Kamis, 25 Juni 2009

Pernikahan Adat Banten




DN. Halwany


Indonesia memang kaya akan kebudayaan dan adat istiadatnya yang kental melingkupi kita. Bisa dibilang sebagai orang Indonesia asli, budaya dan adat istiadat, baik yang diturunkan oleh orang tua atau yang kita terapkan dari lingkungan akan selalu digunakan seiring berjalannya kehidupan kita. Sebagai bukti, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan acara prosesi adat pernikahan bahkan sampai meninggal pun prosesi adat kerap kita jumpai. Hebatnya lagi, tiap daerah di Indonesia memiliki prosesi atau adat istiadat yang berbeda-beda walaupun wilayahnya berdekatan, seperti Prosesi Adat Pernikahan Banten, propinsi yang diapit oleh Jakarta dan Jawa Barat ini memiliki nuansa budaya tersendiri dalam melangsungkan pernikahan.

.

Banten memiliki 3 adat pernikahan yaitu, Banten Kebesaran, Banten Lestari dan Banten Gaya Tangerang. Kesemuanya memiliki ke-khasannya masing-masing, tapi untuk kali ini yang akan diulas adalah Prosesi Adat Pernikahan Banten Kebesaran. Dalam prosesi ini, orang tua kedua calon mempelai menjunjung tinggi norma-norma agama, dalam hal ini agama Islam. Untuk menjaga diri dari pergaulan yang tak pantas, pihak perempuan tidak lazim berdekatan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Maka peranan orang tua sangatlah dibutuhkan untuk menjembatani keinginan putra-putri mereka. Untuk itu di Banten dikenal dengan istilah Nakeni, adat asli Banten, dimana pihak keluarga perempuan mendahului datang ke tempat orang tua laki-laki, yang dianggap pantas untuk menjadi calon menantunya, untuk mempertanyakan, apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon istri atau belum. Tapi pada perkembangan saat ini, adat Nakeni di Banten dijadikan suatu upaya untuk mempersatukan keduanya dalam ikatan pernikahan, sehingga terhindar dari hal-hal yang melanggar norma agama.


Tahapan selanjutnya adalah Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah disampaikan pada upacara Nakeni, yakni pihak keluarga wanita mendahului datang ke tempat orang tua laki-laki yang dianggap pantas untuk menjadi calon menantunya. Tujuannya untuk mempertanyakan apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon istri atau belum. Tapi pada perkembangan saat ini, adat Nakeni di Banten dijadikan suatu upaya untuk mempersatukan keduanya dalam ikatan pernikahan, sehingga terhindar dari hal-hal yang melanggar norma agama. Tahapan selanjutnya adalah Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah disampaikan pada upacara Nakeni. Wakil orang tua calon pengantin laki-laki berkunjung pada calon pengantin perempuan. Maksudnya untuk melamar dan menentukan hari baik untuk pernikahan. Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat pakaian perempuan. Wakil orang tua calon pengantin laki-laki berkunjung pada calon pengantin perempuan, untuk melamar dan menentukan hari baik untuk pernikahan. Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat pakaian perempuan.


Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki melaksanakan akad nikah. Namun sebelumnya ada upacara Mapag Pengantin atau upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi ini pengatin disambut dengan tarian penyambutan khas daerah Banten. Dalam prosesi akad nikah, pengantin perempuan tidak disandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah selesai pelaksanaan akad nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga dan handai taulan, pengatin laki-laki pulang ke rumahnya untuk mengikuti acara adat yang akan berlangsung pada malam harinya. Sedangkan pengantin perempuan dan keluarganya tetap di rumah untuk mempersiapkan upacara Mapag Jawadah.


Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki melaksanakan Akad Nikah. Namun sebelumnya ada upacara Mapag Pengantin atau upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi ini pengatin disambut dengan tarian penyambutan khas daerah Banten. Dalam Prosesi Akad Nikah, pengantin perempuan tidak disandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah selesai pelaksanaan Akad Nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga dan handai taulan, pengatin laki-laki pulang ke rumahnya untuk mengikuti acara adat yang akan berlangsung pada malam harinya. Sedangkan pengantin perempuan dan keluarganya tetap di rumah untuk mempersiapkan upacra Mapag Jawadah. Masih dihari yang sama, pada malam harinya diadakan prosesi adat Mapag Jawadah (Juadah). Prosesi ini merupakan penjemputan Jawadah atau makanan kecil berbagai jenis seperti kue lapis, pisang setandan, tebu wulung, tumpeng kecil dari beras ketan, dan sebagainya dari rumah keluarga pengantin laki-laki. Pengantin perempuan bersama keluarganya meyambangi ke kediamam pengantin laki-laki untuk selajutnya membawa jawadah. Selama Mapag Jawadah, sepanjang perjalanan sambil bershalawat. Kedua pengantin selajutnya diarak menuju ke rumah pengatin perempuan yang didampingi keluarga kedua belah pihak serta membawa Jawadah. Sambil diringi lantunan Marhaban, kedua pengantin juga bermaksud diperkenalkan dengan masyarakat sekitar. Setelah tiba di kediaman pengantin perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengatin perempuan dibawa masuk ke dalam rumah sedangkan pengantin laki-laki menunggu di depan pintu yang diberi tirai. Pelaksanaan buka pintu dilakukan oleh rombongan Fakih, yang lazim disebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang diselingi dengan kata-kata menggoda pengantin.


Prosesi selanjutnya adalah Ngeroncong (Nyembah). Kedua mempelai duduk di pelaminan, di depannya ada wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang. Keluarga dan handai taulan bergantian melemparkan atau memberi uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru. Selanjutnya melakukan prosesi Ngedulagi dengan maksud menyatukan kedua pengantin. Yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau Ngarak Pengantin, dengan dimeriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa dan pujian kehadirat Illahi. Pengantin pun berjalan berkeliling menyalami tamu undangan dan masyarakat sekitar.


Kedua penagatin selajutnya diarak menuju ke rumah pengatin perempuan yang didampingi keluarga kedua belah pihak serta membawa Jawadah. Sambil diringi lantunan Marhaban, kedua pengantin juga bermaksud diperkenalkan dengan masyarakat sekitar.


Setelah tiba di kediaman pengantin perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengatin perempuan dibawa masuk kedalam rumah sedangkan pengatin laki-laki menunggu di depan pintu yang diberi tirai. Pelaksanaan Buka Pintu dilakuakan oleh rombongan Fakih, yang lazim disebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang diselingi dengan kata-kata menggoda pengantin.


Prosesi selanjutnya adalah Ngeroncong (Nyembah). Kedua mempelai duduk dipelaminan, di depannya ada wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang. Keluarga dan handai taulan bergatian melemparkan atau memberi uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru. Selanjutnya melakukan prosesi Ngedulagi, denga maksud menyatukan kedua pengantin.


Yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau Ngarak Pengantin, dengan dimeriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa dan pujian kehadirat Ilahi. Pengantin pun berjalan berkeliling menyalami tamu undangan dan masyarakat sekitar.


Dalam adat Banten Kebesaran pakai pernikahan untuk kedua pengantin, menggunakan bahan bludru, umumnya berwana hijau, bisa juga hitam dengan dihiasi motif emas . Hiasan kepala pengantin laki-laki disebut Makutaraja sedangkan yang perempuan Makuta. dan pengantin laki-laki membawa tombak pendek, bukan keris lazimnya masyrakat pulau Jawa. Walaupun pernah menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat, namun Banten mempunyai bahasa sendiri yaitu pencampuran dari bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Selain itu prosesi adat di Banten tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran Islam, hal ini dikarenakan Banten pernah menjadi kerajaan Islam tertua di Nusantara.


Semua kegiatan perkawinan tersebut tidak terlepas dari budaya yang bernuangsakan keIsalaman, namuan dalam hal ini perkawinan adat Banten banyak mengadopsi perkawinan adat Jawa Barat dan Cirebon dikarenakan daerah tersebut sudah lama hidup dan berkembang dalam hal budaya atau dengan katalain berinteraksi dengan masyarakat Banten. namun Banten mempunyai bahasa sendiri yaitu pencampuran dari Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa. Selain itu prosesi adat di Banten tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran Islam, hal ini dikarenakan Banten pernah menjadi kerajaan Islam tertua di Nusantara.

