DN. Halwany
Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah, merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda tajam.
Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan supernatural (magik) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata “jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.
Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta”
Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan cenderung negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit sosial” di atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan keberanian untuk melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang telah ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama rakyat itu tidak ada. Namun prilaku-prilaku jawara, seperti sompral, sombong, kurang taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga menimbulkan antipati masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh agama, kiyai, terutama dari pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural, karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga ia dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa. Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian. Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar. Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai. Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.
Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang “terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat. Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh. Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magi, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.
Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar