Sejarah sebagai suatu istilah disiplin ilmu telah memasyarakat di tengah rakyat Indonesia. Di samping itu, masyarakat telah mengenal adanya istilah lain seperti :
a. Tarikh; dipakai di kalangan Pesantren, Madrasah dan Sekolah Agama Islam, misalnya: Tarikh Rasul, Tarikh Nabi, Tarikh Khulifaur- Rasyidin, dan sebagainya.
b. Hikayat; digunakan di wilayah yang berkebudayaan Melayu, seperti: Hikayat Hang Tuah, Hikayat Melayu dan sebagainya.
c. Riwayat; dapat dilihat pada karya Poerbacaraka (Riwayat Indonesia), Adam Malik (Riwayat Proklamasi) dan Mohammad Hatta (Sekitar Riwayat Prokramasi Indonesia).
d. Babad; masyarakat di daerah yang berkebudayaan Sunda dan Jawa, seperti: Babad Sunda, Babad Tanah Jawi.
e. Legenda; Sebuah cerita masyarakat di daerah yang didasari dari cerita orang terdahulu (orang tua), seperti: Tanguban Perahu, Maling Kundang, Batu Belah dan lain sebagainya.
Istilah-istilah tersebut dan beberapa istilah daerah lainnya, bersama dengan istilah yang berasal dari bahasa asing, memberikan gambaran cakrawala kesadaran bangsa Indonesia terhadap perubahan masyarakat masalalu yang perlu diabadikan dalam bentuk kisah yang dituliskan sesuai dengan pandangan zamannya.
Upaya menumbuhkan kesadaran sejarah di tengah masyarakat beragama sangat beragam. Di kalangan agamawan upaya menanamkan pengertian sejarah dengan makna yang sakral sekali. Pembacaan Manakiban Syekh Abdul Qadir Jaelani pada masyarakat Banten hakikatnya merupakan pembacaan biografinya. Akan tetapi ritual yang berhubungan dengan itu tidaklah sesantai pembacaan sejarah pada umumnya. Demikian pula pembacaan Barjanji pada upacara syukuran hadirnya seorang anggota keluarga yang baru berusia 40 hari, pada hakikatnya merupakan upaya menanamkan kesadaran sejarah, dengan membaca sejarah Rasulullah Muhammad saw.
Di madrasah, pesantren dan pengajian umum serta peringatan hari-hari besar agama seperti Tahun Baru Hijrah (Muharam), Maulid Nabi, Rajaban, Idul Fitri, Idul Adha, merupakan sejarah yang menanamkan makna masa lalu dan merefleksikankannya pada masa kini. Secara kurikuler, penempatan Tarikh atau Sejarah sebagai salah satu mata pelajaran, juga tidak luput dari pengertian upaya memelihara dan menumbuhkan kembangkan kesadaran sejarah pada masyarakat sejak dini.
Perpaduan antara kegiatan peringatan Hari-hari Besar Nasional dan agama di tengah masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan serta pendidikan bertujuan menanamkan kesadaran adanya keterkaitan antara masa kini dengan masa lalu. Dengan kata lain, kegiatan tersebut merupakan upaya mencari cerminan masa kini dari peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu. Di sisi lain terbaca sebagai penjabaran pembangunan sejarah dalam rangka menumbuhkan dan membina serta memelihara kesadaran sejarah, semangat perjuangan dan cinta tanah air secara berkesinambungan.
Berbagai kegiatan yang bertaraf nasional, selain penerbitan buku-buku sejarah, juga diikuti pembangunan fisik sejarah yang berupa pemugaran benda sejarah, museum arsip nasional dan berbagai monumen nasional. Di samping adanya kesadaran sejarah yang positif, berkembang pula pengertian yang negatif tentang sejarah. Sementara kalangan masyarakat menganggap sejarah sebagai mata pelajaran hafalan. Pemahaman yang demikian itu mempunyai dampak yang luas. Di satu pihak sejarah lebih memasyarakat karena sejarah sebagai disiplin ilmu yang menarik dan tak sesulit matematika dan lainnya, tetapi di lain pihak terselip pemahaman yang kurang memberikan penghargaan yang layak terhadap disiplin ilmu sejarah dan kegiatan yang menyangkut sejarah.
Sebagai ilustrasi, kehadiran Jurusan Sejarah pada Fakultas Sastra tidaklah mendapat pasaran yang besar di tengah masyarakat, sebagaimana fakultas sosial lainnya. Hal ini berkaitan dengan lapangan kerja yang tidak semegah lapangan perkantoran lainnya. Apakah hal ini merupakan suatu pertanda erosi kecintaan terhadap sejarah, tidaklah dapat dipastikan sikap yang demikian ini sangat temporer, barangkali hanya sebatas masa pra tinggal landas. Kenyataannya di negara maju dengan kondisi pembangunan sosial ekonomi yang sudah maju, benda-benda sejarah mempunyai makna yang besar. Kesadaran dan kecintaan sejarahnya sampai diperlihatkan dengan memberikan harga yang tinggi terhadap peninggalan benda-benda sejarah.
Perhatian sejarawan juga meningkat, tidak hanya terfokus pada permasalahan pengertian sejarah secara fragmental tetapi mencoba menelusuri dan mencari jawaban atas permasalahan sejarah secara universal. Pada tingkat pemikiran yang demikian ini maka sejarawan mulai lebih meningkatkan perhatian pada Filsafat Sejarah. Dari sini muncullah berbagai tokoh seperti: Ibnu Khaldun, Hegel, Arnold Toynbee, dan lainnya yang menurunkan analisis sejarah yang tidak tertumpu pada satu titik peristiwa sejarah. Dengan membaca kembali segenap peristiwa perkembangan dan keruntuhan peradaban manusia dari berbagai bangsa, dicobanya menemukan hukum sejarah yang digunakan untuk menjawab adanya "refleksi masa lalu sebagai cerminan masa kini".
Barangkali dengan meningkatnya pemahaman kesadaran sejarah, akan mudah pula memahami kesimpulan makna sejarah yang dikemukakan oleh E.H. Carr, ... that it is a continuous process of interaction between the historian and his facts, an unending dialogue between the present and the past.
Kita lihat sejarah Perjuangan Kyai Haji Wasid dan Para Pejuang Banten 1888 di Cilegon, mempunyai gema panjang yang menggetarkan perhatian sejarawan untuk mengangkat kisah perjuangannya sebagai obyek studi. Tetapi kebesaran makna perjuangan Haji Wasid belum selesai sampai disitu karena masih banyak perjuangan yang harus kita jalani untuk kepentingan dan kesejahteran masyarakat kita. Perjuangan KH Wasid terangkat tinggi dan setenar ledakan Gunung Krakatau yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, sosok Kyai Haji Wasid seorang petani yang tumbuh dilingkungan pedesaan dorongannya untuk melawan Belanda akibat adanya tanam paksa yang memaksakan kerja rodi dikalangan masyarakat Cilegon sehingga Kyai Haji tampil sebagai pemimpin umat atau rakyat yang tertindas untuk kebebasan dari penjajahan Belanda.
Peristiwa ini merupakan sebagai suatu realitas sejarah yang menantang dan menuntut jawaban dari pada sejarawan. Mengapa para Kyai dan Ulama di Indonesia yang tak pernah menekuni kemiliteran, berani muncul di tengah rakyatnya untuk memimpin perlawanan bersenjata sebagai gerakan yang bersifat militer. Pengulangan peristiwa sejarah yang demikian itu pasti terjadi karena digerakkan oleh hukum sejarah yang menguasainya. Gerakan perlawanan bersenjata Kyai Haji Wasid merupakan jawaban dari tantangan zaman, tidak luput dari hukum sejarah yang mengendalikannya.
Kyai Haji Wasid seorang Muslim yang hidup di abad ke- 19, tindakannya terpanggil oleh ajaran agama yang diimaninya dan menggunakan al-Qur'an sebagai dasar petunjuk tindakannya. Oleh karena itu pada bagian pertama Artikel ini penulis sampaikan tentang pasang surutnya makna sejarah di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. Dan dituntut kembali membaca hukum sejarah yang terdapat dalam al-Qur'an, sebagai upaya untuk mencari argumentasi kebenaran "Refleksi Masa Lalu Sebagai Kebenaran Masa Kini".