Lapangan Terbang Gorda Peninggalan Jepang Di Banten

DN. Halwany

Banyak peninggalan bernilai tinggi, dan memiliki nilai historis yang cukup memberikan arti yang mendalam terhadap perkembangan zaman, namun banyak yang kurang terawat dan terjaga oleh pemerintah ataupun masyarakat. Ini disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap Benda Cagar Budaya yang seharusnya sering disosialisasikan kepada masyarakat luas agar masyarakat tahu arti dan manfaat dijaganya Benda Cagar Budaya. Sangat disayangkan bagunan yang terlihat sangat kokoh dan berrciri khas tinggi seperti dapat kita lihat dari struktur bangunan, konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi. Salah satunya Lapangan Terbang Gorda

Saya akan mencoba memaparkan tentang lapangan terbang gorda yang keterangan serta data diperoleh dari penduduk setempat, saat itu lapangan terbang Gorda sebagai lapangan terbang militer hanya digunakan secara insidentil dan tidak banyak orang tahu, bahkan penduduk Banten sendiripun banyak yang tidak mengetahui fungsi dan latar belakang sejarahnya dibangunya lapangan terbang tersebut. Padahal lapangan terbang tersebut memiliki nilai sejarah dan salah satu peninggalan Jepang pada perang dunia II di wilayah Banten. Sekarang lapangan tersebut dikelola oleh AURI dan seorang perwira yang ditunjukoleh AURI sebagai komandan pangkalan udara disana. Letak lapangan terbang gorda berada di daerah Cirenang sekitar 6 km dari jalan raya Jakarta-Merak, tetapi akan sulit untuk melihat kesana karena sarana dan pra sarana jalan menuju kesana sangatlah buruk. Apa lagi jika musim penghujan jalan menuju kesana becek dan licin.

Gorda yang terletak sekitar 30 km disebelah timur Kota Serang – Banten, sebenarnya memiliki rangkaian sejarah dalam perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Ratusan bahkan ribuan pekerja yang didatangkan dari bebagai daerah di nusantara pada waktu itu menemui ajalnya disana. Mereka dijadikan pekerja paksa yang dikenal pada waktu itu dengan sebutan Romusa, mereka dipaksa bekerja untuk kepentingan serdadu Dai Nippon untuk membangun lapangan terbang di tengah sawah dan selesai dalam waktu yang singkat sekitar satu tahun itupun dengan cucuran darah dan air mata.

Menurut saksi mata pada waktu itu ribuan rakyat menjadi korban atas kekejaman serdadu Jepang, akan tetapi kita tidak akan menemukan batu nisan disana, kata orang tua yang bertempat tinggal di dekat lokasi lapangan terbang tersebut. Namun menurut saksi mata yang lain menyatakan bahwa saat itu sangatlah biadab dan kejam, kekejaman kerja paksa (romusa) membuat hati bergetar dan bulukuduk berdiri hutan ketoe sebagai tempat perkuburan massal rakyat jelata yang tak berdosa berlokasi tidak jauh dari lapangan terbang tesebut, dalam proses penguburannya satu lubang untuk tiga atau empat orang mayat dan setiap hari puluhan mayat dikuburkan disana tidak pernah tidak setiap hari ada saja yang mati dan dikuburkan disana.

Pada saat itu saat para pekerja paksa melakukan pekerjaannya bagaikan gelandangan karena pakaian yang mereka pakai compang camping dan banyak yang mengunakan bahan pakian dari karung goni, serta tidak sedikit yang tidak berpakaian atau bertelanjang dada, mereka diberikan jatah beras sehari 200 gram per orang dengan lauk pauk seadanya, tetapi pekerjaan non stop dari pagi hari hingga sore hari, dan jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan mereka di pukul dan pecut seperti binatang ada yang dihukum hingga mati. Semua itu menurut cerita orang tua yang kini menetap di Desa Lamaran Cirenang.

Keterangan yang saya peroleh ada orang yang menjadi pekerja paksa yang saat ini masih hidup dan tinggal di sekitar lapangan terbang gorda ada kurang lebih sekitar 25 orang, rata-rata usia mereka sudah mencapai 70an tahun, mereka setelah Indonesia merdeka hidup sebagai petani namun sekarang tidak lagi karena sudah tidak kuat lagi bekerja. Jasa mereka sudah dilupakan padahal merekalah yang membangun pangkalan-pangalan militer yang ada diwilayah Banten.

Lapangan Terbang Gorda menurut catatan luasnya kurang lebih sekitar 742 hektar, tetapi sebagian besar lahan yang luas itu digarap penduduk setempat untuk pesawahan tadah hujan. Hasil garapan tersebut di berikan kepada pihak AURI sepuluh persen dari hasil panen. Disamping ditanami padi ada juga yang menanam palawija sesuai dengan izin yang diberikan oleh pihak AURI. Menurut peta, lokasi lapangan terbang gorda berada di Desa Gembor, Warakas, Lamaran, Binuang dan Cakung, Kecamatan Cirenang. Sedangkan Desa Gembor Udik dan Julang masuk Kecamatan Cikande.

Selasa, 02 Juni 2009

Syekh Yusuf Abul Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Makassari al-Banteni

DN. Halwany


Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja. Nama lengkapnya setelah dewasa adalah Tuanta' Salama' ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.

Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.
Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Syekh Maulana Mansyuruddin Cikadueun - Pandeglang

DN. Halwany

Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Syehk Mansyuruddin. Menurut ceritanya Sang syekh adalah salah seorang yang menyebarkan agama Islam di derah Banten Selatan. Dengan peninggalannya berupa Batu Qur’an yang sekarang banyak berdatangan wisatawan untuk berzirah atau untuk mandi di sekitar patilasan, karena disana ada kolam pemandian yang ditengah kolam tersebut terdapat batu yang bertuliskan Al-Qur’an.

Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa (raja Banten ke 6). Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin dan belaiu diangkat menjadi Sultan ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/ memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sultan Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sultan Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah China, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu.

Selama Sultan Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli China, Sultan Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sultan resmi Banten, tetapi Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sultan Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sultan Maulana Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sultan Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sultan Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli China. Selama menjabat sebagai Sultan palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sultan dan keluarganya termasuk ayahanda Sultan yaitu Sultan Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sultan Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang (Tubagus Bu`ang), beliau adalah keturunan dari Sultan Maulana Yusuf (Sultan Banten ke 2) dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat pun membantu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sultan Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sultan Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sultan Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sultan Agung Tirtayasa.

Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sultan Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sultan Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli China, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga akhirnya Sultan Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain memjadi seorang Sultan beliau pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya.

Dalam perjalanan menyiarkan Islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten (Nyi Mas Ratu Sarinten) dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di pasarean cikarayu cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus.

Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bi`at oleh beliau, lalu beliau pun berbicara “saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan saya”. Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung surat Yasin di lehernya dan diberi nama si pincang atau Raden langlang buana atau Ki Buyud Kalam. Ternyata harimau itu adalah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya adalah :

1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa
2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana
3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang
4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya
5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri
6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang.

Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan. Keterangan :

a. Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa dimakamkan di kampung Astana Desa Pakadekan Kecamatan Tirtayasa Kawadanaan Pontang Serang Banten.

b. Cibulakan terdapat di muara sungai Kupahandap Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang Banten

c. Makam Cicaringin terletak di daerah Cikareo Cimanuk Pandeglang Banten

d. Ujung Kulon Desa Cigorondong kecamatan Sumur Kawadanaan Cibaliung kebupaten Pandeglang Banten

e. Gunung Anten terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung

f. Pakuan Lumajang terletak di Lampung

g. Gunung Pangajaran terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang, disini tempat latihan silat macan.

h. Majau terletak didesa Majau kecamatan Saketi Kawadanaan Menes Pandeglang Banten

i. Mantiung terletak di desa sumur batu kecamatan Cikeusik Kewadanaan Cibaliung Pandeglang.

j. Ki Jemah dimakamkan di kampong Koncang desa Kadu Gadung kecamatan Cimanuk Pandegang Banten.