Rabu, 16 April 2008

Tragedi Berdarah Cilegon 1888

DN. Halwany


Dalam sekala nasional peristiwa Geger Cilegon merupakan peristiwa yang kurang ‘akbar’ dari peperangan yang ada di indonesia namun demikian tetap memiliki relevansi yang aktual dalam mencari pertautan antara peristiwa-peristiwa lokal yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sikuen-sikuen sejarah perjuangan bangsa.

Fenomena sejarah yang kita amati dan kemudian kita uji kebenarannya sebagai interpretasi seperti yang selama ini banyak diperbincangkan. Fenomena tersebut, menyangkut keberadaan dan tragedi dari seorang korban dalam peristiwa yang masyur terdengar di wilayah Banten yakni Pemberontakan Banten 1888 atau Geger Cilegon 1888, yang pada umumnya dikaitkan dengan pemberontakan para petani dengan berkulitkan Panji Panji Islam. Salah seorang korban yang fenomenal dan dianggap kontroversial, yaitu Wedana Cilegon yang bernama lengkap Raden Tjakradiningrat (PAA.Djajadiningrat, 1936:45-55; H.J.G. de Graaf, 1949:429).

Misteri terbunuhnya Raden Tjakradiningrat lebih bersifat khusus, karena mengingat yang bersangkutan menjabat sebagai wedana yang sebagian orang awam beranggapan bahwa Raden Tjakradiningrat adalah pro Belanda dengan kata lain aparat pemerintah penjajah. Tapi masalahnya, sejauh manakah kasus pembunuhan tersebut berkaitan langsung dengan jabatan yang melekat padanya ataukah ada faktor lain, dan bagai mana sejarah secara proporsional dan adil menetapkan posisi tokoh tersebut dalam suatu ketidak berpihakkan yang objektif dan faktual.

Seringkali permasalahan semacam ini mencuat kepermukaan, di tengah kontroversi yang dikaitkan oleh subyektifitas sejarah terhadap para pelaku dan korban peristiwa sejarah. Salah satu subyektifitas sejarah sebagai kisah, adalah sering kalinya rakyat kecil atau tokoh-tokoh selain utama tidak dapat tempat untuk diperbincangkan keberadaaanya, terlebih lagi peran/tindakan yang dilakukannya (J.M. Fowler, 1974:1477). Salah satu keritik Sartono Kartodirdjo terhadap historigrafi kolonial ialah, “bahwa mereka sangat rendah memandang peranan rakyat pada umumnya, para petani pedesaan pada khususnya” (1966:5).

Latar Belakang Peristiwa

Situasi sosial rakyat Banten pada saat itu dalam keresahaan dan kepihatinan, baik karena terjadinya penindasan maupun ketidak adilan yang selalu menimpa masyarakat oleh bangsa penjajah, dan yang merasakan tidak saja para Ulama tetapi hampir seluruh lapisan masyarakat termasuk kalangan petani yang ada di Banten. Pada tanggal 9 Juli 1888 di pagi buta meletuslah peristiwa yang penuh heroisme, yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Cilegon, Perang Kiyai Wasid, Geger Cilegon dan sebagainya. Dukungan peperangan ini berasal dari berbagai kalangan, seperti kalangan ulama, kalangan petani, kalangan pribumi dan Pejabat Pemerintah.

Menurut Sartono Kartodirdjo (1988:49 dst) sejumlah faktor telah ikut menyulut terpicunya perlawanan tersebut, diantaranya (1) fragmentasi kekuatan rakyat serta proliferasi kepemimpinan yang menghalangi pemberontakan bersekala besar, (2) kecendrungan struktural berupa munculnya kepemimpinan yang kuat dan keramat serta terbentuknya jaringan hubungan antara elite religious, (3) penderitaan berkepanjangan dari rakyat Banten sebagai akibat tindakan pemerintah dalam menghadapi wabah penyakit ternak, (4) prilaku aparat pemerintah Belanda (5) bahaya kelaparan, (6) penderitaan rakyat akibat letusan gunung Krakatau, (7) tumbuh gejala anti kafir serta semakin meningkatnya ibadah di kalangan rakyat, (8) diberlakukannya sistem perpajakan baru sebagai pengganti dihapuskannya kerja wajib dan sebagainya.

Pada suatu pagi dini hari tanggal 9 juli 1888 atau 29 sawal 1306 Hijriah, dengan didahului riuh pekik terdengar teriakan sabilillah, pecahlah pemberontakan lokal di Cilegon, dan kota Kewedanaan ini pun berubah menjadi gelanggang pertempuran rakyat dengan penjajah, yang sasaran utamanya adalah seluruh pejabat, baik pribumi maupun bangsa Belanda, dan korban pun mulai berjatuhan paling tidak 17 pejabat pemerintah tewas, dimana 7 diantaranya adalah orang Belanda, dan selebihnya adalah orang pribumi, dan salah satunya Wedana Cilegon yaitu Raden Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur, diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan tokoh pahlawan puncak pergerakaan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut dan perang terjadi selama tiga minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang tertangkap dibuang oleh para penjajah kedaerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur.

Tokoh fenomenal yang menjadi salah salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, Wedana Cilegon, yang menurut PAA. Djajadiningrat “....tempat kediamannya tidak didekat orang Eropah atau dekat Ambtenar boemi-poetra jang lain......” (1936:55). Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu adalah ketika ia akan bermusyawarah dengan para perjuang (peroeseh, Djajadiningrat), namun di antara mereka terdapat seorang tahanan yang sedang menunggu putusan perkara, namanya Kasidin. Kasidin adalah seorang pencuri yang ditangkap oleh Wedana Tjakradiningrat. Catatan Djajdiningrat berikutnya, menunjukkan bahwa ketika Tjakradiningrat dikepung oleh para perjuang, terdengar suara “.....djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !” tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat kemuka terdengar suara “..... ini jang mesti didahoeloekan !” dan pada saat berikutnya Kasidin membacok leher Wedana Tjakradiningrat (PAA. Djajdiningrat, 1936:56).

Paman PAA. Djajadiningrat, yaitu Raden Astrasoetadiningrat mendapati jenazah Raden Tjakradiningrat tampa kepala terbaring dijalanan dekat alun-alun, dan kepalanya ditemukan di tempat yang tidak jauh dari tempat badannya terbaring, bersama dua mayat anak dari assisten Resident. Menurut keterangan yang masih belum pasti kebenarannya, jenazah almarhum Wedana Raden Tjakradiningrat dimakamkan di suatu tempat dekat penjara yang kini telah menjadi pemukiman penduduk, kurang lebih 300 meter di sebelah barat perapatan jalan Raya Cilegon-Anyer-Bojonegara, setidaknya terdapat asumsi bahwa di dalam suatu keributan, pertempuran atau pun anarki, sering kali jatuh korban yang tidak berdosa. Dan Raden Tjakradiningrat salah satu korban yang mati sia-sia karena seharusnya beliau tidak mati oleh orang kita sendiri, sebab ia termasuk pejuang yang saat itu sebagai pejabat di dalam pemerintahan.

Sumber Data :

1. Diet Kramer, 1936, “Herinneringen Van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”

3 komentar:

  1. Ass wrwb. Apakah anda tau sejarah gudang batu? Mohon di konfir makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus