DN. Halwany
Serang - Banten Lama banyak menarik perhatian. Pesonanya dipicu cerita kejayaan dan kemakmuran rakyat Banten pada masa lalu. Apalagi sisa kemajuan tadi masih bisa dijumpai di beberapa tempat. Alih-alih membangkitkan nostalgia, situs-situs itu justru menuai kritik dari sana-sini. Ini terjadi akibat benda-benda cagar budaya itu tampak dibiarkan kumuh dan tak terurus. Padahal, bila digarap serius situs Banten Lama berpotensi sebagai daerah tujuan wisata arkeologis. Cuaca siang itu (15/04/2006) terlihat begitu cerah. Hawa panas yang ada sudah cukup membuat keringat bercucuran. Tapi itu tak menyurutkan langkah ku untuk terus mencari dan melihat puing-puing sejarah kejayaan Banten.
Menurut pakar sejarah salah satu komponen persyaratan layak atau tidaknya sesuatu wilayah untuk dapat dijadikan sebagai pemukiman, ialah tersedianya suplai air bersih, dengan merekayasa sumber air yang tersedia di sekitar lingkungannya. Di Banten eksistensi danau Tasikardi yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tirtayasa, merupakan suatu fenomena yang amat menarik. Danau Tasikardi melalui hasil penelitian para arkeolog mengenai aspek fisik maupun aspek fungsi menghasilkan signifikasi yang cukup tinggi terutama dalam aspek fungsinya seperti penunjang kesejahteraan masyarakat, sebagai prasarana kegiatan ekonomi pertanian dan sekaigus sebagai sumber air bersih untuk lingkungan keraton.
Tasikardi terletak kurang lebih 2 km di sebelah tenggara keraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ yang luasnya kurang lebih 5 ha, sementara airnya hanya memenuhi 4 ha dengan kedalaman kurang lebih 1 meter, pada tengahnya terdapat sebuah pulau kecil yang khusus di buat oleh Sultan Tirtayasa untuk ibunda Sultan bertafakur “mendekatkan diri pada Allah”, yang membuat saya kagum dari danau tasikardi adalah tritmen air yang ada di sekitar tasikardi, yakni tritment untuk merubah air yang berwarna merah (campur tanah) menjadi air bersih yang siap pakai, tritmen ini melalui tiga tahapan yaitu tritmen satu (pangindelan abang), tritmen dua (pangindelan putih) dan tritmen tiga (pangindelan emas).
Menurut pakar arkeologi H. Halwany Michrob (almarhum), bahwa teknologi yang ada pada pengolahan air bersih di Banten pada zaman kesultanan merupakan perpaduan antara teknologi belanda dan teknologi cina, ini terlihat dari bentuk bangunan setiap pengindelan dan sistem irigasi yang ada. Di sekitar danau dibangun tembok atau benteng keliling. Areal benteng ini disetiap sudut terdapat pintu air. Berbeda dengan danau-danau yang lain, disini selain untuk pengairan sawah (irigasi) air danau ini juga sebagai air bersih bagi kebutuhan keraton surosowan, bisa dilihat dari saluran air danau yang menuju ke keraton surosowan.
Pulau yang ditengah danau berbentuk segi empat dan diberi tembok keliling setiap sisinya. Terdapat tangga untuk naik disisi sebelah utara, sebuah memandian terletak sebelah timur dengan beberapa anak tangga untuk menuju ke bawah, sekarang yang tersisa hanyalah pondasi bangunan yang terdiri dari batu bata.
Pangindelan Abang
Pangindelan Abang merupakan bangunan penyaring pertama yang menyalurkan air danau ke keraton surosowan, bangunan ini terbuat dari batu bata. Terdapat rongga didalamnya dengan bentuk melengkung, atap ditopang oleh dua buah pilar yang kokoh, panjangnya 18 meter, lebar 6 meter, terdapat satu pintu masuk yang berbentuk melengung dengan tinggi 1,5 meter. Sekarang yang ku lihat hanya genangan air dan sampah yang terdapat didalamnya.
Pangindelan Putih
Pangindelan Putih merupakan bangunan penyaring kedua setelah pangindelan abang. Letaknya sekarang jauh ditengah pesawahan yang menyalurkan air danau ke keraton surosowan, bangunan ini terbuat dan berukuran persis sama dengan pangindelan abang. Hanya saja bentuk banguannya agak sedikit berbeda atap bangunannya berbentuk setengah lingkaran dan terdapat lubang bulat dibagaian belakang. terdapat satu pintu masuk yang berbentuk melengung dengan tinggi 1,2 meter. Tapi aku tidak dapat melihat yang ada didalamnya.
Pangindelan Emas
Pangindelan Emas sekarang hanyalah tinggal puing-puing saja, atapnya sudah hancur dibagian depan terdapat sisa bekas saluran air yang terbuat dari batu bata, bentuk asli bangunan sudah tidak diketahui secara pasti. Pangindelan emas merupakan penyaringan air yang terakhir sebelum masuk kedalam keraton surosowan karena air yang keluar dari pangindelan emas merupakan air yang sudah dalam keadaan bersih dan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Pada masa Sultan Tirtayasa pun danau tasikardi tidak kurang penting, pada tahun 1706 Sultan Banten menerima seorang Belanda bernama Cornelis de Bruin, mereka berdiskusi di pulau tasikardi mengenai perdagangan Banten-Eropa. Begitulah menurut Halwany dalam bukunya ”Penelitian Arkeologi Situs Tasikardi Banten Lama”, dan setelah Banten sebagai pusat kota islam dipindahkan kedudukanya di Serang oleh Belanda tahun 1816, maka fungsi danau tasikardi berakhir tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Sumber Data :
- Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
- Halwany Michrob, 1990, Penelitian Arkeologi Situs Tasikardi Banten Lama
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2005, Inventarisasi dan dokumentasi Benda Cagar Budaya dan Purbakala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar