Selasa, 06 Oktober 2009

Mesin Pencetak Uang Kuno Ada Di Museum Banten

DN. Halwany

Hari minggu pagi aku dan keluargaku berkunjung ke museum Banten Lama, saat itu begitu sepi tak seramai tempat penzarahan di makom Sultan Banten, mungkin kurang menariknya benda-benda bersejarah yang ada disana. Ada beberapa benda keramik yang menjadi koleksi di Museum, Batu umpak tiang dan batu karang dinding benteng Banten Lama, Uang koin Banten terbuat dari tembaga berdiamater 2,6 sentimeter dengan lubang di tengah. Uang bertuliskan aksara Arab Jawa "Pangeran Ratu Ing Banten" tersebut diedarkan oleh Sultan Maulana Muhammad (1580-1596). Seperti layaknya museum yang hanya ramai dikunjungi saat musim liburan sekolah, nasib Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama juga sama, setali tiga uang. Namun demikian, mungkin terlebih karena lokasi museum yang terlau jauh dari pusat kota. Tapi untung saja lokasi museum tersebut menjadi bagian dari kawasan wisata ziarah, jadi tingkat kunjungan ke museum lumayan dari cukup. Yang pasti yang sering mengujungi musium adalah mahasiswa yang sedang meneliti terutama mereka yang merasa penasaran akan kemasyhuran periode Kesultanan Banten atau pun para wisatawan dari luar negeri dan ada juga kunjungan dari sekolah-sekolah.

Berdiri di atas lahan seluas 10.000 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 778 meter persegi, museum Banten Lama dibanguan demi dua misi. Pertama, tempat menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal dari situs Banten lama dan sekitarnya. Kedua, sebagai media atau sarana yang bersifat rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi. Dilihat dari jenisnya, menurut salah seorang staf museum, Obay Sobari, koleksi benda-benda sejarah di dalam museum bisa diklasifikasikan ke dalam lima kelompok. Pertama, arkeologika atau benda-benda yang mengandung nilai arkeologi, seperti arca Nandi, mamolo, gerabah, atap, lesung batu dan lain sebagainya.

Kedua, numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh masyarakat Banten. Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Inggris, tael dan mata uang Banten sendiri. Bahkan, di salah satu ruangan, masih tersimpan mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten), yang digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan. Ini terlihat jelas bahwa sejak zaman dahulu Banten mengalami zaman keemasan, Sultan Banten merupakan awal dari peradaban moderen terlihat dari bukti para peneliti tentang mata uang yang beredar pada masa itu, zaman yang harus kita kenang karena Banten masa keemasan memiliki data tarik yang tinggi dan tidak bisa diangap remeh oleh masyarakat indonesia terbukti dari hasil penelitian. Dari hasil penelitian terlihat di gambar mata uang keretas masjid dan menara Banten Lama, dan dari hasil study Halwany Michrob di Belanda ditemukannya mata uang Banten yang sudah cukup tua serta mereka menjaga dan melestrarikan di musuem di Denhag.

Ketiga, etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional, dan peninggalan kolonial seperti tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol, dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa kesultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus. Keempat, keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal maupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah, dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan, serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah qowi. Kelima, seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Di antaranya yang terkenal adalah lukisan peta yang menggambarkan posisi Kesultanan Banten pada abad ke-17. Terdapat pula reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan diornamen latihan perang prajurit Banten.

Tentu saja, selain benda-benda bersejarah yang terdapat di bagian dalam museum, masih menyimpan artefak di luar ruangan dan justru menjadi objek yang lebih populer di kalangan pengunjung. Yakni meriam Ki Amuk yang menempati lokasi di sudut kanan museum. Meriam yang berusia lebih dari empat ratus tahun itu beratnya mencapai tujuh ton dan panjang sekitar 2,5 meter. Konon karena belum ada penelitian ilmiahnya. Ki Amuk punya kembaran yang bernama Ki Jagur yang sekarang sekarang berada di Museum Fattahillah Jakarta. Persis di depan Ki Amuk atau di samping kanan museum, terdapat sebuah artefak bekas penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sudah tak utuh lagi. Konon, mesin penggiling lada inilah yang menjadikan Banten sukses sebagai pengekspor ladat terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Aceh. Sebenarnya, dilihat dari sisi kelayakan fasilitas yang tersedia, belum pantas disebut sebagai museum. Lebih tepatnya, merupakan "gudang" atau gedung tempat penyimpanan barang-barang bersejarah peninggalan Kesultanan Banten. Obay Sobari yang sudah bekerja sejak museum itu dibangun, tak bisa menutupi fakta minimnya fasilitas tersebut.

Apalagi di tengah langkanya buku-buku dan referensi mengenai sejarah masa lalu Kesultanan Banten, koleksi benda-benda di dalam museum sedikit memberi informasi kehidupan masa lalu Banten. Tentu saja, serpihan informasi tersebut perlu ditelaah kembali, untuk kemudian dirajut menjadi informasi utuh. Dengan cara demikian, kisah kemasyhuran masa lalu Banten, tak sebatas cerita legenda atau bahkan mitos yang hanya berkembang dari mulut ke mulut, tetapi bisa dibuktikan secara ilmiah.

Sumber Data;

Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),

Katalogus Koleksi D ata Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah

Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,

(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama

(1993), Catatan Masa Lalu Banten

Minggu, 04 Oktober 2009

Kota Banten Pernah Diibaratkan Amsterdam



DN. Halwany



Banten menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan internasional. Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa Eropa pada masa itu. Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan berpolitik, seperti yang tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang lalu.


Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini berlangsung hingga tahun 1987. Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa. Perancis atau bangsa Eropa lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata O’Cornesse. Menurut catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi abad 19. kota Banten Lama yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang bersaing dengan negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.


Kota Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang ramai dengan para pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa. Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk mengelilingi dunia.


Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan ini bangsa Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.


Banten bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk merebutkan pasar dan pusat produksi lada. Malaka akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk menguasai dan mempertahankan industri lada, sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya. Akhirnya pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk membangun armada tersebut. Kesultanan Banten memasuki persaingan perdagangan lada internasional yang sangat ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672 sampai VOC (Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.


Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).


Sumber Data;

Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),

Katalogus Koleksi D ata Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah

Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,

(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama

(1993), Catatan Masa Lalu Banten