Sejalan dengan seiringnya waktu dalam pembacaan sejarah kita dapat menemukan kembali hubungan antara masa lalu dan masa kini terlebih tepat kiranya bertolak dari ajaran Al-Qur'an, agar dapat memahami latar belakang gerakan Kyai Haji Wasid atau Ulama pada umumnya. Sebagai Muslim, membaca sejarah tak ubahnya seperti membaca ayat Allah ayang terbentang di alam raya ini, bertolak dari pengertian Iqra bismirabbikal-ladzi khalaq (Bacalah dengan asma Allah yang Maha Pencipta). Dengan cara demikian ini, seorang Muslim akan menemukan hakikat status dirinya sebagai pembaca, sekaligus memahami nilai yang dibacanya. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, antara subyek dan obyeknya dan antara masa lampau dan kaitannya dengan pijakan waktunya.
Sebagai pembaca sejarah, Al-Qur'an mengingatkan tentang diri manusia yang proses penciptaannya sejak dulu hingga kapan pun tidak pernah mengalami perubahan, la tabdila li khalqillah. Sebaliknya, masyarakat sejarahnya tidak pernah abadi, selalu mengalami perubahan, kullu man alaiha fan. Realitas yang berkebalikan yang demikian itu, bila tidak difahami dasar konsepsinya, akan menimbulkan kesalahan pembacaan peristiwa sejarah yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, akan menangkap hakikat sejarah yang keliru. Akibat lanjutnya dalam menangkap kehadirannya sebagai subyek pelaku sejarah "khalifah di muka bumi", berubah menjadi obyek sejarah dari kelompok lain. Selain itu juga timbulnya pengertian lain, membaca sejarah berarti memutar realitas kenyataan hidup sekarang untuk dikembalikan ke masa silam.
Kesimpulan demikian ini sebagai akibat kurang mampu membaca pesan sejarah dalam Al-Qur'an itu sendiri. Dibacanya Al-Qur'an secara tekstual belaka, sehingga kurang dapat melihat sisi pesan yang tersirat, la qad kana fi qashashi him 'ibratun, li ulil al baab. Di sini Al-Qur'an mengingatkan pembacanya agar dapat pula menangkap pesan yang tersirat di dalamnya. Tentu saja kemampuan menangkap pesan tersebut tidak dimiliki semua orang, kecuali kelompok al albaab. Secara harfiah artinya "pembuka pintu", tetapi pengertiannya sama dengan pembagian buku yang terbagi atas bab atau pintu. Buku merupakan gudang ilmu, untuk dapat membuka isinya perlu melalui pintu-pintunya: Bab I, Bab II dan seterusnya. Jadi al albaab adalah kalangan ilmuwan. Pesan-pesan yang tersandikan dalam Al-Qur'an inilah nantinya dapat diterjemahkan ke dalam kepentingan zamannya, karena Al- Qur'an bukan hanya merupakan kumpulan kisah sejarah, melainkan juga terkandung di dalamnya hukum sejarah yang terpolakan dalam 25 peristiwa sejarah kerasulan yang dikenal dengan nama Ulul Azmi, kemudian puncaknya dirumuskan dalam Sejarah Rasul Muhammad saw.
Sistem membaca peristiwa Sejarah Kerasulan agar dapat menangkap hukum sejarah di dalamnya, tidaklah hanya terhenti pada penangkapan arti luarnya (eksternal), melainkan harus mampu berlanjut hingga menembus ke dalam pemahaman internalnya, karena peristiwa itu dikisahkan secara simbolis. Hal ini dapat dibaca dalam kisah Nabi Musa as. Tempat pertemuannya pun disandikan dengan bilamana ikan lauk makannya hidup, di sinilah Nabi Musa akan bertemu dengan Nabi Hidir. Selanjutnya Nabi Hidir mengajarkan kepada Musa untuk tidak membaca tingkah laku Nabi Hidir hanya dari sisi lahiriyahnya, Nabi Musa mulai terbuka pengertiannya yang berbeda dengan apa yang dibaca melalui mata kepala. Nabi Hidir menjelaskan tentang tindakannya yang penuh simbolis. Kisah yang demikian direkam dalam Surat Kahfi.
