Rabu, 02 Juli 2008

Perjuangan Rakyat Banten


DN. Halwany

Riwayat terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) sangat bersifat khusus, yakni semesta dan berakar pada rakyat/kerakyatan, yang didahului oleh perjalanan panjang melelahkan melawan kekuatan penjajah yang datang ke bumi Nusantara silih berganti. Dari sifatnya yang khas, proses sejarah TNI memperlihatkan hasil pembentukan karakter TRI yang: (1) bukan kelanjutan sejarah militer kolonial Belanda, dan (2) bukan pula kelanjutan tradisi militer pendudukan Jepang. Meski pun tak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian perwira pelopor pembentuk TNI yang dididik baik oleh Belanda mau pun Jepang. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa karakter TNI berakar pada sejarah perlawanan rakyat di seluruh pelosok Nusantara, sama sekali bukan merupakan retorika kesejarahan, tetap menunjuk pada data dan fakta bahwa perlawanan menentang kekuatan asing, tetap berlangsung dengan teknik persenjataan seadanya di bawah kepemimpinan elite kerajaan - kerajaan lokal mau pun kelompok ulama.

Sejarah panjang perlawanan bersenjata rakyat Indonesia sering diiringi oleh semangat juang yang amat tinggi, tetapi sebaliknya tidak didukung oleh kesatuan tindak, keserempakan dan strategi perang yang andal. Sekali pun seringkali pula pihak pejuang Indonesia dapat menimbulkan korban jiwa dan kerusakan cukup besar di pihak lawan, namun tak terhindarkan berkembangnya mitos di kalangan militer Belanda, bahwa: " ...bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu membebaskan diri dari penjajahan Belanda, oleh karena katanya sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak dapat bersatu dan tidak mampu membangun angkatan perang…..” (Simatupang, 1991: vii). Elite militer Belanda agaknya lupa atau mencampakkan begitu saja pengalaman buruk berkepanjangan dari sejumlah perang besar seperti yang terjadi di Aceh, Banten, Jawa (perang Diponegoro), Makasar, Saparua, Banjar, Minangkabau dan sebagainya. Selain terjadi perang frontal, lebih sering terjadi serangan-serangan gerilya, yang seringkali membuat Belanda putus asa, frustrasi, membabi-buta dan sebagainya.

Perang-perang "lokal" dan katanya "terbatas" itu, pada kenyataannya menjadi salah satu sebab utama kebangkrutan kompeni dagang Belanda, selain karena faktor korupsi para pejabatnya. Tidak usah jauh-jauh kita mencari kesaksian, misalnya yang diungkap oleh J.P. Coen (1615) dalam suratnya kepada Heren XVII bertanggal 22 Oktober 1615, menyatakan a.l.: " ... Pangeran Banten tidak takut pada orang Portugis, Spanyol, Belanda atau Inggris mana pun, tetapi hanya kepada Raja Mataram…." (DR. Anthony Reid, 1992: 140). Atas dasar kajian dokumen sejarah lokal dan kolonial, DR. Anthony Reid (1992: 142) antara lain menyimpulkan bahwa orang Asia Tenggara dan khususnya orang Indonesia, dari Aceh hingga ke Maluku, banyak memiliki reputasi dalam hal keberanian individual, jika bukan untuk ketegaran militer. Berikut ini adalah perjalanan panjang berjuang melawan penjajahan yang khususnya dilakukan oleh rakyat di wilayah Banten.

Perjuangan Ulama dan Rakyat Banten

Dalam perkembangan kesejarahan Banten peran ulama sejak berberdirinya Kesultanan Banten sangatlah menentukan. Bahkan berdirinya kesultanan ini didahului dengan motif penyebaran agama dan menolak kehadiran Portugis yang gigih menghancurkan Islam dalam semangat Perang Salib. Pendiri kesultanan Banten pun, Syarif Hidayatullah, adalah seorang ulama yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Hasanuddin, yang juga seorang da'i yang berhasil. Penyerangan Banten ke Lampung dan Solebar pada masa Maulana Hasanuddin, penyerangan Pajajaran pada masa Maulana Yusuf, dan juga penyerangan ke Palembang pada masa Sultan Muhammad, semuanya bermotif keagamaan, penyebaran agama Islam, disamping tidak menutup kemungkinan adanya motif ekonomi, motif kekuasaan, atau motif tambahan lainnya.

Dalam birokrasi kerajaan, dikenal adanya Kadhi (Hakim Agung) yaitu seorang ulama yang mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting. Kadhi atau juga disebut Faqih Najmuddin selalu dimintai pendapatnya dan persetujuannya dalam setiap perjanjian yang dibuat Sultan (Sudewo, 1986:65). Kadhi-lah yang menjadi Wali Sultan dan penasehat pengangkatan pengganti sultan pada masa Sultan Muhammad, yang masih kecil. Bahkan dalam keadaan genting, ia menjadi pimpinan perang di samping jabatan tetapnya sebagai pemimpin keagamaan, misalnya pada masa Sultan Tirtayasa.

Keadaan demikian berlangsung sampai dikenalkan sistem penjajahan oleh Belanda. Pemerintah kolonial berusaha untuk memisahkan antara urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan, disesuaikan dengan prinsip yang dianutnya: sekularisme. Para ulama mengajarkan pada masyarakat bahwa penjajahan adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam. Menentang penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam, dan bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Maka apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan, dia mati sahid yang balasannya hanya surga. Keyakinan semacam ini tertanam pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan demikian wajarlah apabila Banten yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Barat tidak pernah sepi dari perlawanan kepada penjajah. Dan benarlah bahwa nasionalisme Indonesia dimulai dengan nasionalisme Islam (Noer, 1982:8).

Pada masa awal kesultanan sampai dengan masa Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa selalu bergabung dengan para ulama. Sehingga seluruh kebijaksanaan pemerintah mendapat dukungan penuh dari rakyat. Semenjak kompeni Belanda dapat menguasai politik pemerintahan Banten, yang mempunyai missi tertentu kepada agama Islam maka untuk keamanan diri dan keluarganya, kaum elit birokrat sedikit demi sedikit menjauhi kaum agama. Merupakan satu kegembiraan tersendiri apabila mereka tidak dimasukkan kepada kelompok "fanatik", yaitu orang-orang yang memakai ukuran agama dalam tiap tindakannya, dan, karenanya orang "fanatik" inilah yang dianggap berbahaya oleh penjajah. Bagi para pejabat (yang sudah dipengaruhi "kuasa" penjajah), kesejahteraan rakyat tidaklah penting, mereka hanya berlomba-lomba menyenangkan tuannya dengun memeras rakyat. Sehingga sangat jarang sekali perlawanan bersenjata tumbuh dari kalangan birokrat ini. Hal demikian memang disengaja oleh pemerintah penjajah, untuk mengadu-domba pimpinan pribumi. Penjajah merangkul penguasa- penguasa yang rakus dengan kekuasaan; dan dengan dalih mempertahankan adat istiadat nenek moyang mereka bekerja-sama membendung pengaruh agama Islam. Dengan keadaan ini maka hanya kepada para ulama-lah tumpuan rakyat untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Meski pun akhirnya Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Banten, namun perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama terus meningkat; bahkan sejak abad ke-19 perlawanan bersenjata lebih meringkat lagi sehingga dikatakan bahwa sepanjang abad ke- 19 Banten sebagai tempat persemaian kerusuhan dan pemberontakan. Tidak ada satu pun distrik di Banten yang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah Belanda (Kartodirdjo, 1984: 45).

Keadaan demikian sejalan dengan meningkatnya semangat kebangkitan Islam yang tumbuh di Timur Tengah, dan berkat semakin meningkatnya hubungan antara kedua daerah itu (Benda, 1972: 83). Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tidak sedikit di antara mereka, setelah sekian lama bermukim di tanah suci itu kembali ke tanah air dengan membawa kekuatan baru berupa ajaran Is1am yang lebih murni. Lambat laun ajaran tauhid tersebut berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini menguasai Indonesia; dengan dimotori ulama-ulama inilah perlawanan umat Islam lebih marak lagi (Suminto, 1985:3).

Walaupun dalam teorinya pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem politik netral agama, tapi dalam praktek bertolak belakang; banyaknya kemudahan yang diberikan bagi pemeluk agama Kristen sebanding dengan tekanan-tekanan pada pemeluk Islam. Pada tahun 1859, Gubernur Jendral mengintruksikan agar selalu mengawasi setiap gerak-gerik ulama, terutama yang dianggap "fanatik" dan suka memberontak. Dengan melihat bahwa hampir setiap perlawanan rakyat selalu digerakkan oleh ulama terutama yang sudah pergi haji maka diadakanlah pembatasan, pengetatan dan pengawasan terhadap orang yang akan dan sudah haji. Dengan dalih untuk melindungi perjalanan jamaah haji ini, pemerintah kolonial mendirikan konsul di Singapura, Kalkuta, Kairo, dan Jeddah; melalui konsul-konsul itulah segala gerak-gerik jamaah haji dari Nusantara diawasi, sejak keberangkatan sampai pulang dan perbuatan-perbuatan yang dilakukannya selama di Mekkah (Suminto, 1985:3). Di antara jamaah haji dari Banten ini banyak yang mukim di Mekah untuk memperdalam pengetahuan keislaman, dan akhirnya mereka pun banyak yang menjadi tokoh terkemuka mukimin asal Nusantara dikenal dengan nama masyarakat Jawah. Melalui jamaah haji yang merupakan orang pilihan di daerahnya kaum Jawah "memompakan" semangat perjuangan kebangkitan keagamaan dan politik, yang kemudian disebarkan kepada rakyat Banten (Kartodirdjo, 1985:221). Dengan kenyataan ini Snouck Hurgronye menyatakan bahwa dari Mekah inilah perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori (Kartodirdjo, 1985:222).

Salah seorang "kaum Jawah" yang terkenal dan berpengaruh asal Banten adalah Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani. Menurut tradisi, Nawawi adalah keturunan langsung dari Pangeran Sunyararas, putra Maulana Hasanuddin. Mulai dari usia 5 tahun, ia belajar ilmu keislaman dari ayahnya, KH. Umar, di daerah asalnya di Desa Tanara, Tirtayasa, Serang. Sepuluh tahun kemudian, setelah ayahnya meninggal, Nawawi melanjutkan belajar pada K.H. Sahal, seorang ulama terkenal di daerah Banten. Kemudian bertiga dengan saudaranya (Tamim dan Ahmad), mereka pergi ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf. Pada usia yang masih muda, tiga bersaudara itu pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmu keislamannya. Selama 30 tahun (1830 - 1860) Nawawi pun belajar pada Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sambulawesi, Nahrawi dan Abdul Gani Daghestani di Mekah. Selanjutnya, Nawawi belajar pada Syekh Dimyati dan Muhammad Dahlan Khatib al-Hambali di Madinah (Hafifuddin, 1987: 40). Dari ilmu-ilmu yang diperolehnya di perantauan ini, Nawawi banyak menulis buku yang diantaranya 115 judul yang sudah diterbitkan dalam bahasa Arab, dalam berbagai disiplin ilmu. Dengan prestasi keilmuannya ini Nawawi digelari Ulama al-Hijaz, Imam Ulama al-Haramain.

Pengaruh Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani ini sangat terasa dalam pergerakan nasional menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Melalui murid-muridnya yang datang ke Mekah, sewaktu ibadah haji, Syekh Nanawi memompakan semangat perjuangan. Di antara muridnya yang terkenal adalah: K.H. Wasid (Cilegon), K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim Asyhari (Jombang), dan K.H. Tb. Asnawi (Caringin) (Steenbrink, 1984: 118; Chaidar, 1978:6 dan Kartodirdjo, 1988: 78).

Untuk menjaga dari pengaruh ajaran agama dan kebudayaan yang dibawa kolonial Belanda, para guru agama mendirikan pesantren, yaitu lembaga pendidikan keislaman, yang umumnya didirikan di tempat jauh dari keramaian kota. Di pesantren inilah para santri dididik untuk cinta agama dan semangat membela tanah air. Dalam beberapa dasawarsa, di Banten terdapat peningkatan fanatisme di kalangan masyarakat pesantren, dengan satu sikap bermusuhan dan agresif yang ditanamkan pada diri para santri terhadap penguasa kolonial dan kaum priyayi yang dianggap sebagai antek penjajah (Kartodirdjo, 1985:224). Ketimpangan sosial, penderitaan rakyat, dan perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah dan antek - anteknya ini menimbulkan kebencian yang mendalam. Alasan inilah yang memudahkan timbulnya banyak api pemberontakan di Banten yang hampir semuanya berbalutkan agama walaupun dalam skala yang berlainan. Kerusuhan kedaerahan terus bermunculan silih berganti, dari beberapa di antaranya berkembang menjadi pemberontakan yang sesungguhnya.

Prof.DR. Sartono Kartodirdjo (1966) dan Prof.DR. T. Ibrahim Alfian (1994) memaparkan dan menganalisis daftar panjang pergolakan rakyat Banten pasca Kesultanan sampai menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang. Kartodirdjo (1993:391) membedakan gerakan-gerakan rakyat Banten (dan rakyat di daerah lain), ke dalam kelompok gerakan:

1. gerakan melawan pungutan tinggi/pajak;

2. gerakan milenaristis, bertujuan mengembalikan zaman sebelum ada perubahan, ingin menegakkan kembali kesultanan;

3. gerakan mesianistis, gerakan Ratu Adil, dan

4. gerakan revivalistis dan sektaris yang bertujuan memperbaiki kehidupan beragama.

T. Ibrahim Alfian antara lain memaparkan gerakan-gerakan rakyat (sosial; Kartodirdjo lebih senang menggunakan terminologi pemberontakan petani) di wilayah Banten, antara lain:

1. pemberontakan Nyai Gumpara, 1818, milenaristis

2. pemberontakan Tumenggung Muhammad, demang Menes, 1825, protes pungutan pajak;

3. pemberontakan Mas Zakaria, 1811;

4. pemberontakan Ratu Bagus Ali, 1836;

5. pemberontakan Cikande Udik, motif perang sabil;

6. 1850, pemberontakan demang Cilegon yang dicetuskan oleh Tubagus Iskak, Mas Derik dan Haji Wakhia;

7. 1851, perlawanan Usup;

8. 1862, peristiwa Pungut;

9. 1866, kerusuhan Kolelet;

10. 1888, Geger Cilegon, motif perang sabil, dipimpin para ulama, peristiwa terbesar dan paling banyak korban di kedua belah pihak.

T. Ibrahim Alfian menggambarkan bahwa untuk memotivasi semangat "jihad" dalam berbagai pergolakan itu, para pemimpin agama (ulama), memompakan semangat perang sabil dan mati syahid, seperti misalnya terkandung dalam al-Qur'an surah At-Taubah (Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga, mereka berperang pada jalan Allah ... ). Atau juga seperti yang terdapat pada Qur'an surah Al-Hajj: 39 (Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi).

Dalam "meringkas" laporan mengenai Geger Cilegon 1888 yang dipimpin oleh K.H. Wasyid dkk., Alfian memaparka (1994:474): di pihak pemerintah kolonial tewas 19 orang dan 7 orang luka termasuk A.A. Veenhuyzen, Kapten infanteri Batalyon 9. Di pihak rakyat syahid 30 orang termasuk 18 orang haji, luka-luka 13 orang termasuk 4 orang haji, 94 orang diadili dan dibuang termasuk 42 orang haji.

Masa Pendudukan Tentara Jepang

Sekali pun singkat dan hanya berlangsung lebih dari 3,5 tahun, namun pendudukan tentara Jepang berdampak luas dan dalam di seluruh aspek kehidupan, termasuk dampak tumbuhnya embrio tentara nasional Indonesia (TNI). Segera setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia,dibentuklah suatu pemerintahan militer yang bersifat sementara sesuai dengan undang-undang No. 1/1942 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenam belas pada tanggal 7 Maret 1942. Pada dasarnya, susunan pemerintahan masa pendudukan Jepang tetap mempertahankan sistem lama. Pada masa penjajahan Belanda, sejak tahun 1834, daerah kesultanan Banten dijadikan sebagai satu karesidenan, meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Jabatan mulai dari residen sampai dengan kontrolir selalu dipegang orang Belanda; sedangkan jabatan mulai dari bupati ke bawah barulah diserahkan kepada orang bumiputera. Penguasa tertinggi di karesidenan (residentie) adalah residen yang dalam menjalankan tugas sehari-hari dibantu oleh sekretaris residen, asisten residen, dan kontrolir. Asisten residen dan kontrolir biasanya ditempatkan di setiap kabupaten yang berfungsi sebagai pembantu residen dalam menangani masalah pemerintahan di wilayah kabupaten. Penguasa tertinggi di kabupaten adalah bupati, yang bertanggung jawab langsung kepada residen. Dalam melaksanakan tugasnya, bupati dibantu oleh patih, wedana, asisten wedana atau camat, dan lurah atau jaro.

Pada masa kekuasaan pemerintah Jepang, administrasi pemerintahan ini diadakan perubahan dengan beberapa undang-undang dan peraturan yang ddibuat pemerintah Jepang disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di negara Jepang. Berdasarkan UU No. 27 tanggal 5 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan daerah) dan UU No. 28 tanggal 7 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan shu dan tokobetsusyi). Pulau Jawa, kecuali Surakarta dan Jogjakarta, dibagi atas daerah-daerah yang disebut: shu, shi, ken, gun, son dan ku. Shu adalah pemerintahan tertinggi yang berotonomi di bawah seorang shucokan yang kedudukannya sama dengan karesidenan (residentie); shi sama dengan stadsgemeente; ken sama dengan kabupaten (regentschaap); gun sama dengan kawedanaan (distict); son sama dengan kecamatan (onder-district), dan ku sama dengan desa.

Untuk jabatan di wilayah seperti shi, ken, gun, son, dan ku, masing-masing diangkat sityoo, kentyoo, guntyoo, sontyoo, dan kutyoo. Aturan pada jaman Hindia Belanda yang dulu berlaku untuk stadsgemeente, kabupaten (regentshap), kawedanaan (district), dan kecamatan (onder district) serta desa; berlaku juga untuk shi, ken, gun, son, dan ku; kecuali ada peraturan istimewa yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Jepang. Akan tetapi kekuasaan otonomi yang dahulu diberikan mulai dari bupati sampai ke lurah dalam menangani urusan pemerintahan, kecuali untuk tingkat ken dan shi, ditarik menjadi wewenang sityoo; dengan demikian semua otonomi yang ada pada tingkat residentie dihapus. Segala kekuasaan yang dahulu di tangan Gubernur Jenderal kini dipegang oleh Panglima Tentara Jepang (Saiko Shikikan), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Kepala Pemerintahan (Gunseikan). Begitu pula pemerintahan di daerah dipegang oleh tentara Jepang (Surianingrat, 1981: 72-75).

Pada tanggal 29 April 1942, bersamaan dengan pengangkatan wakil gubernur dan pembantu wakil gubernur Jawa Barat, R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat, diangkat sebagai residen Banten (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984:8). Wilayah karesidenan Banten di bawah koordinator Gunseibu Jawa Barat meliputi 4 ken, yaitu Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Karena kondisi geografis sebagai daerah ujung barat pulau Jawa, keletakan Banten merupakan pintu masuk yang sangat strategis serta atas dasar pertimbangan ideologi, politik, sosial ekonomi dan strategi militer, Banten dijadikan benteng pertahanan wilayah pendudukan Jepang di pulau Jawa bagian barat. Basis pertahanan yang terpenting dengan kesatuan tempur besar ditempatkan di Pulau Sangiang, sebagai pangkalan angkatan laut (kaigun) di Selat Sunda, dengan markas komando di Anyer, kekuatan angkatan udara di Gorda, menghadap ke pantai Jawa; kesatuan angkatan darat (rikugun) di tempatkan di Sajira, Rangkasbitung. Di Serang ditempatkan satu Sub Detasemen Kempetai (Polisi Militer), untuk meliputi seluruh daerah Banten. Dengan dalih untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum, di balik tujuan Jepang untuk mengontrol dan memperkuat kedudukannya di Indonesia, dikeluarkan Undang-undang No. 3 tanggal 30 Maret 1942 dan Undang-undang No. 23 tanggal 15 tahun 1942. Undang-undang yang disebutkan pertama adalah larangan untuk berkumpul lebih dari 2 orang dan larangan mendengarkan siaran radio asing. Sedangkan Undang-undang kedua mengenai peraturan pembubaran semua organisasi sosial politik yang ada kecuali NO (Nahdatul Oelama) dan MIAI (Majlis Islam 'Ala Indonesia) (Adam Malik, 1975:18).

