DN. Halwany
Peranan Banten sebagai kota niaga mulai maju setelah penguasa Islam berdiri. Pada masa sebelum itu, pusat kegiatan terdapat di Banten Girang, sekitar 13 km. dari kota Banten Lama di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ibukotanya di Pakwan, sekitar kota Bogor sekarang. Sejak berdirinya kerajaan yang bercorak Islam dibangun oleh Sunan Gunung Djati ditetapkan Surosowan Banten menjadi ibukota kerajaan. Pemindahan pusat kerajaan ini dilihat dari segi politik dan ekonomi dimaksudkan untuk memudahkan hubungan dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda. Situasi ini berkaitan dengan keadaan politik di Asia Tenggara. Masa itu Malaka telah jatuh ke tangan Portugis. Hal ini menyebabkan para pedagang muslim yang sedang bermusuhan dengan Portugis segan singgah di Malaka dan mencari pelabuhan lain yang dikuasai Islam. Mereka mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda di mana Banten mulai mengembangkan sayapnya dan memegang peranan penting khususnya di bidang perdagangan. Bandar Banten merupakan bandar internasional dan dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persi, Gujarat, Birma, Tiongkok, Perancis, Inggris dan Belanda.
Tome Pires yang pada tahun 1523 mengunjungi pelabuhan Banten menyatakan bahwa pelabuhan itu belum begitu berarti. Pires menyebutkan bahwa Banten telah menjadi pelabuhan kedua terpenting sesudah Kalapa (Cortesso, 1941: 168-169). Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pelabuhan pengekspor beras dan lada (Cortesso, 1941; Roelofsz, 1962:124). Catatan lebih terperinci didapat dari Barbosa yang menyebutkan bahwa dari pelabuhan Banten tiap tahun telah diekspor lada sebanyak seribu bahar (Chijs, 1881:4). Benar bahwa sejumlah keterangan mengenai keadaan ekonomi Kota Banten Lama sudah cukup banyak diperoleh dari beberapa catatan sejarah, baik perdagangan internasional maupun lokal. Namun masalah yang timbul adalah terbatasnya data sejarah itu sendiri, sehingga beberapa unsur perdagangan tidak dijelaskan, termasuk perdagangan lokal di dalam kota. Dapat diduga perdagangan kota Banten memiliki mekanisme sendiri yang aktif. Pengaruh perdagangan internasional agaknya tidak menyebabkan penduduk kota menjadi masyarakat konsumtif semata-mata. Gejala ini dapat dibuktikan melalui data arkeologis yang berhasil dikumpulkan sejak tahun 1976 di situs Banten Lama. Beberapa situs arkeologis yang ditemukan antara lain berkenaan dengan kegiatan produksi (Siswandi, 1980; Poyoh, 1981), tempat penyimpanan dan komoditi (Naniek, 1980:1981), dari situs tersebut berbagai artefak ditemukan. Dapat dibayangkan betapa besar dan ramainya pasar Banten saat itu. Pedagang dari luar negeri membawa barang-barang dari negeri mereka sendiri. Sehingga orang-orang dapat membeli barang-barang dari hampir semua negara. Di samping itu pedagang-pedagang dari dalam negeri pun turut meramaikan perdagangan di pasar Banten. Terjadilah pertukaran antara saudagar-saudagar dari luar negeri dengan saudagar-saudagar dari dalam negri. Tiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten. Mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter dengan lada sebagai bahan utamanya. Tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. J.P. Coen mempunyai catatan bahwa 6 buah perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real. Selain sebagai pedagang, orang- orang Cina datang di Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69).
Cina dapat dikatakan etnis pedagang yang paling berperan di Banten, terutama sebagai pembeli dan pegangkut lada untuk didistribusikan. Orang-orang Gujarat juga tampak membawa bahan- bahan pakaian untuk ditukar dengan lada di Banten. Tetapi di penghujung abad XVI terdapat catatan bahwa volume angkut para pedagang Asia Barat dari Banten lebih kecil dari yang bisa dilakukan oleh para pedagang Cina. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1598 sebanyak 18.000 karung lada telah dinaikkan ke 5 kapal Cina, dibandingkan pada tahun yang sama para pedagang Gujarat mengangkut 3.000 karung dan VOC tak lebih dari 9.000 karung. Menurut sumber Belanda kapal-kapal Cina yang datang ke Banten pada setiap tahunnya antara 8 - 10 kapal yang masing-masing berdaya angkut maksimum 50 ton. Pada lain laporan disebutkan 5-8 kapal Cina bertonase sampai 100 ton datang setiap tahunnya. Sementara itu catatan dari pelaut Prancis menyatakan 9-10 kapal besar, sedangkan sumber Inggris menyebutkan 3-6 kapal Cina yang seluruhnya bertonase sampai 300 ton. Lebih jauh catatan J.P. Coen (1614) menyebutkan tak kurang dari 6 kapal Cina tiba di Banten setiap tahunnya dan membawa kembali kargo barang senilai 300.000 real (Roelofsz, 1962: 245).
Menurut de Houtman (1596) barang-barang yang dibawa dan diperdagangkan orang Cina ialah sutra, laken, beludru, benang emas, taplak, bejana perunggu, panci coran dan tempaan, cermin, sisir, kacamata, belerang, pedang Cina, kipas angin, akar-akar Cina dan payung. Sementara itu keramik merupakan barang dagangan khusus karena mendapat tempat tersendiri (Rouffer dan Ijzerman, 1915:110). Pedagang lain yang juga membawa barang dagangan ialah orang Pegu yang membawa beras, guci, lak, genta, batu berharga, perak, bahan makanan, dan kesturi. Pedagang India menjual bahan dagangan dari bahan kaca, gading, permata, kain, mentega, dendeng, daging asin, beras, gandum, minyak, gula, lak, tembaga, sutra, saputangan, dan bedak; sedangkan pedagang dari Siam membawa beras, timah, tembaga, peti berukir, dan barang-barang buatan Cina. Sementara itu pedagang dari Timur Tengah yang terdiri dari orang Arab dan Parsi membawa obat-obatan dan batu permata (delima), tekstil yang terdiri dari tidak kurang dari 20 jenis. Pedagang Eropa yang pertama kali datang ke Banten adalah Belanda yaitu pada tahun 1596 dengan tujuan mencari rempah-rempah. Ternyata mereka juga membawa barang dagangan antara lain pakaian tenun seperti pedagang Eropa lainnya yaitu orang Portugis (Tjandrasasmita, 1976:6227).
Beras merupakan bahan makanan dan hasil bumi paling pokok di Asia Tenggara, selain bahan makanan lain seperti talas, ubi, sagu dan jenis gandum yang telah mendahului domestikasi padi. Jawa adalah pengekspor beras terbesar ke Malaka, antara lain berasal dari Banten, Kalapa, Batavia dan tempat-tempat di Maluku (Raid, 1992: 23-26). Begitu kemampuan mengekspor beras tersebut menurun, baik akibat blokade militer atau oleh proses pemiskinan, segera muncul areal-areal persawahan baru. Hoare (1930:98) menyatakan kekagumannya: "Hampir tak bisa dipercaya orang-orang Banten pada tahun 1630-an mengetahui arus-arus sungai mana saja yang telah/dapat mereka bendung dan betapa suburnya tanah persawahan yang mereka miliki dalam 2 tahun terakhir akibat pemupukan- pemupukan." Garam didatangkan dari Jarata, Gresik, Pati dan Juwana. Orang biasanya membeli 800 gantang seharga 150.000 perak dan menjual di Banten seharga 1.000 perak setiap 3 gantang. Dari Banten inilah garam antara lain disebarkan ke Sumatera (Baros, Pariaman, Tulang Bawang, Indra Giri dan Jambi) (Lodewycksz, 1598: 100-104).
Meski pun lada menjadi hasil utama Banten, namun begitu cabai dari Amerika, tumbuhan tersebut terakhir ini amat cepat tersebar di Jawa, dan penguasa Banten menggunakan cabai sebagai pengganti lada (ibid, 1598: 146). Catatan armada pertama yang tiba di Banten juga melihat melimpahnya stok madu di pasar Banten yang berasal dari pasokan Palembang dan Timor. Pusat-pusat kehidupan yang penting di Asia Tenggara sarat dengan ramuan jamu dan obat-obatan. Setidaknya orang-orang Belanda yang pertama mendarat di Banten menyaksikan paling tidak 50 jenis ramuan jamu rempah-rempah yang dijajakan pada counter khusus di Pasar Banten (Schouten, 1926: 106-108). Perdagangan interlokal dapat diketahui dari kehadiran pedagang- pedagang dari daerah di wilayah Indonesia, yaitu orang Sumatra, Gresik, Juwana, Makasar, Maluku, Solor dan Sumbawa. Pada umumnya mereka berdagang rempah-rempah seperti lada dan cengkeh. Karangantu merupakan tempat yang memegang peranan, baik sebagai pelabuhan sekaligus sebagai pasar untuk usaha meningkatkan jual beli barang dagangan, seperti tekstil dan keperluan sehari-hari lainnya. Di kota Banten ada beberapa macam tipe jual beli sesuai dengan fungsi pasar di Banten Lama seperti yang tertulis dalam babad Banten.
De Houtman telah menggambarkan Pasar Karangantu secara mendetail dan terperinci yaitu: tempat penjualan semangka, mentimun dan kelapa merupakan kelompok A. Tempat penjualan gula dan madu dalam periuk-periuk, masuk kelompok B. Kelompok C menggambarkan tempat penjualan kacang, kelompok D tempat penjualan tebu dan bambu, E tempat penjualan keris, pedang dan tombak. Kelompok F tempat pakaian laki-laki, kelompok G tempat penjualan bahan pakaian wanita. Kelompok H tempat penjualan rempah-rempah, benih dan biji-biji kering. Kelompok I tempat orang-orang Benggala dan Gujarat menjual barang besi dan barang tajam. Khusus kedai orang Cina digambarkan pada kelompok K. Adapun L adalah tempat penjualan daging, M tempat penjualan ikan, N tempat penjualan buah-buahan, O tempat penjualan sayur-sayuran, P tempat penjualan marica, Q tempat penjualan brambang (bawang), R tempat penjualan beras, S kios untuk pedagang, T tempat penjualan emas dan permata. Pada urutan kelompok lain terpisah dengan kelompok bagian dalam dan disebutkan kelompok V, yaitu perahu-perahu asing yang penuh dengan muatan bahan makanan, pada kelompok akhir yaitu kelompok X adalah tempat penjualan unggas (de Houtman, 1596-1597). Dalam berita Cina disebutkan bahwa pedagang Cina adalah orang asing pertama yang mengunjungi Banten, dan Valentyn menyatakan bahwa jika di Banten tidak ada orang Cina, maka pasar-pasar tersebut akan menjadi sepi karena pasar sebagian besar dikuasai oleh pedagang Cina (1858:492). Mereka membawa sutra, laken, beludru, benang emas, keramik, taplak, bejana perunggu, panci tembaga, air raksa, peti hias, kertas aneka warna, almanak, emas tempaan, cermin, sisir kacamata, belerang, pedang Cina, kipas angin, akar-akaran Cina dan payung. Sedangkan keramik, sebagai barang dagangan yang mereka bawa, merupakan barang dagangan yang cukup penting, yang antara lain dibuktikan oleh terdapatnya tempat tersendiri bagi para pedagang keramik (Rouffaer dan Ijzerman, 1915:110).
Pada tahun 1596, orang Belanda untuk pertama kali datang Ke Banten untuk mencari rempah-rempah. Lama kelamaan para pedagang tersebut ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah dan keramik. Pada tahun 1602, Belanda mendirikan kantor dagang VOC di Banten untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dan keramik; dari sinilah kekuasaan VOC berkembang dan VOC berperan sebagai penyalur keramik ke Eropa (Brown, 1977:20). Menurut Volker (1954:193), di samping keramik dari Cina, VOC juga menyalurkan keramik-keramik dari Jepang, Siam dan Annam. Hal ini disebabkan antara lain dengan dihancurkannya pusat pembuatan keramik milik kerajaan Cing-te cen sehingga terjadi kemunduran produksi keramik secara drastis. Disebutkan bahwa, VOC telah mengapalkan 80 bentuk keramik Jepang untuk konsumsi Batavia, dan wilayah sebelah baratnya. Keramik-keramik Jepang tersebut dipesan VOC dari Deshima dengan menerapkan bentuk dan desain disesuaikan dengan kebutuhan orang Eropa. Salah satu jenis keramik Jepang yang hadir di Surosowan adalah keramik Arita, yang sekaligus memperlihatkan tingkat peran dan hubungan antara Banten Lama dengan Jepang pada abad XVII M. Selain mengapalkan porselen Jepang dari berbagai pos dagang di pela-buhan-pelabuhan Jepang, VOC juga mengapalkannya dari Pulau Formosa ke Batavia, yang selanjutnya disebarkan ke cabang-cabang VOC di luar Indonesia. Sedangkan untuk perdagangan antar pulau, sebagian besar dilakukan oleh perahu-perahu Indonesia. Ini menunjukkan luasnya alur distribusi keramik dari Jepang, meski pun bagi Eropa keramik-keramik Jepang dianggap kurang bermutu tinggi. Keramik yang diperdagangkan antara lain meliputi piring, mangkuk, cepuk, tempayan, guci, cangkir, kendi, teko, dan cawan. Perdagangan keramik di Banten masih terlihat sampai awal abad ke-19 walau pun perdagangan dan pengiriman keramik tidak lagi seramai abad sebelumnya.
Di samping barang-barang dari luar negeri yang dipasarkan di Banten, terdapat juga barang hasil dalam negeri, seperti semangka, ketimun, gula, madu, gambir, bambu, senjata, ayam, kambing, beras, lada, minyak dan garam. Fungsi pasar di Banten setidaknya meliputi: (1) tempat terakumulasinya hasil-hasil lokal (hasil bumi, ternak dan industri), (2) tempat distribusi barang-barang ekspor dan impor, (3) sumber utama penghasilan kerajaan, dan (4) tolok ukur ekonomi kesultanan secara makro. Sementara itu peranan pasar di Banten meliputi: (1) akses dan asset ekonomi kesultanan, (2) penentu dan pemantap satuan harga barang terhadap mata uang-mata uang tertentu yang diedarkan sebagai alat tukar sah di Banten, dan (3) instrumen perdagangan lokal, interlokal, regional dan internasional. Setelah collapse-nya kesultanan secara politis dan militer, fungsi dan peran pasar (pasar-pasar) Banten tersudut pada aliran barang, jasa dan orang yang berskala amat kecil. Dari hasil penelitian arkeologi tahun 1976 saja dapat diidentifikasikan mata-uang logam yang bertuliskan huruf Arab berbahasa jawa "Pangeran Ratu ing Banten" adalah mata uang yang dikeluarkan oleh raja Banten. Hal tersebut dapat mengacu pada simbol dan sebutan raja Banten diantaranya Maulana Muhammad yang bergelar Pangeran Ratu ing Banten yang memerintah Banten tahun 1580 sampai dengan 1596. Menurut Willem Lodewyksz, pada tahun 1596 ada tiga buah pasar yang ada di Banten berfungsi sebagai pusat perdagangan lokal dan perdagangan internasional yang sangat pesat. Di antara para pedagang asing yang datang di Banten ialah orang-orang Cina, menyusul pedagang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis. Mereka membawa barang dagangan yang terdiri dari pakaian tenun yang biasa dibawa oleh pedagang Eropa lainnya (Tjandrasasmita, 1976:227).
Mata uang logam Cina yang pernah diketemukan de Houtman dan Kaizer adalah berupa uang tembaga yang disebut caixe, yang telah beredar di Banten (van Lischoten, 1910:78). Peranan mata uang picis, real dan uang chi'en yang terbuat dari tembaga, ternyata uang chi'en-lah yang lebih tinggi harganya di Banten, jika dibandingkan dengan mata uang lainnya (Rouffer, 1915:122). Mata uang Cina sebagai mata uang asing masuk pertama kali di Banten yakni pada tahun 1590, saat mana raja Cina, Hammion, membuka kembali peredaran mata uang Cina di luar negeri setelah dua puluh tahun menutup kemungkinan karena khawatir akan adanya inflasi di negaranya.
Untuk memberikan gambaran nilai sebuah mata uang, kami uraikan sebagai berikut:
Harga uang picis dapat kita lihat dalam perbandingan:
1 atak = 200 picis 1 bungkus = 10000 picis
1 peku = 1000 picis 1 keti = 100000 picis.
Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah jika dibanding harga mata uang logam lainnya (van Ansooy, 1979:37). Sebagai contoh dalam menentukan harga dari seorang budak per hari dapat disewa dan harus setor pada majikannya sebesar 1000 picis (1 peku), berikut makan 200 picis. Harga makanan untuk orang Barat per hari menghabiskan rata-rata 1 atak (Fruin Mees, 1920:44). Di Banten bagi seorang yang berani membunuh pencuri akan mendapat hadiah dari Sultan sebesar 8 peku (Keuning, 1938:888). Adapun harga seekor ayam di Mataram pada tahun 1625 rata-rata 1 peku (Macleod, 1927:289). Menurut orang Cina di Banten, dari hasil pembelian 8 karung lada dari pengunungan seharga 1 keti dan dijualnya ke pasar Karangantu seharga 4 keti, kejadian tersebut tercatat pada tahun 1596 (Commelin, 1646:76).
Harga pasaran tidak selalu stabil seperti yang diharapkan, permasalahannya ialah akibat nilai harga picis yang sulit untuk bertahan lama. Seperti terjadi pada tahun 1613, ada perubahan nilai pecco yang secara drastis terpaksa harus turun, tercatat 34 dan 35 peccoes = 1 real; ini berarti pula pengaruh uang asing yang masuk ke Banten dapat mempengaruhi stabilitas pasar di Karangantu saat itu.
Pada tahun 1618, J.P. Coen merasa tidak senang dengan turunnya nilai mata uang picis di Jawa, bahkan tercatat sejak tahun 1596 di Sumatra pun telah mengalami kemerosotan nilai tukar uang picis sampai dengan 1 : 8,500 (Mollema, 1935:211). Rupanya percaturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari kehadiran beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang pada saat itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari Jambi untuk di perjualbelikan di Banten (F. van Anrooy, 1979:40). Variabilitas jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi, memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang (kertas, logam, atau lainnya), memberikan informasi mengenai satuan nilai mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam, nilai intriksiknya adalah pada nilai logamnya (tembaga, timah, perak, suasa atau emas). Kegunaan penemuan mata uang pada berbagai situs, secara arkeologis dapat membantu (1) kronologi situs, (2) jenis mata uang yang berlaku, (3) batas-batas peredaran mata uang yang dimaksud, serta (4) satuan nilai yang ditetapkan.
Di Banten, ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata uang logam Banten, Belanda, Inggris dan Cina. Mata uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm, terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan 242 keping uang Banten. Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie. Mata uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 - 1816. Dari lubang- lubang ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC (Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi. Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4 bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan. Dari lubang ekskavasi Surasowan ditemukan 6 keping mata uang Inggris.
Pada salah satu sisi mata uang Cina terdapat tulisan Cina yaitu: YUNG CHENG T'UNG PAO = Coinage of Stable Peace, yang berarti pembuatan mata uang untuk kestabilan dan perdamaian. Sedang pada tulisan sebaliknya diketahui sebagai huruf Manchu yang belum dapat dikenali artinya. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2,25-2,80 cm, tebal 0,10-0,18 cm dan diameter lubang 0,45-0,60 cm. Jenis ini ditemukan di lubang ekskavasi Surosowan sebanyak 25 keping. Penelitian sebaran mata uang logam di Banten diarahkan pada ruang-ruang di dalam dan di luar benteng. Dari 437 keping mata uang logam yang ditemukan di eksekavasi, 92 ditemukan di luar benteng dan 345 dari dalam benteng Surosowan. Homogenitas ruang penelitian (hanya di sekitar Surosowan), serta jumlah koleksi hasil penelitian yang sangat tidak seimbang dengan aktivitas ekonomi Banten sebagai pusat politik, ekonomi dan perdagangan, berdampak pada terbatasnya lingkup penafsiran dari kehadiran mata uang logam sebagai data arkeologi di Banten
Sumber Data :
Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),
Katalogus Koleksi Data Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Punbakala, Jakarta.
Halwany Michrob & Mujahid, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara 1993
Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,
(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama
Tjandrasasmita, Uka, Hasan M. Ambary & Halwany Michrob,
(1987), Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama, Yayasan Pembangunan Banten.