Senin, 30 Juni 2008

Wisata Arkeologi Banten Lama, Situs-situs yang Tak Terurus

DN. Halwany

Serang adalah Ibukota Provinsi Banten yang banyak menarik perhatian masyarakat dari dalam dan luar negeri. Pesonanya dipicu dari cerita kejayaan dan kemakmuran rakyat Banten pada masa lalu. Apalagi sisa kemajuan tadi masih bisa dijumpai di beberapa tempat. Alih-alih membangkitkan nostalgia, situs-situs itu justru menuai kritik dari sana-sini. Ini terjadi akibat benda-benda cagar budaya itu tampak dibiarkan kumuh dan tak terurus. Padahal, bila digarap serius situs Banten Lama berpotensi sekali sebagai daerah tujuan wisata arkeologis dan wisata religi. Cuaca siang itu (15/04) terlihat begitu cerah. Hawa panas yang ada sudah cukup membuat keringat bercucuran. Tapi itu tak menyurutkan langkah Obay Sobari. Dengan semangat menggebu Pegawai Dinas Suaka Purbakala Banten ini asyik menerangkan sejarah kejayaan Banten kepada setiap rombongan yang memerlukan guide untuk menerangkan sejarah Banten. Ada yang datang dari Jakarta, rombongan para kuli tinta itu sengaja diajak keliling ke beberapa situs oleh pegawai Direktorat Purbakala dan Permuseuman dan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Serang.

Kali ini, lokasi yang dipilih reruntuhan Istana Surosowan. Istana ini dibangun ketika pasukan gabungan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dan Pangeran Fatahillah berhasil mengalahkan Kerajaan Pajajaran dan merebut ibukota mereka, Banten Girang. Di sekitar istana dibangun tembok atau benteng keliling. Areal benteng ini sekitar tiga hektar. Berbeda dengan benteng-benteng Eropa, di atas benteng tidak ada kupel atau bastion. Tetapi justru dibuat tiang-tiang tinggi tempat prajurit mengamati keadaan di luar benteng. Pada masa Sultan Maulana Yusuf, putera Maulana Hasanuddin, benteng diperkuat dengan batu karang dan batu merah. Di sekeliling benteng digali parit-parit. Di dalam istana dibangun kolam mandi. ”Kolam ini disebut pemandian Loro Denok,” (Halwany, 1992). Sisa bangunan ini masih bisa terlihat. Hanya saja bukan lagi jadi tempat mandi para sultan tetapi jadi arena bermain gratis bagi anak-anak.

Sultan Ageng Tirtayasa mempercantik istana Surosowan dengan menyewa tenaga ahli dari Portugal dan Belanda, di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel. Benteng istana diperkuat dan dipojok-pojoknya dibangun bastion, bangunan setengah lingkaran dengan lubang-lubang tembak prajurit mengintai dan menembak musuh. Endjat pun menunjukkan kepada kami ciri bangunan hasil rehabilitasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan pembangunan pada masa Sultan Maulana Yusuf. Karya seni dekorasi tinggi pada masa itu. Bukti ini masih bisa dijumpai pada sisa ubin merah yang dipasang dengan komposisi belah ketupat. Belum lagi sistem parit dan saluran air bawah tanah ke dalam kompleks istana. Menurut Paulus Van Solt, pada 1605 dan 1607 benteng istana sempat mengalami kebakaran. Namun nasib istana Surosowan luluh lantak setelah Daendels memimpin pasukan Kompeni untuk menghancurkannya pada 21 November 1808.

Walau hanya tersisa reruntuhan, situs Surosowan sebetulnya masih cukup menarik sebagai salah satu obyek wisata arkeologis. Runtuhan sisa-sisa bangunan itu, memperlihatkan suatu kualitas yang kukuh dan kokoh pada masa itu. Dari peninggalan arsitektur Banten lama dapat diperoleh gambaran-gambaran mengenai perkembangan yang terjadi dari masa kemasa jika dilihat dari objek arsitektur yang senantiasa berubah dalam kurun waktu yang cukup lama. Perkembangan kota ditinjau dari perkembangan dan perubahan elemen-elemen primer dengan latar belakang non pisik. Objek ini dapat dimamfaatkan untuk mempelajari pola perkembangan kota dan unsur yang mempengaruhinya, semuanya itu tidak lepas dari pengaruh luar terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan idielogis Kerajaan Banten

Namun bila melihat kondisi sekarang ini, kita hanya bisa mengelus dada. Di sekeliling kompleks situs dipenubi pedagang kaki lima. Para pedagang ini membuka kios-kios sempit, menjajakan aneka barang bagi pengunjung Masjid Agung Banten Lama. Sampah pun berceceran di mana-mana. Situs Istana Surosowan juga tak mendapat penjagaan yang layak, walau di sekelilingnya telah dipagari. Setiap orang bisa bebas berkeliaran ke dalam dengan beragam tujuan. Dari sekadar melihat-lihat, berwisata sampai bertapa di salah satu sudut keraton. Lebih miris lagi, pada halaman depan dan bagian dalam istana kawanan ternak ikut ambil bagian. Kerbau, domba dan kambing asyik menikmati rumput yang manis. Melihat semua kenyataan tadi, kita hanya tersenyum getir dan tidak dapat berbuat apa-apa.

Keraton Kaibon

Komplek Keraton Kaibon atau Kaibuan terletak di Kampung Kroya, pada tahun 1832 Kaibon di bongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, sekarang tinggal pondasi, tembok dan gapura saja. Keraton ini mempunyai sebuh pintu besar yang dinamai pintu dalam. Di pintu gerbang sebelah barat terdapat tembok, pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Padureksa dan Bentar). Apabila dibandingkan dengan arsitektur Keraton Surosowan, maka Keraton Kaibon ini nampak lebih “archaik” terutama apabila di lihat dari rancang bangun pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu Bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang yang menuju pintu bagian keraton yaitu gerbang Padureksa. Dalam konsep arsitektur Hindu pembedaan jenis pintu (Bentar dan Padureksa) mengacu pada jenis dan fungsi bangunan sakral atau profan.

Keraton Surosowan

Komplek Keraton ini sekarang sudah hancur. Yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi sisa-sisa bangunan berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa bangunan pemandian dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambang. Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 – 2 meter dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama dibagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali. Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat sama panjang, dengan luas kurang lebih tiga hekto are, pintu masuk / pintu gerbang berada di sisi utara menghadap ke alun-alun, dan di sisi timur berdasarkan peta dan gambar lama. Pada keempat sudut benteng , kita dapati bagian tembok yang menebal yang menjorok keluar (bastion), sedangkan dibagian sisi sebelah dalam benteng pada keempat sudutnya terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang ada dalam tembok benteng. Dilihat dari gambar dan peta lama diketahui pula bahwa kompek ini dahulunya dikelilingi oleh parit yang digunakan sebagai pertahanan, sekarang parit ini sebagian telah hilang, dan yang masih ada terletak di sebelah bagian selatan dan barat benteng.

Benteng Speelwijk

Benteng ini terletak di kampung Pamarican dekat Pabean. Sekarang sudah hancur, tetapi sebagian dari temboknya masih utuh terutama yang terletak di sisi utara benteng, di atas reruntuhan sisi utara tembok keliling benteng Speelwijk di bagian luar terdapat parit buatan yang mengelilinginya. Benteng Speelwijk terletak kurang lebih 600 m di sebelah barat keraton Surosowan, berbentuk persegi panjang tidak simetik karena setiap sudutnya terdapat Bastion. Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda dan untuk menghormatinya nama yang diberikan pada benteng ini adalah nama pejabat Belanda yaitu Gubenur Jendral Cornelis Janszon Spelman yang bertugas di Banten pada tahun antara 1681 – 1684.


Sumber Data :

  1. Halwany Michrob & Mudjahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu Banten

Wisata Ziarah di Reruntuhan Kerajaan Banten, Bersimpuh Sambil Mengharap Berkah

DN. Halwany


Hari Jumat padi saya berwisata ke Banten Lama, mengunjungi museum, melihat laut dari menara masjid dan saya melihat beberapa orang sedang bersimpuh di depan makam Sultan Hasanudin yang terletak di sebelah utara Masjid Agung Banten di Desa Banten, 10 kilometer sebelah utara Kota Serang, Provinsi Banten. Mulutnya komat-kamit membaca doa secara cepat dan mimik wajahnya terlihat penuh pengharapan. Saya menanyakan pada salah seorang penziarah dan diapun menjawab tanpa ragu-ragu “setiap hari Jumat saya ke sini, sekadar berziarah kepada para leluhur dan mencari berkah. Sebulan sekali pada malam Jumat saya tidur di masjid ini untuk membaca doa-doa, wirid, atau membaca Al-Quran,” kata Yanto yang lahir di Yogyakarta dan sudah tujuh tahun tinggal di Kota Serang. Biasanya sepulang dari berziarah, Yanto membawa air putih dalam botol kemasan air mineral. Air ini sengaja diletakkan di dekat makam raja ketika dia berwirid atau membaca Al-Quran. Air ini diyakini telah diberkati. “Airnya saya percikkan ke sekitar tempat saya berdagang. Ini sudah kebiasaan saya,” katanya. Yanto tidak sendirian, banyak Yanto Yanto yang lain yang melakukan hal serupa. Setiap tahun tercatat 12-13 juta orang berdatangan ke kawasan reruntuhan Keraton Kerajaan Islam Banten yang jaya pada abad ke-12. Mereka datang dari berbagai daerah, baik dari luar maupun dari Banten sendiri. Kedatangan mereka selain untuk berwisata, juga untuk mendapat berkah di petilasan kerajaan ini.

Sultan Hasanudin merupakan raja pertama yang memimpin Kerajaan Islam Banten setelah didirikan oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah yang berdiam di Gunung Jati, Cirebon. Gelar yang dipangku saat itu adalah Panembahan Maulana Hasanudin. Kota kerajaan yang semula berpusat di Banten Girang dipindahkan ke dekat muara Sungai Cibanten yang kemudian dikenal dengan nama Banten (keraton Surosowan). Pemindahan ibu kota ini setelah Pucuk Umun (Raja Banten) ditaklukkan dan daerahnya telah diislamkan oleh Maulana Hasanudin. Kejayaan kerajaan Banten ini terbukti dengan adanya ekspor-impor perdagangan antara negara (Halwany, 1993) dan pesatnya perkembangan pelabuhan. Tercatat bangsa yang berniaga itu adalah Inggris, Spanyol, Portugis, Arab, Melayu, Gujarat, Persia, Cina, dan bangsa-bangsa lainnya. Kejayaan pelabuhan ini menggeser ketenaran Sunda Kelapa (Jakarta). Namun Belanda menghancurkan kerajaan Banten ini setelah terjadi perpecahan pada pewarisnya. Belanda berhasil meyakinkan Sultan Haji untuk menyerahkan ayahnya, Sultan Agung Tirtayasa ke Belanda untuk dipenjara dan diasingkan. Belanda pun memindahkan kota Banten Lama ke Kota Serang yang hingga saat ini masih berdiri.

Kini reruntuhan keraton ini berserakan di atas tanah seluas 3,5 hektare di Desa Banten. Hanya tinggal Masjid Agung yang utuh dari kejayaan Kerajaan Banten dan itupun telah berulang-ulang direnovasi. Bangunan-bangunan keraton dan benteng di kawasan Banten Lama ini nyaris rata dengan tanah hanya tinggal puing-puing berserakkan. Sisa-sisa keraton ini yang kini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berziarah yang diyakini mendatangkan keberkahan bagi yang mempercainya. Dari Kota Serang menuju Banten banyak makam Raja-raja di sepanjang jalan, ada makam-makam raja, bala tentara dan pembesar kerajaan yang terkenal namanya, karena kebajikan maupun kepahlawanannya melawan penjajahan. Misalnya, Maulana Yusuf yang terkenal dalam penyebaran agama Islam, Pangeran Arya Mandalika dan banyak lagi yang lainnya. Sebenarnya wisata ziarah sebelum sampai Banten Lama sudah dikatakan dimulai karena banyak makam disepanjang jalan yang disinggahi penziarah. Makam itu disertai dengan fasilitas parkir, kolam untuk wudhu, MCK, dan sebagainya.

Mendekati lokasi Masjid Agung Banten terdapat reruntuhan Keraton Kaibon yang kini sudah dipagar. Keraton Kaibon dibangun setelah berdirinya Keraton Surosowan yang merupakan keraton utama, tempat raja menjalankan pemerintahannya. Pembangunan kedua keraton itu dibantu arsitek Portugis bernama Cordel yang dianugerahi gelar Tubagus (Tb) Wiraguna. Sedangkan Keraton Kaibon dibangun untuk dipersembahkan kepada ibunda raja tercinta.

Keraton Surosowan merupakan pusat pemerintahan zaman kesultanan namun sekarang tinggal reruntuhan kerajaan, pondasi-pondasi dan bagian-bagian kecil yang tersisa. Di sebelah selatan, terdapat sebuah kanal yang dihubungkan dengan Jembatan yang di kenal dengan jembatan rante. Sedangkan Tasikardi adalah merupakan waduk tempat pengairan sawah dan sebagai sumber air bersih yang memasok kerajaan (keraton Surosowan). Sedangkan di sebelah utara terdapat masjid agung dan sebuah museum yang memajangkan berbagai benda pusaka. “Dulu, kapal-kapal perniagaan bisa merapat ke dekat keraton ini dan menyusuri Sungai Cibanten hingga ke Girang (daerah hulu yang sekarang dikenal Banten Girang di Kota Serang). Sekarang semuanya sudah tertutup, tinggal Pelabuhan Karanghantu yang tersisa.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang menyediakan terminal dan lapangan parkir cukup luas untuk kendaraan wisatawan. Dari parkir ini, dibuat jalan paving block untuk berjalan kaki menuju Masjid Agung dan makam Sultan Hasanudin. Sayangnya, lapangan parkir dan pinggir jalan itu dipenuhi berbagai pedagang mulai dari penjual kopiah, kemenyan, penganan hingga buah-buahan. Serta banyak sekali para pengemis ada yang masih anak-anak yang setia mengikuti pengunjung sebelum diberi uang recehan. Sekitar 300 meter dari lokasi parkir, tampak meriam Si Jagur yang unik karena di bagian penyulut sumbunya berhiaskan kepalan tangan yang jari jempolnya diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Meriam Si Jagur diyakini berpasangan dengan meriam Si Amuk yang kini berada di Jakarta. Keduanya merupakan hadiah dari Portugis dan digunakan untuk menjaga pantai. Konon, siapa yang sudah merangkul kedua meriam itu akan hidup bahagia dan serasi dengan pasangan hidupnya. Sedangkan bagi yang belum berkeluarga, keberanian dan kegarangan Si Jagur akan menular kepadanya. Si Jagur ditempatkan di depan halaman Museum yang dibangun pemerintah pusat. Di museum itu dipajang penemuan hasil penggalian para arkeolog mulai dari gerabah, persolen cina, mata uang Banten, persenjataan hingga baju-baju kerajaan.

Menara Masjid Banten kini menjadi lambang bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Menara ini biasa dinaiki pengunjung. Di atasnya, bisa melihat laut sebelah utara dan pulau-pulau kecil, pelabuhan, serta perkampungan di sekitar reruntuhan kerajaan. Pada sore hari, pemandangannya sangat menakjubkan. Sebelum berziarah ke makam raja, jangan lupa membeli air mineral untuk meangkap berkah doa-doa. Pulangnya. Jangan lupa pula, menyiapkan recehan karena akan diserbu pengemis anak-anak yang merengek dan mengikuti Anda. Sekali Anda memberi recehan, pengemis lain akan mengerubuti Anda.

Wisata Budaya Banten

DN. Halwany


Perpushalwany
merupakan situs yang menyajikan informasi seputar tempat-tempat wisata, seputar budaya, dan informasi lainnya yang ada di Banten. Dalam situs ini anda dapat mendapatkan segala hal atau informasi yang ada kaitannya tentang wilayah Banten, tujuan utama dari situs ini adalah untuk mempublikasikan tempat-tempat wisata dan seni budaya yang di Banten. Dengan keterbatasan data dan sumber informasi penyusun mencoba memberikan informasi yang terbaik dan terakurat mudah-mudahan memberikan inspirasi bagi para pembaca dan menjadikan situs ini sebagai situs percontohan untuk menciptakan situs-situs yang lain yang lebih baik dan dapat memperkaya nuangsa seni dan budaya Banten bagi pencinta serta pemerhati budaya yang terdapat di Propvinsi terbaru ini. Terima kasih.

Di Banten terdapat peninggalan warisan leluhur yang sangat dihormati, antara lain Mesjid Agung Banten Lama, Makam keramat Panjang, Masjid Raya AL-Azhom dan beberapa peninggalan historis lainnya yang bernuansa religi. Latar belakang historis ini membuat mayoritas penduduk Banten memiliki semangat religius keislaman yang sangat kuat dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sebagian besar masyarakat memang memeluk Islam, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Dalam ukuran tertentu, Banten bisa menjadi salah satu contoh pluralisme agama di Indonesia. Kondisi sosial budaya masyarakat Banten diwarnai oleh potensi dan kekhasan budaya masyarakatnya yang sangat variatif, mulai dari seni bela diri pencak silat, debus, rudat, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung, dan lojor. Hampir semua seni tradisionalnya sangat kental diwarnai dengan etika Islam. Ada juga seni tradisional yang datang dari luar kota Banten, tapi semua itu telah mengalami proses akulturasi budaya sehingga terkesan sebagai seni tradisional Banten, misalnya seni kuda lumping, tayuban, gambang kromong dan tari cokek. Bahasa yang digunakan masyarakat Banten khususnya yang berada di wilayah utara menggunakan bahasa Jawa Serang, sedangkan di wilayah selatan menggunakan Bahasa Sunda.

Namun demikian, Provinsi Banten juga terkenal dengan masyarakat tradisonalnya yang masih memegang teguh adat tradisi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Mereka dikenal dengan suku Baduy yang tinggal di desa Kanekes, Kabupaten Lebak, sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten. Pemerintah menetapkan kawasan cagar budaya Pegunungan Kendang seluas 5.101,85 ha di Kenekes sebagai tempat tinggal mereka. Daerah ini dikenal sebagai wilayah titipan nenek moyang mereka yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh diakui sebagai hal milik pribadi. Meski kesenian di Banten banyak ragamnya, debus merupakan kesenian yang paling populer. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570).

Wisata Budaya - Orang Kanekes

Banten tak pernah kehabisan cerita. Provinsi yang baru di bagian barat tanah Jawa ini punya segudang potensi seni dan budaya pariwisata. Dari petualangan alam yang menantang, panorama yang mengundang decak kagum sampai keunikan budaya masyarakatnya. Tentu saja, semua itu bila digarap serius bisa jadi nilai tambah bagi perekonomian penduduk. Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yang turun temurun yaitu Suku Baduy. Mereka ada di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibu kota Provinsi Banten. Jika mengunjungi masyarakat Baduy, pasti berdecak kagum melihat dengan kehidupan tradisional ini, bagi yang terbiasa hidup di kota metropolis, kehidupan yang sederhana itu terasa begitu primitif. Bayanginkan, di sana tidak ada listrik dan pompa air. Kalo malam jadinya gelap gulita, yang ada hanyalah lampu templok. Berbicara dalam gelap buat mereka sudah biasa.

Perkampungan Baduy sebetulnya sudah terkenal dari sejak dulu. Tak jelas kapan pastinya, kehidupan masyarakat bersahaja ini mulai dijual sebagai wisata budaya dan petualangan. Baduy kebanyakan dijelajahi oleh para penggemar petualangan. Cerita soal Baduy memang menarik diikuti. Konon, para ilmuwan, masyarakat Indonesia dan internasional yang menamakan kelompok penghuni di kawasan pegunungan Kendeng, Banten Selatan itu sebagai orang Baduy. Kata Baduy itu sendiri datang dari sebuah bukit yang namanya gunung Baduy dan mata air CiBaduy di selatan Kampung Kerdu Ketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Orang Baduy sendiri menamakan kelompok mereka dengan sebutan Orang Kanekes. Nama Kanekes berasal dari sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu. Ada dua kelompok penduduk di kawasan seluas sekitar 5.102 ha di Kabupaten Lebak itu. Yang terbesar, sekitar 7.000 jiwa. Kelompok ini disebut Urang Panamping (Orang Panamping, sebutan untuk Baduy Luar). Mereka tinggal di bagian utara wilayah tadi. Masyarakat ini menempati 28 kampung yang punya delapan anak kampung (babakan). Di bagian selatan, terdapat hunian orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai Urang Tangtu (Badui Dalam). Pada tahun 2000, kelompok yang mendiami tiga buah kampung itu (Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo) populasinya mendekati 800 jiwa. Orang Tangtu menyebut saudara-saudara mereka di bagian utara (yang ciri khas pakean hitam dan celana hitam, ikat kepala batik berwarna biru dan bercorak biru tua bergambar adu ayam) dengan Urang Kaluaran (orang yang dikeluarkan). Orang Kaluaran memanggil saudara mereka di bagian selatan sebagai Urang Girang.

Orang Baduy atau Urang Rawayan adalah sekelompok komunitas Sunda yang kebudayaannya dianggap kebudayaan minoritas (culture minority), sebab mereka dianggap oleh orang yang tidak tahu sebagai etnis minoritas. Baduy bukan etnis minoritas. Masyarakat Badu adalah bagian dari etnis Sunda. Perubahan administratif suatu geografis tidak serta-merta menyebabkan etnis yang terpisahkan itu menjadi etnis Cina, Batak, Padang, dan lain-lain, sejauh kedua etnis terpisahkan oleh dinding administratif itu tetap terikat oleh filsafat, kesenian, bahasa, dan kepercayaan yang sama. Dan sampai hari ini, orang Baduy masih bertutur kata Sunda, berfilsafat Sunda, berkesenian Sunda, dan berkepercayaan Sunda. Orang Baduy adalah salah satu komunitas Sunda yang cerdas memelihara dirinya dari jerat-jerat kebudayaan eksogen yang dihasilkan lewat out breeding kebudayaan luar yang dibawa oleh individu-individu yang miskin kultural. Orang Baduy masih mampu memelihara identitas diri (self identity) etnisnya. Identitas diri atau jati diri adalah cara seseorang memandang, membayangkan, dan mencirikan dirinya. Identitas diri pada umumnya ditampakkan lewat cara seseorang berpakaian. Pakaian orang Baduy, sangat khas berciri etnik. Mereka tidak malu berpakaian tidak sebagaimana umumnya masyarakat sekelilingnya. Dan tak seorang pun di antara kita yang memandang rendah.

Kecuali orang Baduy, kita termasuk orang-orang yang kehilangan identitas dirinya. Bangsa-bangsa yang cerdas memelihara identitas dirinya di antaranya adalah bangsa India, bangsa Afrika, bangsa Cina, bangsa Melayu, dan bangsa Jepang. Bangsa-bangsa tersebut sekurang-kurangnya tetap memelihara identitas dirinya lewat caranya berpakaian. Dan bangsa Sunda, daripada berpakaian etnisnya, mereka lebih memilih pakaian model bangsa Arab, seperti gamis dan surban. Bisa jadi orang-orang Sunda tersebut membayangkan, memandang, dan mencirikan dirinya sebagai orang Arab dan hal itu absah sangat. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, pernak-pernik, sarung serta golok/parang. Masyarakat Baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun atau Jaro. Puun atau Jaro bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun mereka menggelar upacara Seba kepada Bapak Gede (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar. Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi. Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air.

Wisata Sejarah – Kawasan Banten lama

Mengunjungi kawasan wisata Banten lama memang boleh dibilang dengan kunjungan wisata sejarah karena menyajikan peninggalan-peningalan sejarah dan memberikan gambaran-gambaran masa keemasan yaitu zaman kesultanan. Awal mula Banten tak bisa lepas dari keberadaan sebuah tempat yang dikenal dengan kawasan Banten Lama. Berada di wilayah Kasemen, di sana terdapat sejumlah bangunan yang mampu berbicara banyak mengenai perkembangan Banten sejak kemunculannya. Dalam konteks sekarang, bangunan ini juga menjadi simbol kejayaan Banten masa lalu. Komplek Istana Surosowan, dulunya adalah keraton kesultanan pertama yang ada di Banten. Dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin, keraton ini berdiri di areal seluas 3 hektar dan dikelilingi oleh tembok tinggi setebal 5 meter. Namun, ketika Belanda menguasai Banten, istana dihancurkan. Dan kini hanya temboknya yang tersisa. Tak jauh dari Istana Surosowan, dapat dijumpai bangunan lain yang dikenal dengan Mesjid Agung Banten. Mesjid yang masih berdiri kokoh ini masih digunakan sesuai dengan fungsinya sampai sekarang. Mulai didirikan pada masa sultan Banten pertama, mesjid ini merupakan mesjid kedua yang dibangun sultan dan menjadi ikon Banten Lama. Bangunan yang bergaya Eropa-Cina ini memiliki 4 bangunan di dalamnya, yakni bangunan utama (sebagai tempat ibadah) berbentuk segi 4 dengan atap bersusun 5, Tiyamah, menara dan makam di sisi utaranya. Bangunan Tiyamah sendiri berfungsi sebagai pelengkap dan dulu digunakan sebagai tempat bermusyawarah atau diskusi keagamaan. Di sebelah utara mesjid, terdapat beberapa makam tua dari keluarga kerajaan dan pengikut setianya. Makam ini masih ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai pelosok.

Bangunan yang paling khas di kompleks ini adalah menara mesjid dengan tinggi sekitar 25 meter dengan arsitektur Cina yang sangat unik dan menarik perhatian. Anda bisa naik ke puncak menara melalui tangga sempit, selebar bahu, yang melingkari tubuh menara dan menikmati pemandangan sekitar Banten yang cantik serta perairan Selat Sunda yang eksotis dari puncaknya. Satu lagi bangunan penting di kawasan ini, yaitu Istana Kaibon yang berada di Kampung Kroya atau di sekitar pertigaan dan jembatan menuju mesjid agung. Berasal dari kata 'keibuan', dulunya, istana ini dipakai oleh Ratu Aisyiah, ibu Sultan Syafiuddin yang mengungsi karena dihancurkannya Surosowan oleh pasukan Belanda. Tetapi, Istana Kaibon pun bernasib seperti saudara tuanya (Surosowan-red). Belakangan, Kaibon pun dihancurkan oleh Belanda. Sekarang, kondisi Kaibon sedikit lebih baik dari Surosowan. Pengunjung masih bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas bentuk istana ini secara menyeluruh. Tak jauh dari Surosowan, ada bangunan Benteng Speelwijk (Belanda) dan sebuah kelenteng Cina atau vihara yang sekarang bernama Avalokitesvara, yang juga menjadi saksi perjalanan sejarah Banten. Meski tinggal menyisakan tembok di bagian utaranya saja, dengan beberapa makam Belanda di sekitar kompleks atau yang dikenal dengan Kierkof, Speelwijk memiliki pesona lain untuk dinikmati. Sementara, kelenteng yang berdiri hanya beberapa puluh meter dari benteng, merupakan kelenteng tertua di Banten. Kelenteng yang berada di bibir pantai ini juga dianggap keramat karena tidak rusak sedikit pun walau diterjang gelombang tsunami besar akibat letusan Gunung Krakatau, 123 tahun lalu.

Wisata Seni Budaya - Debus

Setelah mengucapkan mantra “haram kau sentuh kulitku, haram kau minum darahku, haram kau makan dagingku, urat karang, tulang wesi, kulit baja, aku keluar dari rahim ibunda. Aku mengucapkan kalimat la ilaha illahu. Maka pada saat itu juga ia menusukkan golok tersebut ke paha, lengan, perut dan bagian tubuh lainnya. Pada saat atraksi tersebut iapun menyambar leher anak kecil sambil menghunuskan goloknya ke anak tersebut. Anehnya bekas sambaran golok tersebut tidak ada meninggalkan luka yang sangat berbahaya bagi anak tersebut. Atraksi yang sangat berbahaya tersebut biasa kita kenal dengan sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat. Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan semacam senjata tajam ini disebut dengan debus.

Kesenian ini tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan dengan berkembangnya agama islam di Banten. Pada awalnya kesenian ini mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa penjajahan belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat Banten melawan penjajahan yang dilakukan belanda. Karena pada saat itu kekuatan sangat tidak berimbang, belanda yang mempunyai senjata yang sangat lengkap dan canggih. Terus mendesak pejuang dan rakyat banten, satu satunya senjata yang mereka punya tidak lain adalah warisan leluhur yaitu seni beladiri debus, dan mereka melakukan perlawanan secara gerilya. Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.