Dengan demikian untuk dapat menangkap hukum sejarah atau pun pelajaran mauidhah, peringatan dzikra, dan kebenaran - haq, yang dijadikan cerminan masa kini, memerlukan pendalaman arti dan makna simboliknya. Bila hanya ditangkap dengan bacaan tekstual semata akan menimbulkan kesimpulan bahwa sejarah kerasulan terhenti di zamannya, serta tidak ada keterkaitannya dengan kehidupan kesejarahan di masa kini. Al-Qur'an merumuskan Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad (perhatikanlah sejarah untuk masa depanmu). Di sini jelas adanya hubungan yang erat antara masa lalu dengan masa kini, dan masa depan. Hal ini akan terhenti sampai di sini, bila tanpa dipertanyakan lebih lanjut. Mengapa adanya perintah membaca sejarah dengan kaitannya masa depan. Ternyata Al-Qur'an menyatakan bahwa wa ma tadri nafsun madza taksibu ghaddan (tidak seorang pun yang mengetahui masa depannya). Dan di dalam sejarah itu terdapat peringatan yang lebih dini, yang dapat dijadikan sebagai early warning bagi yang akan melangkah ke masa depan.
Selain itu, Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa apa yang dirumuskan sebagai hukum sejarah akan terulang kembali di tempat yang berbeda di waktu yang tidak sama. Bagi Al-Qur'an peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau bukanlah sebagai peristiwa dan masa lalu yang mati, melainkan masih tetap hidup, wa la taqulu li maiyuqtalu fi sabilillah amwat bal ahya (dan jangan engkau katakan bahwa yang lalu mati, melainkan tetap hidup). Demikian tafsir bebasnya. Memang di ayat ini berisikan tentang para syuhada yang gugur dalam suatu peperangan. Tetapi sebab mengapa gugur, akan terjawab karena sebagai pelaku sejarah dan terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah terlalu menyimpang bila ayat tersebut ditafsirkan seperti di atas. Dengan demikian Al-Qur'an merumuskan pengertian sejarah bukanlah final, melainkan akan berulang. Keberulangannya inilah yang menempatkan Al-Qur'an sebagai petunjuk sepanjang zaman. Termasuk petunjuk pola peristiwa sejarah yang selalu berulang.
Sekalipun tidak saya jelaskan tentang contohnya, saya yakin para sejarawan yang hadir di sini dan mempunyai komitmen dengan Islam lebih dalam, dapat mengembangkan lebih lanjut data sejarahnya. Yang terpenting Al-Qur'an menggariskan landasan pembacaan peristiwa sejarah. Sepintas hanya tertumpu pada sejarah kerasulan, tetapi dengan kedudukan Al-Qur'an sebagai petunjuk dan berlaku sepanjang zaman, maka kisah kerasulan di dalamnya adalah merupakan cermin untuk menghadapi masa kini, bahkan lebih jauh Al-Qur'an menjelaskan fungsi sejarah di dalamnya sebagai pelajaran, peringatan, kebenaran yang dapat dijadikan pengukuh hati dalam meniti masa depan.
Kalau Al-Qur'an dua pertiga isinya berisikan kisah sejarah, yang dapat dijadikan rahmatan lil alamin, maka kisah masa lalunya adalah dapat dijadikan cerminan masa kini yang bersifat universal. Demikian pula peristiwa sejarah yang terjadi baik yang mempunyai nilai lokal maupun yang nasional, adalah merupakan pembuktian ayat Al-Qur'an secara operasional dalam kehidupan nyata. Itu sebabnya peristiwa Kyai Haji Wasid pun yang mengambil lokasi di Cilegon pada tahun 1888 pada hakekatnya adalah bagian dari perjuangan para syuhada dalam upaya membaktikan dan membuktikan kebenaran Islam. Maka sekarang ini adalah untuk reliving menghidupkan kembali kisah patriotisme para ulama agar dapat menangkap makna dan arti yang pernah diperjuangkan mereka di masa lalu dan menjadikannya reflesi kehidupan dimasa kini dan akan menghasilkan generasi-generasi muda yang tangguh dan siap menjaani hidup, terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar