DN. Halwany
Islam dan kaum Muslimin punya peranan yang tidak main-main dalam perjalanan bangsa ini. Datang sejak abad pertama Hijriah berkembang hingga kini, Islam memberikan inspirasi yang besar dalam mengantar bangsa Indonesia menjadi Negara Kesatuan.
Sejak terbentuknya Komunitas Muslim Nusantara beberapa abad lalu, para pemuka Islam di negeri ini tidak pernah berhenti berfikir dan berjuang untuk memajukan bangsanya terutama melepaskan dari belenggu tirani penjajah. Umat Islam senantiasa siap sedia mengorbankan harta, benda bahkan jiwanya demi mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.
Apa yang terjadi saat Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) ? adalah merupakan bukti betapa besarnya perjuangan umat Islam negeri ini. Bahkan jauh sebelum itu, pada perang ‘Padri’ di Jawa Timur, perang Aceh, pemberontakan di Banten dan peristiwa pemberontakan – pemberontakan di zaman kolonial Belanda, peran serta ulama tidak dapat di abaikan begitu saja karena beliau berperan sangat penting pada setiap perlawanan bangsa ini.
Selepas kemerdekaan RI, banyak berbagai peristiwa di sejumlah daerah yang melibatkan atau mengatasnamakan umat Islam, salah satu pristiwa yang sangat bersejarah dan mungkin banyak dilupakan orang, adalah pristiwa di Banten pada tahun 1945. Ketika itu para kyai dan ulama berjuang keras untuk menegakkan republik yang baru saja lahir.
Pembentukan Pemerintahan Banten
Sehubungan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, ternyata berita baru diterima masyarakat Banten empat hari kemudian. Berita itu disambut gembira oleh para kyai dan ulama, mereka bersujud syukur kepada Allah SWT, sementara para pemuda dan para santri segera mengadakan aksi penurunan bendera Jepang pada kantor pemerintahan di daerah-daerah.
Persoalan yang muncul adalah siapa yang akan menjalankan pemerintahan Karsidenan Banten, sedangkan Residen yang lama yaitu Yuki Yoshii, pergi meninggalkan kantornya di kota Serang, setelah ia menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya yakni Raden Tirtasujatna. Tetapi tak lama setelah penyerahan kekuasan itu, Raden Tirtasujatna pun pergi meninggalkan Serang menuju Bogor. Padahal pemerintahaan RI telah menujuknya sebagai Residen Banten yang baru dan membawahi 3 Kabupaten antara lain: Bupati Serang yang di pimpin oleh Raden Hilman Djajadiningrat, Bupati Pandeglang oleh Mr. Djumhana dan Bupati Lebak oleh Raden Hardiwinangun. Rupanya ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya dan keluarganya. Memang sudah lama penduduk asli Banten membenci kaum menak (bangsawan) Parahyangan yang mereka anggap sebagai kaki tangan para penjajah.
Kepergian Raden Tirtasujatna itu mengakibatkan terjadinya kevakuman kekuasaan dan pemerintahan Banten. Sementara, agar dapat disebut sebagai negara merdeka, mau tak mau karsidenan Banten harus mempunyai pemerintahan. Karena itu, dilakukanlah pertemuan antara pemuka masyarakat untuk mencari jalan keluarnya. Pertemuan menghasilkan keputusan yaitu menunjuk Kyai Haji Tubagus Achmad Chotib menjadi residen, ia adalah seorang ulama yang sangat terkenal dan disegani oleh masyarakat Banten, Achmad Chotib memang berasal dari keturunan ulama. Ia adalah anak dari Kyai Waseh. Keputusan tersebut disetujui pemerintah pusat dan secara resmi oleh Soekarno, dan pada 19 September 1945 Kyai Haji Tubagus Achmad Chotib diangkat sebagai Residen Banten.
Setelah pengangkatan tersebut. Residen yang baru segera menyusun aparat pemerintahannya. Lalu ditunjuklah Zulkarnaen Surya Kartalegawa sebagai Wakil Residen, selain itu diangkat pula Mohammad Mansyur alias Ce Mamat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Kabupaten Serang; Mohammad Ali sebagai Ketua KNI Kabupaten Pandeglang dan Raden Djaja Roekmantara sebagai Ketua KNI Kabupaten Lebak. Sedangkan dibidang pertahanan dan keamanan diangkatlah Kyai Haji Syam’un sebagai pimpinan militer tertinggi yang membawahi Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan badan-badan perjuangan yang lainnya.
Sama halnya dengan Achmad Chotib, Kyai Haji Syam’un pun adalah cucu dari Kyai Wasid, beliau adalah seorang ulama kharismatik yang menjadi tokoh utama dalam pemberontakan petani Banten pada tahun 1888 atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Pemberontakan Geger Cilegon.
Sesungguhnya dalam gairah revolusi yang meledak ledak pada waktu itu, pengangkatan bekas pamongpraja di zaman penjajahan Belanda dan Jepang banyak ditentang oleh kaum muda, terutama Ce Mamat, Ce Mamat adalah salah seorang tokoh jawara yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI 1926 dan dibuang ke Boven Digul, Irian Jaya oleh pemerintah setempat. Sekembalinya dari pembuangan, ia menjadi ketua Gerakan Joyoboyo Cabang Serang, Joyoboyo adalah sebuah organisasi bawah tanah di zaman penjajahan Jepang yang salah satu kegiatannya melakukuan sabotase terhadap penjajahan.
