maka masa bera atau istirahat bagi lahan akan relatif lama. Untuk perladangan berpindah di wilayah tropika, maka masa bera yang ideal tergantung pada jenis tanah dan kandungan bahan organik tanah, dan berbeda-beda untuk setiap wilayah. Apabila masa berat yang diberikan oleh petani Baduy pada ladang mereka adalah 24 tahun, atau sedikit lebih cepat mengingat adanya pemupukan dari abu bekas bakaran ranting dan daun, maka pola pertanian tersebut akan bersifat berkelanjutan. Hal tersebut tentunya sangat sukar dilaksanakan oleh masyarakat Baduy pada saat sekarang mengingat jumlah penduduk dan luas lahan yang tersedia. Sedangkan lama waktu masa bera yang mungkin terjadi untuk keadaan sekarang akan berdampak pada penurunan kesuburan secara terus menerus.

Penurunan kualitas lahan yang berupa kesuburan tersebut tentunya berdampak pada penurunan hasil panen dari tahun ke tahun. Hal tersebut diakui oleh penduduk Baduy Dalam seperti Narja dan Anas yang berladang di sekitar Kampung Cibeo. Jika dahulu padi hasil ladang mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi semua keluarga secara subsisten maka sekarang ini padi hasil ladang mereka hanya digunakan untuk keperluan adat seperti pada bulan-bulan Kawalu. Sedangkan untuk makanan sehari-hari mereka membeli beras dari perkampungan luar Baduy. Dengan kata lain, pada masa sekarang ini mereka sudah tidak hidup secara subsisten lagi. Penurunan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan di wilayah Baduy tersebut dibuktikan menurut studi simulasi permodelan lingkungan yang dilakukan oleh Iskandar (1991). Berdasarkan data kependudukan dan hasil bumi tahun 1985/1986, di wilayah Baduy diduga terjadi penurunan penduduk secara cepat setelah 27 tahun karena persediaan makanan yang menurun. Ketersediaan makanan akan menurun setelah 20 tahun dan output per hektar lahan akan menurun sebesar 10% setiap 4 tahun. Dalam jangka waktu 50 tahun, jumlah populasi akan mencapai nol. Hal tersebut berarti kepunahan Masyarakat Baduy pada tahun 2035. Selanjutnya perhitungan simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa apabila eksistensi Baduy masih akan dipertahankan maka kelestarian hutan harus dipertahankan, perladangan berpindah dibatasi tempatnya sehingga tidak merambah sisa hutan yang ada, terjadi peningkatan kesuburan tanah dengan perbaikan sistem bertani, dan memperkecil laju kelahiran dari 3,7% per tahun menjadi 2,0%. Dengan demikian, persediaan makanan akan bertambah lagi dan setelah 50 tahun Masyarakat Baduy masih akan eksis (Iskandar, 1991). Dengan pola yang ada maka ekosistem Baduy tidak bersifat berkelanjutan kecuali terjadi perubahan dan adaptasi dari sistem sosial mereka. Mengingat adat istiadat yang bersifat ‘bertahan dari segala perubahan’ atau sedapat mungkin menolak perubahan maka keadaan tersebut menjadi kritis bagi eksistensi Baduy.

Senin, 06 Juli 2009

Prasasti Masa Islam Di Pandeglang

DN. Halwany

Banten memang dikenal kaya akan potensi wisata spiritual. Seperti daerah Banten Lama di Kabupaten Serang misalnya, dikunjungi ratusan hingga ribuan wisatawan setiap liburan karena memiliki kawasan wisata peninggalan Sultan Banten seperti; Benteng Surosowan, Mesjid Agung, Klenteng Kuno, dan sejumlah makam keluarga Sultan Hasanudin. Kabupaten Pandeglang yang mempunyai kondisi alam yang indah dan sejuk dengan penduduknya yang ramah tamah dan taat beribadah membuat betah berada di daerah tersebut lingkungannya yang asri dan tertata rapih, berjarak 20 km dari Kota Serang, juga dikenal karena memiliki kawasan wisata Gunung Karang. Dalam buku potensi usaha pariwisata Kabupaten Pandeglang, yang diterbitkan tujuh tahun silam, disebutkan bahwa kawasan wisata Gunung Karang memiliki tiga objek kunjungan. Objek kunjungan pertama disebut Sumur Tujuh, Objek kunjungan kedua disebut pemandian air panas Cisolong, Obyek kunjungan ketiga Kolam Renang Cikoromoi yang dilengkapi tempat penziarahan Cibulakan. Objek penziarahan menjadi menarik diamati pengunjung karena di kolam pemandiannya terdapat Batu Qur'an, batu berukuran besar yang terletak di dasar kolam dan bertuliskan huruf-huruf arab. Diperkirakan batu bertuliskan huruf arab itu sudah berusia lebih 5 abad.

Pada kesempatan kali ini saya mencoba untuk menyjabarkan dan membuka tabir di daerah Pandeglang-Banten. Sebelumnya daerah Pandeglang diperkirakan sebagai daerah yang kurang menyimpan kepurbakalaan. Ternyata setelah melihat dan terjun dalam waktu yang relatif singkat sudah terkumpul data-data dan informasi tentang beberapa peninggalan kepurbakalaan sejak dari masa prasejarah hingga masa kini, waktu mencari informasi kami hanya beberapa hari saja untuk mencari data-data tentang prasasti masa Islam saat berjaya dan sampai dimana kekuasaan kerajaan Islam di bumi bagian selatan tanah Banten ini. Menurut hubungannya antara masa Islam dan praislam. Dapat kita lihat dari sisa-sisa prasejarah akan ditemui dibeberapa tempat mulai didaerah Cibulakan dan daerah Cimanuk. Di daerah Cibulakan akan kita temui situs Megalitik yang dikenal dengan Batu Quran, daerah tersebut menurut cerita setempat adalah berasal dari munculnya seorang tokoh penyebar agama Islam. Ada altar yang konon ada hubungannya dengan meiram. Sedang tempat munculnya tokoh tadi sekarang ditutup oleh sebuah batu yang konon menurut ceritanya berasal dari batu yang ada tulisan dalamnya. Jika dibandingkan dengan ketiga objek kunjungan tersebut yang paling banyak dikunjungi adalah objek kunjungan Batu Qur'an dan Sumur Tujuh terlehih pada hari-hari besar Islam yang sering dikunjungi umat Islam, seperti Maulud Nabi Muhammad, 1 Muharam, menjelang Ramadhan, Idul Fitri atau Idul Adha. Ribuan umat Islam selalu mengunjungi kedua objek wisata spritual itu, karena sejarah keberadaan objek wisata Sumur Tujuh dan Batu Qur'an konon erat kaitannya dengan kegiatan keluarga Sultan Banten dalam penyebaran Islam di abad ke-15.

Menurut cerita masyarakat setempat bahwa adanya batu tulis Qur’an karena Ki Mansyur, adapun Ki Mansyur yang juga disebut Maulana Mansyur oleh warga masyarakat Banten memang salah seorang ulama pemberani, cerdas, piawai dalam memainkan alat-alat kesenian bernapaskan Islam. Di masa kejayaan Sultan Hasanudin, Ki Mansyur yang juga cakap dalam ilmu pertanian dan komunikasi, beliau diserahi tugas untuk menjaga kawasan Islam Banten Selatan dan berdomisili di Cikaduen. Selama di Cikaduen, Ki Mansyur mewariskan banyak ilmu kepada warga Banten Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernapaskan Islam yang ditinggalkannya dan hingga kini masih lestari adalah seni Rampak Bedug, kesenian tradisional yang mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di bulan Ramadhan untuk membangunkan warga untuk makan sahur. Kesenian itu juga digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan masyarakat Pandeglang menjelang Ki Mansyur menyampaikan pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki Mansyur juga mewariskan ilmu debus, kesenian yang inti sarinya bersumber dari Al-Qur'an yang bertujuan untuk penyebaran Islam. Kini Ki Mansyur bersama istrinya bersemayam di Cikaduen. Melihat bentuk nisan pada makamnya Ki Mansur biasa saja, tidak bercungkup dan dikelilingi oleh tembok. Pasangan nisan pada bagian kepala dan bagian kaki memiliki perbedaan, Nisan kepala mempunyai bentuk dan hiasan yang jarang ditemui pada nisan-nisan biasanya, sedangkan nisan kakinya ada beberapa persamaannya dengan hiasan yang ada pada nisan-nisan di daerah Demak. Tidak terdapat tulisan, hanya pada nisan bagian kepala terdapat Lafad Allah dan Muhamad.

Lokasi pemandian Batu Qur'an terletak di kaki Gunung Karang, tepatnya di Desa Kadubumbang, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Lokasi pemandian memang sangat sederhana. Hanya ada sebuah kolam, tetapi, jika liburan panjang tiba, orang berdatangan ke pemandian tersebut hingga antre. Pengunjung selalu dibuat takjub. Menurut cerita kuncen, petugas penjaga pemandian Cibulakan, air kolam pemandian yang dalamnya hanya sekitar 1,5 meter hingga dasar kolam tak bisa kering sekalipun musim kemarau berlangsung panjang. Prof Dr Muarif Ambari dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga pernah mempelajari bagaimana mengeringkan kolam Cibulakan, kemudian Batu Qur'an yang ada diteliti asal-muasalnya. Ternyata sulit memang menyibak misteri yang ada disana. Pasalnya, air Cibulakan tak mudah kering kendati disedot pipa air bertekanan ratusan kubik per jam. Akibatnya, para ahli sejarah kepurbakalaan yakin bahwa batu bertulisan huruf-huruf Al-Qur'an yang ada di batu-batu di dasar kolam Cibulakan sengaja dibuat oleh pengikut Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu telah dijadikan media pengikut Sultan untuk warga Banten tentang bagaimana menghormati air untuk diminum, bagaimana menghormati air untuk dijadikan wudhu, dan bagaimana menjadikan air sebagai modal kehidupan. Batu-batu berhuruf Arab itu lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di pinggiran batu tersebut, terdapat sejumlah mata air yang deras dan bening airnya. Di lokasi itulah pula pengunjung sering berlama-lama berendam.