Setelah kehidupan organisasi sosial-politik bangsa Indonesia dimatikan dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang disebutkan di atas, pemerintah pendudukan Jepang membentuk organisasi baru yang merupakan organisasi propaganda perang Jepang, yaitu: Gerakan Tiga ANipon pemimpin Asia, Nipon pelindung Asia dan Nipon cahaya Asia. denpan slogannya:

Organisasi ini dibentuk pada tanggal 29 April 1942 dengan Mr. Samsudin ditunjuk sebagai ketuanya tapi baru berusia delapan bulan organisasi ini dibubarkan kembali, karena dianggap gagal dalam missinya oleh pemerintah Jepang, yaitu menarik simpati rakyat Indonesia. Salah satu sebab kegagalan organisasi ini karena pemimpin yang dipilih bukanlah tokoh nasional yang populer di mata rakyat. Di samping itu kalangan militer Jepang sendiri nampaknya merasa khawatir kalau-kalau organisasi ini dipakai oleh golongan nasionalis untuk menyebarkan ide-ide kemerdekaan (Berita Oemoem, 2 April 1943; dan Kahin, 1970: 103-104).

Sebagai gantinya pemerintah Jepang membentuk Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) pada tanggal 9 Maret 1943 dimana para pemimpinnya diambil dari tokoh-tokoh nasional yang populer dan berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia, antara lain Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K. H. Mas Mansur yang keempatnya dikenal sebagai Empat Serangkai. Dengan menempatkan orang-orang tersebut sebagai pimpinan Poetera, Jepang berharap dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mengerahkan potensi rakyat guna memenangkan perang di Asia Pasifik karena diperhitungkan, perang dengan pasukan sekutu akan segera mendekati Pulau Jawa (Kahin, 1970:106). Tapi tidak lama kemudian, Poetera pun dibubarkan dan digantikan dengan Jawa Hookookai (Gerakan Kebaktian Rakyat Jawa).

Untuk mengambil hati rakyat, Jepang melakukan berbagai cara pendekatan, misainya: memberi pelajaran baris berbaris kepada para pemuda, dengan membentuk sainendan dan keibodan. Di samping itu juga pemerintah pendudukan Jepang membangun beberapa gedung sakolah antara lain di kota Serang dibangun sebuah Chugakko (SMP), di Pandeglang dibangun sebuah Sihan gakko (Sekolah Guru) dan sebuah Nogyo gakko (Sekolah Menengah Pertama) (Asia Raya, 20 Oktober 1942 dan Djajamihardja: Wawancara). Program pendidikan yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang bagi penduduk di Banten sebagai usaha menJepangkan penduduk dilakukan lewat sekolah-sekolah yang para gurunya telah dipersiapkan melalui kursus pendidikan guru yang "dipola" sesuai dengan propaganda Jepang. Kursus untuk guru-guru ini diselenggarakan di Jatinegara, Jakarta, yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan; gelombang pertamanya mulai diselenggarakan pada bulan April 1942. Dalam kursus ini para guru di samping mendapat pelajaran kependidikan juga diajarkan bahasa Jepang, adat istiadat Jepang dan taiso Dari karesidenan Banten di antaranya yang pernah mengikuti kursus guru tersebut adalah: Sumintapura dari Pandeglang, Suwardilangi dari Serang dan R. Djajaroekmantara dari Lebak. (semacam senam pagi).

Untuk membantu pasukan Jepang di medan pertempuran dibentuk Heiho, sebagai prajurit pembantu. Dalam prakteknya, untuk mencari pemuda-pemuda yang akan dijadikan Heiho ini pemerintah pendudukan Jepang pun tidak jarang menggunakan cara paksaan. Pemuda-pemuda Heiho ini dilatih secara kemiliteran dan ditempatkan dalam barak khusus yang diawasi ketat oleh tentara Jepang. Para heiho ini dikirim ke front pertempuran di luar tanah air, sehingga banyak pemuda Banten, yang gugur dalam pertempuran di kepulauan Salomon, melawan tentara Sekutu.

Perubahan sosial politik mulai terasa setelah Jepang berkuasa selama satu tahun. Sikap mereka yang semula ramah dan simpatik berubah kejam, menekan rakyat dengan berbagai peraturan ketat. Pemerintah melarang rakyat mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berkumpul lebih dari dua orang. Semua rakyat yang mempunyai radio harus mendaftarkannya di tempat-tempat dan waktu yang ditentukan dalam Maklumat Kantor Besar Pemerintah Dai Nippon. Radio tersebut harus dibawa ke kantor wedana setempat untuk dilak/disegel. Tujuannya agar rakyat tidak mendengar berita dari luar negeri, terutama berita tentang kedudukan Jepang dalam perang. Di antara peraturan-peraturan itu, ada satu ketentuan yang sangat ditentang oleh para ulama, yaitu kewajiban untuk melakukan seikereimusyrik, dosa yang terbesar dalam Islam. yaitu membungkuk ke arah timur untuk memberi hormat kepada Kaisar Jepang, yang dianggap sebagai dewa matahari. Sikap tersebut oleh para ulama disamakan dengan sikap ruku' pada waktu shalat, sedangkan ruku itu hanyalah kepada Allah, bukan kepada yang lain; apabila sikap ruku' itu dilakukan kepada selain Allah. maka termasuk

Sejak Agustus 1943, inisiatif pertempuran Pasifik beralih ke pihak Sekutu. Di Pasifik Utara pihak Sekutu telah mengusir tentara Jepang dari kepulauan Aleuten; di Pasifik Tengah armada Amerika telah siap mendekati Philipina; di Pasilik Selatan pulau-pulau Guadalcanal dan New Georgia di kepulauan Salomon telah dikuasai Sekutu; di Pasitik Barat, pulau Papua juga telah didarati pasukan Sekutu; bahkan beberapa pulau di Indonesia Timur telah mengalami serangan udara. Sehingga otomatis kedudukan Jepang di Indonesia terancam, sedangkan kekuatan tentara Jepang sudah kemunduran, karenanya diperlukan tambahan tenaga Heiho yang sudah tidak mencukupi lagi.

Dalam pada itu, semangat patriotisme pemuda Indoneda yang sudah dapat bersatu, menginginkan adanya "pasukan" yang menguasai bidang kemiliteran, dan semua anggotanya berasal dari orang Indonesia sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kemerdekaan Indonesia.

Melihat situasi yang dialami tentara Jepang yang dalam keadaan terdesak itu, Gatot Mangkuprojo, salah seorang aktifis pergerakan, pada tanggal 7 September 1943 mengirimkan surat pada Saiko Sakikan (panglima tertinggi) dan Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang, yang isinya tentang permohonan membentukan Jawa kyodo bo ei gyugun (pasukan sukarela untuk membela tanah Jawa); dengan alasan untuk membantu tentara Jepang dalam mempertahankan pulau Jawa dari serangan pasukan sekutu. Pada tanggal 3 Oktober 1943 permohonan dikabulkan oleh pemerintah militer Jepang. Demikianlah pada tanggal tersebut Gunseikan (Panglima Tentara XVI) Letjen Kumakici Harada mengeluarkan sebuah peraturan yang dikenal dengan nama Osamu Seirei no. 44, yang berjudul "Pembentukan pasukan sukarela untuk membela tanah Jawa", yang selanjutnya disebut Pembela Tanah Air (PETA) (Panitia, 1985: 55).

Pembentukan PETA dimulai dengan memilih calon-calon perwira, yakni calon untuk shoodanchocudancho (komandan kompi), dan daidancho (komandan batalyon). (komandan peleton),

a. Untuk calon shodancho umumnya diambil pemuda-pemuda yang baru saja selesai sekolah dan belum bekerja.

b. Untuk calon cudancho diambil dari masyarakat yang sudah mempunyai kedudukan, seperti guru, pegawai pamongpraja, dan pegawai lain.

c. Untuk calon daidancho umumnya dipilih dari tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh luas di daerah setempat.

Untuk calon perwira PETA ini didirikan tempat-tempat pelatihan yang disebut Java bo ei gyugun kanbu kyokutai disingkat kyokutai. Pemusatan pelatihan untuk perwira wilayah Jawa dan Madura terletak di Bogor, sedangkan untuk tingkat budancho (bintara) diselenggarakan di Cimahi, Jawa Barat, dan Magelang, Jawa Tengah; dengan lama latihan antara dua bulan sampai lima bulan sesuai dengan kepangkatannya. Untuk membantu dan mengawasi gerakan PETA, di setiap daidan ditempatkan beberapa perwira, bintara, dan tamtama Jepang, sebagai penasihat dan pengawas. Dalam waktu singkat, berdirilah di daerah-daerah kesatuan PETA di bawah pimpinan perwira-perwira muda. Hal ini menambah rasa harga diri dan kebanggaan rakyat yang menginginkan mempunyai angkatan perang sendiri. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa dalam organisasi PETA tidak ada "jenjang karir", seperti pada ketentaraan layaknya. Tidak ada persyaratan ijazah, kontrak kerja, bayangan gaji, ataupun kenaikan pangkat. Motivasi pemuda waktu itu hanyalah semangat keinginan membela tanah air dan memperoleh keterampilan kemiliteran untuk nanti melepaskan diri dari belenggu penjajah.

Tingkat kepangkatan dalam PETA ini terdiri dari: (1) Daidancho (komandan batalyon), (2) Chudancho (komandan kompi), (3) Shodancho (komandan peleton), (4) Budancho (komandan regu), dan (5) Giyuhei (prajurit sukarela). Tentara PETA di Jawa secara organisatoris di bawah koordinasi 3 orang Ciku bo ei sireikan (setingkat Kodam): (1) untuk wilayah Jawa Barat di bawah pimpinan Mayjen Mabuci dan berkedudukan di Bandung (2) wilayah Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Nakamura berkedudukan di Magelang, dan (3) wilayah Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen lwabe dan berkedudukan di Surabaya (Nasution, 1982: 65-67). Di wilayah Banten terbentuk 4 daidan:

a. Dai ichi Daidan (batalyon I), dipimpin oleh K.H. Tb. Ahmad Chatib, yang berkedudukan di Labuan.

b. Dai ni Daidan (batalyon II), dipimpin oleh Entol Oyong Ternaya, berkedudukan di Kandangsapi, Malimping.

c. Dai san Daidan (batalyon III), dipimpin oleh K.H. Syam'un, berkedudukan di Serang, dengan kompi-kompinya di Merak dan Anyar.

d. Dai yon Daidan (batalyon IV), dipimpin oleh Uding Suriatmadja, berkedudukan di Pandeglang sebagai daidan cadangan (Panitia ..., Naskah).

Di Serang dibentuk pula Yugeki tai (pasukan bawah tanah) merupakan pasukan khusus yang tidak berseragam tentara, dan secara organisatoris berdiri sendiri. Anggotanya ada sekitar 27 orang yang dipimpin oleh Ali Amangku (shodancho), Umar Syarif (shodancho) dan Kamaruzaman (shodancho). Tugas resmi mereka itu sebenarnya adalah untuk meneliti sikap masyarakat terutama tokoh- tokohnya terhadap pemerintah Jepang. Tapi dalam prakteknya, para yugekiWawancara, 11 Nopember 1992). Rakyat di Caringin, sebuah desa di dekat Labuan, dengan dipimpin kyai dan pemuka masyarakat merencanakan mengadakan pemberontakan kepada penguasa militer Jepang. Rencana itu sempat tercium oleh kempetai, sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan. Para kyai dan pemimpin perencana pemberontakan itu ditumpas secara kejam sampai ke akar-akarnya. inilah yang secara diam-diam mendekati para pelajar di sekolah untuk menumbuhkan rasa kebangsaan kepada mereka, sehingga dari mereka itulah kemudian tumbuh TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) (Djadjamihardja,

Di daerah Serang, sejak awal pendudukan Jepang sudah ada gerakan bawah tanah yang menentang fasisme ini, yaitu Gerakan Djojobojo yang dibentuk pada tahun 1941. Organisasi ini berpusat di Jalan Semar, Bandung, yang dipimpin oleh seorang tokoh komunis Mr. Muhammad Yusuf. Cabangnya yang di Serang dipimpin oleh Ce Mamat yang sekaligus mendapat wewenang untuk menangani masalah karesidenaan Banten, Tangerang dan Jakarta. Kegiatan organisasi ini terutama banyak dilakukan di kalangan buruh minyak dan buruh perkebunan, dimana mereka melakukan taktik sabotase misalnya dengan membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran, yang mengakibatkan tergulingnya kereta api militer Jepang pada awal tahun 1943 (Kertapati, 1961: 18-19). Pada akhir tahun 1943, Gerakan Djojobojo tercium oleh pemerintah Jepang, para tokohnya ditangkap dan bahkan ada yang dihukum mati. Tokoh Haji Sinting dari Kaujon, Serang, tertangkap dan dijatuhi hukuman tembak. Ce Mamat sendiri tertangkap di Serang kemudian dibawa ke markas kempetai di Serang, kemudian dipindahkan ke markas pusat kempetai di jalan Tanah Abang III, Jakarta, dan baru dibebaskan pada tanggal 19 Agustus 1945.

Pada tahun 1944 bermunculan organisasi pemuda, yang pada umumnya merupakan cabang dari Jakarta; misalnya Hizbullah, Sabilillah, Lasykar Wanita Indonesia, Barisan Pelopor, Barisan Banteng, dan Barisan Indonesia Merdeka (Bima). Organisasi yang disebut terakhir ini merupakan kegiatan di bawah tanah, yang dalam menyampaikan informasi kepada anggotanya dilakukan secara berantai semacam "sel sistem". Menurut Ayip Dzuhri, bekas tokoh pemuda di Serang, kegiatan Bima ini sebenarnya diujudkan untuk merongrong pemerintah pendudukan Jepang, misalnya melakukan sabotase dan lain-lain.

Sedangkan Barisan Pelopor merupakan organisasi bentukan Jepang, yang didirikan pada tanggal 1 Maret 1941. Cabangnya di Serang diketuai oleh Ayip Dzuhri yang juga menjadi anggota Bima. Menurut Sudiro (1979:4) tujuan utama dari Barisan Pelopor ini adalah sebagai kaderisasi pemuda dan aksi massa. Dalam waktu yang hampir bersamaan, didirikan pula organisasi Barisan Banteng cabangnya di Serang dipimpin Ayip Dzuhri dan Abduhadi. Organisasi ini bertujuan untuk menanamkan semangat kebangsaan. Dalam waktu yang relatif singkat Barisan Banteng ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan pemuda. Gambar kepala banteng yang mereka pakai di ikat kepala, baju atau senjata (berupa tombak), adalah sebagai lambang menolak kerja sama dengan Jepang (Rasyidi, 1979:15). Karena Barisan Banteng menunjukkan sikap yang menentang pemerintahan Jepang, maka organisasi ini pernah dibubarkan. Tapi sejak tanggal 3 Nigatsu 2603 (1943) latihan-latihan dibolehkan lagi dengan beberapa syarat.


