DN. Halwany
Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat (Garna,1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Disamping itu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki syair-syair atau pantun-pantun. Adapun syair ataupun pantun tersebut menggunakan bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam lisan sehari-hari Baduy tapi mengandung pituah, perintah, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno. Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa.
Berikut beberapa contoh sastera lisan yang dikenal di kalangan Masyarakat Baduy:
Mantera
Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu. Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas. Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera.
Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :
Sapun awaking reuk make pasang panjang pasadun pok sablapun
Meunag Ahung tujuh kali
Ahung deui
Ahung deui
Ahung malungga
Ahung malingga
Ahung mangdegdeg
Ahung mangandeg
Ahung manglindu asih
Ka Ambu aing Sira mangambung
Ka Bapa aing Sira mangumbang
Pangjungjungkeun panglawungkeun
Ku Ambu aing sira manglaung
Ku Bapa aing sira mangumpang
Pangnyambungkeun aing saur pangngapakeun aing saba
Ka luhur ka mega beureum
Ka mega hideung
Ka mega si karambangan
Ka mega si kareumbingan
Ka mega si karenten
Ka mega si kalambatan
Ka mega si kaleumbitan
Ka mega ssi antrawela
Ka kocapna
Ka ucapna
Ka Puncakning ibun
Ka guru putra hiyang bayu
Ka nu weang nyukcruk ibun
Ahung.......
(dari pantun: Langgasari Ngora)
Tingkatan mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan. Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk. Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:
Weweg sampeg, Mandala pageuh
Mangka tetep mangka langgeng
Mangka langgeng tunggal tineung
Datang hiji datang dua
Datang tilu nungku nungku
Datang opat ngawun ngawun
Datang lima lingga emas
Datang genep nguren nguren
Datang tujuh lilimbungan
Puluhan tanpa wilangan
Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:
Semoga menetap semoga bahagia
Semoga sentausa menyatu kasih
Datang satu datang dua
Datang tiga berangkulan
Datang empat berpasanagan
Datang lima lingga cerlang
Datang enam berpasangan
Datang tujuh menyatu kasih
Berpuluh tidak terhitung
Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi:
Calik calik nu geulis
Nyai Sri calik di dieu
Unggah ka pasaran lega
Geusan sia gagayahan
Geusan sia gagayahan
Di gedong manik mandala pageuh
Lemut teuing ku buruanana
Lesang teuing ku bojana
Nu geulis ranggeuy mirikiniknik
Bar ngampar ku samak metruk
Gasan bujang kasangna bagus
Gasan Nyai tes netepan
Ngajepret palisir bodas
Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:
Silakan singgah nan cantik jelita
Nyai Sri dudukdisini
Naik ke halaman luas
Kalulah jelita pembawa kesuburan
Kaulah jelita pembawa kemakmuran
Duduklah di singgasana manik mandala perkasa
Indahnya halaman yang terhampar
Molek istana yang tersedia
Betapa pemurahnya wahai dikau jelita
Nan cantik molek pembawa kemakmuran
Duduklah beralas tikar kedamaian
Di tempat istirahat indah alamnya
Tempat Nyai menyantaikan diri
Berbaring tenang dengan tentram.
Adapun Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping). Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya. Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.
Pikukuh, adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung).
Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna!
Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"
SASTERA LISAN BADUY
Kesederhanaan hidup mereka telah menyuburkan inspirasi para peziarah budaya sejak jaman Blume, penjelajah Jerman abad 18. Johan Iskandar, ahli ekologi, meneliti pola tani huma ini dan menemukan betapa 'cara bertani' masyarakat Kanekes, justru bisa mempertahankan keseimbangan ekosisttem, Tantangan yang dihadapai oleh masyarakat Kanekes adalah semakin bertambahnya penduduk, anggota masyarakat Kanekes, serta lahan Ulayat mereka yang tentu saja terbatas hanya 5.000 hektar. Padahal sistem perladangan huma membutuhkan lahan yang jauh lebih luas dibangdingkan dengan sistem 'sawah.' Dengan kesederhanan teknologi mereka, Urang Kanekes harus menemukan jalan ke luar tantangan masa depan mereka. Bukan hanya itu, interaksi dengan masyarakat luar yang semain intens dan dengan kualitas rembesan budaya yang luar biasa, menyisakan berbagai pertanyaan, apakah mereka akan tetap teguh menyandang jati diri Urang Kanekes, yang dalam bahasa Cecep Permana, sebagai 'Inti Jagat?' Seorang jurnalis asing, menuliskan sebuah kisah kecil tentang perjalanannya yang gagal menuju 'Tangtu Telu' atau Baduy Dalam, simak kisahnya di Guardian of the Sacred Forest
BalasHapusSaya sedang mencari-cari sejarah tentang Banten dan menemukan blog ini. Semua artikel di sini sangat membantu saya. Jadi saya izin copas, Pak. Hanya untuk saya simpan di folder biar nanti bisa saya baca-baca. Terima kasih sebelumnya. Hhee...
BalasHapusSalam!
Izin untuk mengkopi makalahnya, hanya kalau bisa saya butuh buku-bukunya bisa dibeli di mana? walaupun photo kopi saya beli. kebetulan untuk Disertasi saya tentang Baduy... ini kontak saya : 085885753838 ditunggu kabarnya. Saya cari-cari emailnya ga ada.... terima kasih
BalasHapusPak bikin tulisan tentang penyerangan rakyat banten ke markas kampetai di serang
BalasHapus