Dalam melakukan atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat syarat yang berat, sebelum pentas mereka melakukan ritual ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman yang kuat dan harus yakin dengan ajaran islam. Pantangan bagi pemain debus adalah tidak boleh minum minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan pemain juga harus yakin dan tidak ragu ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut, pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut. Menurut beberapa sumber sejarah, debus mempunyai hubungan dengan tarekat didalam ajaran islam. Yang intinya sangat kental dengan filosofi keagamaan, mereka dalam kondisi yang sangat gembira karena bertatap muka dengan tuhannya. Mereka menghantamkan benda tajam ketubuh mereka, tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Kalau Allah tidak mengijinkan golok, parang maupun peluru melukai mereka. Dan mereka tidak akan terluka. Pada saat ini banyak pendekar debus bermukim di Desa Walantaka, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Yang sangat disayangkan keberadaan debus makin lama kian berkurang, dikarenakan para pemuda lebih suka mencari mata pencaharian yang lain. Dan karena memang atraksi ini juga cukup berbahaya untuk dilakukan, karena tidak jarang banyak pemain debus yang celaka karena kurang latihan maupun ada yang “jahil” dengan pertunjukan yang mereka lakukan. Sehingga semakin lama warisan budaya ini semakin punah. Dahulu kita bisa menyaksikan atraksi debus ini dibanyak wilayah banten, tapi sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event event tertentu. Jadi tidak setiap hari kita dapat melihat atraksi ini. Warisan budaya, yang makin lama makin tergerus oleh perubahan zaman.

Wisata Ziarah – Makaom Sultan Banten

Hari Jum’at Pagi, meskipun cuaca mendung nampak serombongan ibu-ibu berbusana seragam muslim warna hijau muda berjalan bergegas menuju kompleks Mesjid Agung Banten. Hujan rintik yang mulai perlahan turun nampaknya tidak mampu mengurungkan niat mereka untuk berziarah kemakam-makam sultan Banten. Sepertinya hal ini merupakan rutinitas yang telah biasa mereka lakukan. Menjelang siang nampak berbagai bus-bus pariwisata yang didominasi kaum hawa berdatangan dari berbagai wilayah di pulau Jawa. Tampak sekali rasa antusias mewarnai rona muka mereka tatkala mereka berkunjung atau berziarah ke Mesjid Agung Banten. Masjid Agung Banten yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanudin atau putera dari Sunan Gunung Jati, meskipun telah berumur lebih dari 4 abad (didirikan pada kisaran tahun 1560-1570), nampak masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Seperti juga mesjid-mesjid lainnya, bangunan induk mesjid berdenah segi empat. Atapnya merupakan atap bersusun lima dengan bagian kiri dan kanannya terdapat masing-masing serambi. Agaknya serambi ini dibangun pada waktu kemudian. Didalam serambi kiri, yang merupakan bagian utara dari mesjid, terdapat makam-makam dari beberapa sultan Banten dan keluarganya, diantaranya makam Maulana Hasanuddin dan isterinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar. Sedangkan didalam serambi kanan, yang terletak di selatan, terdapat pula makam-makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul 'Abidin dan lain-lainnya. Pada bagian tangga pada masdjid itu memiliki model menyerupai goa, yang menurut sejarah pembangunannya dilakukan atas bantuan seorang arsitektur asal Mongolia bernama Cek Ban Cut.

Pada sisi timur dari mesjid tersebut terdapat menara yang berdiri dengan ketinggian ± 30 meter dengan diameter bagian pangkalnya ± 10 meter. Menara ini dulunya selain sebagai tempat untuk mengumandangkan azan juga digunakan untuk melihat/mengawasi perairan laut. Konon menara ini dibangun semasa kekuasaan Sultan Haji pada tahun 1620 oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucazoon Cardeel. Pada waktu itu, Cardeel memang membelot ke pihak Banten, dan kemudian dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna. Dibagian dalam menara tersebut terdapat sebuah tangga untuk menuju bagian atasnya. Tangga tersebut melingkari menara pada bagian tepi dalamnya dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati oleh satu orang saja. Bahkan bila anda memiliki ukuran tubuh yang gemuk/besar, bisa dipastikan tidak akan bisa melewatinya. Dari bagian atas menara ini, kita dapat melihat pemandangan disekitar mesjid termasuk lautan lepas dengan perahu-perahu nelayannya. Jarak antara menara ini dengan pantai tidaklah jauh yakni kurang lebih 1,5 km, sehingga cukup jelas untuk memantau kesibukan di perairan laut Banten. Dengan kata lain, Mesjid Agung Banten memang sarat dengan nuansa keagamaan Islam yang telah dipadu dengan budaya Barat dan Cina pada arsitektur bangunannya. Dengan adanya makam-makam kuno kesultanan Banten nampaknya semakin menjadikan mesjid ini ramai dikunjungi untuk wisata ziarah terutama dihari-hari libur maupun dihari-hari besar umat Islam lainnya.


Sumber Data :

1. Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),

Katalogus Koleksi Data Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Punbakala, Jakarta.