Sumber Data :

Halwany Michrob & Mujahid, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara 1993

Halwany Michrob, 30 Tahun Korem 064 maulana Yusuf Banten, Percetakan Saudara 1996

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Pustaka LP3ES Inaonesia, 2003

Peristiwa Geger Cilegon 1888

DN. Halwany

Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.

Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga dikenal pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”. Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.

Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir. Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid dari Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji Iskhak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang dan Haji Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia.

1. Pra Peristiwa Geger Cilegon

Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid, yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.

Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar berupa "tadah hujan" menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan.

Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di Kawedanaan (PAA. Djajadinigrat, 1936:8).

Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu. Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).

Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan do'a. Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.

Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f. 125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.

Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka, 1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.

Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat" kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan bersenjata.

2. Jalannya "Pemberontakan"

Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:

1) 4 Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja.

2) Maret April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.

3) 23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H. Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9 Juli 1888.

Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1) akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra bupati Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat, (2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3) adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta perkawinan dan khitanan.

Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk persiapan terakhir pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu dilangsungkan di dalam masjid di luar masjid sudah berkumpul pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir yang juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.

Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.

Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyerangan.

Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara. Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303).

Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban, adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA. Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55), sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56) Menurut rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu, adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para pejuang (peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanan-titipan kasus pencurian hasil tangkapan Wedana Tjangradiningrat yang sedang menunggu putusan perkara, yang bernama Kasidin. Kasidin keluar penjara ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika Tjakradiningrat mendatangi tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang terdengar suara: ' ... djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !', tapi Kasidin yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata: ' ... ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin memarang leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56

Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran dan Keganteran. Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak". Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik, sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon, dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.

Kejadian "Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah. Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan itu.

Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib. VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya dilaksanakan pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan “politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.

Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang" (Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi pemerintahan Belanda.

Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai "setan", "kapir landa" sebutan yang di samping menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh mereka sebagai "anjing belanda".

Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang. Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi.


Sumber Data :

Halwany Michrob & Mujahid, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara 1993

Halwany Michrob, 30 Tahun Korem 064 maulana Yusuf Banten, Percetakan Saudara 1996

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Pustaka LP3ES Inaonesia, 2003

A Mission of Two Ambassadors from Bantam

DN. Halwany


Historical Background

Banten, a Moslem state since the 16th century, came into early contacts with European traders starting with the visit of the Portuguese in 1546 and De Houtman in 1596. In 1619 it lost its harbors Jayakarta to the Dutch who renamed it Batavia. Banten’s sultans who were interested in politics as well as in trade were for decades the most serious rivals of the Dutch. Sultan Ageng (1616 – 1683) a genius in the field of trade caused many losses to the Dutch East India Company not only here but also abroad.

The English in Banten succeeded in convincing the Sultan those cooperation’s with the English East India Company was the only way to liquidate Dutch competition. Sultan Ageng had appointed his son, Sultan Hadji as his fellow-ruler. The latter that at first followed his father’s views later on turned himself against him taking the side of the Dutch. It grew into a clash between father and son which resulted in the victory of sultan Hadji and the imprisonment of Sultan Ageng in the Castle of Batavia, in 1683. The English were expelled from Banten April 12, 1682.

In 1681, Sultan Hadji, still on geed terms with his father sent a diplomatic mission to London to King Charles the II ; they went by English ship ”London” which was loaded with pepper, sandal wood, ginger, Cloves and private goods worth 6 7000 reels. The present several diamonds, a golden peacock set with precious stones, together (according to rumors) 12000 reels.

This mission returned a year and a half later when political conditions had changed. Immediately upon the arrival of this mission they were hurriedly sent by the Sultan to Batavia to report to the Governor General. The English ship camphor, which had not been allowed to anchor in Banten harbor, comes also to Batavia. The ambassadors tried to release the presents for the English captain did not think it necessary to hand over the King’s presents new that conditions had changed so much. Only with the help of the Batavia Government were the goods released. The captain wished to give to the Company “the terribly ugly dogs “a present from King Charles II to the Sultan, but Kyai Aria Wijaya took them home to Banten in his ship.

Besides these animals were unloaded: Crates with guns, mirrors, knives, saddles etc. 40 crates with hardliners, mirrors locks etc, 77 small vats “distilled waters” and I vat with hand lateens further a few pots. Pans and bedding of the Sultan were handed over to the company. The diary in London was confiscated. The diary in English, obviously written by one of the interpreters in London was taken to the Castle of Batavia and translated into 17th Century Dutch. Mrs. Fruin Mees, a Dutch historian found it among the Daghregisters of 1983 in the state Archive. She published it under the title “ Een Bantemsch Gezantshap naar Engeland” in 1682 (Tijdschrift Bataviaasch Geneetshap 1924).

We have made an attempt to translate it again into present day English. As Mrs. Fruin Mess remarked: “the uninterested clerk of the Castle omitted many thinks as for example the plays they watched at the Duke’s Theater”. In spite of this, the diary makes still interesting reading. We they lost only one slave (Which was an achievement at the time, considering the losses suffered by many crews on account of diseases and scurry). We will fallow their stay in London and see how they were entertained. Their own cooks prepared their meals even when they were invited, like at Windsor Castle. One cook died after too much drinking of spirits. The tripe they made to the tower of London, Westminster Abbey, to the House of Lord and the House of Commons are still made by foreign state guests of today.