Achmad Chatib sangat mengerti ketidaksamaan dan penentangan mereka, tapi ia tak punya pilihan lain. Karena untuk menyelenggarakan pemerintahan dibutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian dibidangnya. Penentangan Ce Mamat itu akhirnya berubah menjadi aksi daulat yang dilancarkannya pada 27 Oktober 1945. Bersama pengikutnya, tokoh jawara itu mendatangi kantor Karsidenan Banten. Mereka menyergap Kyai Haji Tubagus Achmad Chtib, Kyai Haji Syamun, dan Kyai Haji Abdul Hadi. Ketiga pemimpin masarakat itu dipaksa mengumpulkan rakyat di Kota Serang untuk mendengarkan maklumat pergantian pemerintah. Keesokan harinya, dihadapan rakyat yang berkumpul dihalaman kantor itu, Ce Mamat mengumumkan maklumat pergantian kekuasan di seluruh Banten, pemerintah lama dibubarkan.
Sebagai gantinya didirikan Dewan Rakyat yang diketuai oleh Ce Mamat sendiri. Kebanyakan orang yang hadir mendengarkan pertemuan tersebut menganggap maklumat itu sah dan merupakan keputusan resmi pemerintah. Sebab para pejabat lama juga menghadirinya. Merka sama sekali tak mengira bahwa para pejabat itu datang karena dipaksa oleh mereka. Seusai maklumat dibacakan, Ce Mamat pergi menuju Kantor Kawedanan Ciomas dan menjadikan tempat itu sebagai markas besarnya. Lalu, orang buangan Digul itu menculik beberapa petinggi seperti; Raden Hilman ( Bupati Serang ), Entol Ternyata ( Kepala Kejaksaan Serang ), dan Oscar Kusumaningrat ( Kepala Kepolisian Serang ). Suasana di Banten pun menjadi kacau balau tak menentu pada saat itu.
Kepemimpinan Ulama
Pada mulanya, Residen Banten yaitu Kyai Haji Tubagus Achmad Catib berniat menangani aksi daulat itu dengan jalan damai. Kyai yang pernah menjadi Komandan Bataliyon I Peta di Labuan-Banten, ingin menyelesaikan aksi Ce Mamat itu tanpa mengorbankan darah sesama bangsa Indonesia yang baru saja mengecap manisnya kemerdekaan. Cara dengan menyusun kembali aparat pemerintah yang bersih dari pejabat warisan Kolonial.
Karena itu, diangkatlah K.H. Syamun menjadi Bupati Serang, sekaligus merangkap sebagai Komandan Militer Tertinggi TKR; Kyai Haji Tubagus Abdul Halim dari Pesantren Kadupeusing menjadi Bupati Pandeglang, dan Kyai Haji Hasan dari Pesantren Kabagusan Kecamatan Majau, menjadi Bupati Lebak. Bersama dengan itu, jabatan Wedana kebawah banyak di serahkan kepada Ulama. Kemudian, sebagai pengganti KNI yang lumpuh, Achmad Chatib mendirikan Majelis Ulama yang berfungsi sebagai Badan Penasihat dan Pengawas Residen. Anggota majelis ini berjumlah 40 orang yang semuanya adalah tokoh Ulama yang di segani masyarakat Banten. Dengan demikian pada penggalan sejarah Indonesia, pernah terjadi suatu pemerintahan yang di jalankan dan diawasi oleh para Ulama, persis seperti Majelis Syura dijaman Rasulullah Muhammad SAW. Sekalipun telah dilakukan perubahan susunan pemerintahan, kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan Rakyat Ce Mamat tak kunjung reda. Ini membuat Residen Kyai Haji Tubagus Achmad Chatib hilang kesabaranya.
Ia pun mengintruksikan Brigadir Jenderal Kyai Haji Syamun, saat pangkatnya masih purnawirawan ketika menumpas gerakan tersebut. Perintah itu diterima dengan gembira, karena sudah lama masyarakat Banten tidak setuju dengan langkah residennya yang dinilai terlalu lunak. Pertempuran tidak terhindarkan lagi. Pasukan TKR dibawah pimpinan K.H. Syamun menggempur markas Dewan Rakyat Ce Mamat. Kemudian, datang juga bantuan pasukan TKR dari pemerintah pusat yang dipimpin oleh Sukanda Bratamanggala. Akhinya Dewan Rakyat pun dapat dibubarkan.
Negara Modern
Peristiwa Banten 1945, menggambarkan bahwa para alim ulama di negeri ini sanggup memegang jabatan apa saja yang diamanatkan oleh rakyatnya mulai dari Residen, Bupati dan Wedana sampai dengan birokrasi di bawahnya. Mereka juga mampu menjadi pimpinan militer tertinggi di daerah. Bahkan berhasil menirikan Dewan Legislatif yang saat itu dinamakan Majelis Ulama.
Melihat kenyataan diatas, jelas bahwa semua unsur yang diperlukan agar dapat disebut sebagi negara moderen telah dipenuhi oleh para ulama yang memerintah di Keresidenan Banten pada tahun 1945. Adapun unsur-unsur itu adalah menduduki wilayah tertentu yang mempunyai penduduk serta memilikipemerintahan dan berkedaulatan.
Dengan demikian tidaklah berlebihan kiranya apa bila disimpulkan bahwa pada penggalan sejarah lokal di Indonesia pernah berdiri sebuah Negara Modern di Banten yang aparaturnya terdiri dari para ulama. Tentu mereka juga menempatkan islam sebagai landasan bernegara di Banten.
Mudah-mudahan dendan cerita ini dapat mengangkat dan memacu para pemuda islam di Banten untuk mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan yang telah di perjuangkan oleh para ulama dan para pejuang Banten terdahulu.
Sumber Data :
- Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
- Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1996, 30 Tahun Korem 064/Maulana Yusuf Banten
menarik juga kajiannya, boleh ditambahain juga agar lebih lengkap mengenai peran ulama di banten dalam proses kemerdekaan indonesia
BalasHapus