DN. Halwany
Kali ini, lokasi yang dipilih reruntuhan Istana Surosowan. Istana ini dibangun ketika pasukan gabungan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dan Pangeran Fatahillah berhasil mengalahkan Kerajaan Pajajaran dan merebut ibukota mereka, Banten Girang. Di sekitar istana dibangun tembok atau benteng keliling. Areal benteng ini sekitar tiga hektar. Berbeda dengan benteng-benteng Eropa, di atas benteng tidak ada kupel atau bastion. Tetapi justru dibuat tiang-tiang tinggi tempat prajurit mengamati keadaan di luar benteng. Pada masa Sultan Maulana Yusuf, putera Maulana Hasanuddin, benteng diperkuat dengan batu karang dan batu merah. Di sekeliling benteng digali parit-parit. Di dalam istana dibangun kolam mandi. ”Kolam ini disebut pemandian Loro Denok,” (Halwany, 1992). Sisa bangunan ini masih bisa terlihat. Hanya saja bukan lagi jadi tempat mandi para sultan tetapi jadi arena bermain gratis bagi anak-anak.
Sultan Ageng Tirtayasa mempercantik istana Surosowan dengan menyewa tenaga ahli dari Portugal dan Belanda, di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel. Benteng istana diperkuat dan dipojok-pojoknya dibangun bastion, bangunan setengah lingkaran dengan lubang-lubang tembak prajurit mengintai dan menembak musuh. Endjat pun menunjukkan kepada kami ciri bangunan hasil rehabilitasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan pembangunan pada masa Sultan Maulana Yusuf. Karya seni dekorasi tinggi pada masa itu. Bukti ini masih bisa dijumpai pada sisa ubin merah yang dipasang dengan komposisi belah ketupat. Belum lagi sistem parit dan saluran air bawah tanah ke dalam kompleks istana. Menurut Paulus Van Solt, pada 1605 dan 1607 benteng istana sempat mengalami kebakaran. Namun nasib istana Surosowan luluh lantak setelah Daendels memimpin pasukan Kompeni untuk menghancurkannya pada 21 November 1808.
Walau hanya tersisa reruntuhan, situs Surosowan sebetulnya masih cukup menarik sebagai salah satu obyek wisata arkeologis. Runtuhan sisa-sisa bangunan itu, memperlihatkan suatu kualitas yang kukuh dan kokoh pada masa itu. Dari peninggalan arsitektur Banten lama dapat diperoleh gambaran-gambaran mengenai perkembangan yang terjadi dari masa kemasa jika dilihat dari objek arsitektur yang senantiasa berubah dalam kurun waktu yang cukup lama. Perkembangan kota ditinjau dari perkembangan dan perubahan elemen-elemen primer dengan latar belakang non pisik. Objek ini dapat dimamfaatkan untuk mempelajari pola perkembangan kota dan unsur yang mempengaruhinya, semuanya itu tidak lepas dari pengaruh luar terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan idielogis Kerajaan Banten
Namun bila melihat kondisi sekarang ini, kita hanya bisa mengelus dada. Di sekeliling kompleks situs dipenubi pedagang kaki lima. Para pedagang ini membuka kios-kios sempit, menjajakan aneka barang bagi pengunjung Masjid Agung Banten Lama. Sampah pun berceceran di mana-mana. Situs Istana Surosowan juga tak mendapat penjagaan yang layak, walau di sekelilingnya telah dipagari. Setiap orang bisa bebas berkeliaran ke dalam dengan beragam tujuan. Dari sekadar melihat-lihat, berwisata sampai bertapa di salah satu sudut keraton. Lebih miris lagi, pada halaman depan dan bagian dalam istana kawanan ternak ikut ambil bagian. Kerbau, domba dan kambing asyik menikmati rumput yang manis. Melihat semua kenyataan tadi, kita hanya tersenyum getir dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Keraton Kaibon
Komplek Keraton Kaibon atau Kaibuan terletak di Kampung Kroya, pada tahun 1832 Kaibon di bongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, sekarang tinggal pondasi, tembok dan gapura saja. Keraton ini mempunyai sebuh pintu besar yang dinamai pintu dalam. Di pintu gerbang sebelah barat terdapat tembok, pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Padureksa dan Bentar). Apabila dibandingkan dengan arsitektur Keraton Surosowan, maka Keraton Kaibon ini nampak lebih “archaik” terutama apabila di lihat dari rancang bangun pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu Bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang yang menuju pintu bagian keraton yaitu gerbang Padureksa. Dalam konsep arsitektur Hindu pembedaan jenis pintu (Bentar dan Padureksa) mengacu pada jenis dan fungsi bangunan sakral atau profan.
Komplek Keraton ini sekarang sudah hancur. Yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi sisa-sisa bangunan berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa bangunan pemandian dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambang. Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 – 2 meter dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama dibagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali. Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat sama panjang, dengan luas kurang lebih tiga hekto are, pintu masuk / pintu gerbang berada di sisi utara menghadap ke alun-alun, dan di sisi timur berdasarkan peta dan gambar lama. Pada keempat sudut benteng , kita dapati bagian tembok yang menebal yang menjorok keluar (bastion), sedangkan dibagian sisi sebelah dalam benteng pada keempat sudutnya terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang ada dalam tembok benteng. Dilihat dari gambar dan peta lama diketahui pula bahwa kompek ini dahulunya dikelilingi oleh parit yang digunakan sebagai pertahanan, sekarang parit ini sebagian telah hilang, dan yang masih ada terletak di sebelah bagian selatan dan barat benteng.
Benteng Speelwijk
Sumber Data :
- Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
Artikel di blog ini bagus-bagus dan berguna bagi para pembaca. Anda bisa lebih mempromosikan artikel Anda di infoGue.com dan jadikan artikel Anda Topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
BalasHapushttp://arkeologi.infogue.com/wisata_arkeologi_banten_lama_situs_situs_yang_tak_terurus
Peninggalan bcb di Banten seperti surosowan dan kaibon cukup menarik. Bila dapat dilestarikan dengan dukungan masyarakat disekitarnya,peninggalan bcb tersebut tak hanya menjadi benda tua belaka namun bisa menjadi identitas masyarakat banten.
BalasHapus