Setiap hari libur terutama jika saat Maulud Nabi Muhammad tiba, puluhan bus ukuran besar dari berbagai kota parkir di lokasi wisata penziarahan makam Ki Mansyur di Cikaduen, Pandeglang. Setelah mengunjungi makam Ki Mansyur, para wisatawan juga kerap menyempatkan diri berendam di kolam Cibulakan. Ketika pulang, pengunjung pun membawa oleh-oleh botol berisi air dari kolam Cibulakan. Dan kegiatan itu sepertinya sudah mejadi tradisi yang berlangsung lama. Hasilnya pun menakjubkan. Karena sangat yakin (sugesti) air kolam pemandian Batu Qur'an bisa dijadikan obat, banyak pengunjung yang semula menderita penyakit kulit kini sembuh. Ada yang sangat yakin, jika berendam di sekitar batu Qur'an tersebut penyakit kulit yang ada di tubuh akan mudah disembuhkan. Ada juga yang sering berendam di kolam Cibulakan kulit akan menjadi lebih bersih karena air kolam Cibulakan mengandung unsur obat kimia yang bisa menghaluskan kulit. Air kolam Cibulakan bisa dijadikan media penyembuhan beragam bentuk penyakit, semua cerita itu dari mulut ke mulut sehingga Cibulakan jadi termasyur, banyak hal bahwa batu Qur'an yang ada di kolam Cibulakan merupakan peninggalan Ki Mansyur, seorang ulama terkenal di zaman Kesultanan Banten abad ke-15.

Diharapkan dengan adanya berita atau naskah-naskah kuno didaerah Pandeglang dapat membantu membuka tabir misteri objek wisata spiritual kolam pemandian Batu Qur'an Cibulakan ataupun objek wisata yang alinnya di Pandeglang, sehingga data-data arkeologis yang ada akan menambah khasanah nuangsa budaya bangsa yang selama ini masih terpendam.

KH. Asnawi Caringin - Banten

DN. Halwany


Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita KH. ASNAWI yakni seorang ulama besar yang gigih penuh dedikasi menyerahkan jiwa raganya untuk kepentingan umat manusia, kebanyakan orang memanggil dengan sebutan “mama Asnawi” yang telah mengayomi masyarakat yang dianalogikan sebagai pohon beringin. Mensurut ceritanya beliau adalah salah seorang yang menyebarkan agama Islam di derah Banten. Sekarang tinggal peninggalannya berupa Maqom Auliyaillah, beliau memang seorang ulama pejuang dari Caringin yang sekarang banyak berdatangan wisatawan untuk berzirah atau untuk mengetahui sejauh mana sepak terjang beliau didalam pengisamisasian masyarakat khususnya di Banten.


KH. Asnawi lahir di Kampung Caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah. Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim KH. Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani. Karena kecerdasan yang di miliki beliau dengan mudah mampu menyerap berbagai disiplin ilmu yang telah di berikan oleh gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari sang syech maka Syech Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya KH. Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Alloh ini.


Sekembalinya dari Mekkah KH. Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah, karena kepiyawaian dalam berdakwah dan ilmu yang dimilikinya nama KH. Asnawi mulai ramai dikenal serta dibicarakan orang, beliau menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat khususnya Banten. Pada saat itupula tanah air kita masih di kuasai Penjajah Belanda. Rusaknya moral dan mental masyarakat Banten pada waktu itu membuat KH. Asnawi menjadi garang serta menyulut kobaran api kemerdekaan pada setiap dakwahnya. Hal ini sering mendapat KH. Asnawi diancaman oleh pihak-pihak yang merasa kebebasannya terusik. Banten yang terkenal dengan jawara-jawaranya yang memiliki ilmu kanuragan dari dahulu terkenal sangat sadis dan bengis, dapat di taklukkan oleh KH. Asnawi, dan berkat beliau kegigihan dan perjuangannya menjadi terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat disegani oleh kaum Penjajah Beland. KH. Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya KH. Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan ke Cianjur oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda, Apa yang dilakukan KH. Asnawi mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.


Selama di pengasingan KH. Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Al-Quran dan Tarekat kepada masyarakat sekitar dan setelah dirasa aman KH. Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884 Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan yang di bawa oleh KH. Asnawi ke Caringin dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya KH. Asnawi berdo’a memohon kepada Alloh agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa KH. Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.


Tahun 1937 KH. Asnawi berpulang kerahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj. Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ), di maqomkan di Masjid Salfiah Caringin, hingga kini Masjid Salafiah Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut. Wallohu a’lam