2. Halwany Michrob & Mujahid, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara 1993

3. Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,

(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama

4. Tjandrasasmita, Uka, Hasan M. Ambary & Halwany Michrob,

5. Halwany Michrob, 1981, Pemugaran dan Penelitian Arkeologi Sebagai Sumer Data Bagi Perkembangan Sejarah Kerajaan Islam Banten 1982, Sejarah Masuknya Islam Ke Banten

6. Hamka, 1967, Sejarah Umat Islam Jilid III

7. Hasan M. Ambary, 1981, Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di Indonesia

Karangantu Gerbang Dagang Internasional Banten

DN. Halwany

Peranan Banten sebagai kota niaga mulai maju setelah penguasa Islam berdiri. Pada masa sebelum itu, pusat kegiatan terdapat di Banten Girang, sekitar 13 km. dari kota Banten Lama di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ibukotanya di Pakwan, sekitar kota Bogor sekarang. Sejak berdirinya kerajaan yang bercorak Islam dibangun oleh Sunan Gunung Djati ditetapkan Surosowan Banten menjadi ibukota kerajaan. Pemindahan pusat kerajaan ini dilihat dari segi politik dan ekonomi dimaksudkan untuk memudahkan hubungan dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda. Situasi ini berkaitan dengan keadaan politik di Asia Tenggara. Masa itu Malaka telah jatuh ke tangan Portugis. Hal ini menyebabkan para pedagang muslim yang sedang bermusuhan dengan Portugis segan singgah di Malaka dan mencari pelabuhan lain yang dikuasai Islam. Mereka mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda di mana Banten mulai mengembangkan sayapnya dan memegang peranan penting khususnya di bidang perdagangan. Bandar Banten merupakan bandar internasional dan dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persi, Gujarat, Birma, Tiongkok, Perancis, Inggris dan Belanda.

Tome Pires yang pada tahun 1523 mengunjungi pelabuhan Banten menyatakan bahwa pelabuhan itu belum begitu berarti. Pires menyebutkan bahwa Banten telah menjadi pelabuhan kedua terpenting sesudah Kalapa (Cortesso, 1941: 168-169). Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pelabuhan pengekspor beras dan lada (Cortesso, 1941; Roelofsz, 1962:124). Catatan lebih terperinci didapat dari Barbosa yang menyebutkan bahwa dari pelabuhan Banten tiap tahun telah diekspor lada sebanyak seribu bahar (Chijs, 1881:4). Benar bahwa sejumlah keterangan mengenai keadaan ekonomi Kota Banten Lama sudah cukup banyak diperoleh dari beberapa catatan sejarah, baik perdagangan internasional maupun lokal. Namun masalah yang timbul adalah terbatasnya data sejarah itu sendiri, sehingga beberapa unsur perdagangan tidak dijelaskan, termasuk perdagangan lokal di dalam kota. Dapat diduga perdagangan kota Banten memiliki mekanisme sendiri yang aktif. Pengaruh perdagangan internasional agaknya tidak menyebabkan penduduk kota menjadi masyarakat konsumtif semata-mata. Gejala ini dapat dibuktikan melalui data arkeologis yang berhasil dikumpulkan sejak tahun 1976 di situs Banten Lama. Beberapa situs arkeologis yang ditemukan antara lain berkenaan dengan kegiatan produksi (Siswandi, 1980; Poyoh, 1981), tempat penyimpanan dan komoditi (Naniek, 1980:1981), dari situs tersebut berbagai artefak ditemukan. Dapat dibayangkan betapa besar dan ramainya pasar Banten saat itu. Pedagang dari luar negeri membawa barang-barang dari negeri mereka sendiri. Sehingga orang-orang dapat membeli barang-barang dari hampir semua negara. Di samping itu pedagang-pedagang dari dalam negeri pun turut meramaikan perdagangan di pasar Banten. Terjadilah pertukaran antara saudagar-saudagar dari luar negeri dengan saudagar-saudagar dari dalam negri. Tiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten. Mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter dengan lada sebagai bahan utamanya. Tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. J.P. Coen mempunyai catatan bahwa 6 buah perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real. Selain sebagai pedagang, orang- orang Cina datang di Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69).

Cina dapat dikatakan etnis pedagang yang paling berperan di Banten, terutama sebagai pembeli dan pegangkut lada untuk didistribusikan. Orang-orang Gujarat juga tampak membawa bahan- bahan pakaian untuk ditukar dengan lada di Banten. Tetapi di penghujung abad XVI terdapat catatan bahwa volume angkut para pedagang Asia Barat dari Banten lebih kecil dari yang bisa dilakukan oleh para pedagang Cina. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1598 sebanyak 18.000 karung lada telah dinaikkan ke 5 kapal Cina, dibandingkan pada tahun yang sama para pedagang Gujarat mengangkut 3.000 karung dan VOC tak lebih dari 9.000 karung. Menurut sumber Belanda kapal-kapal Cina yang datang ke Banten pada setiap tahunnya antara 8 - 10 kapal yang masing-masing berdaya angkut maksimum 50 ton. Pada lain laporan disebutkan 5-8 kapal Cina bertonase sampai 100 ton datang setiap tahunnya. Sementara itu catatan dari pelaut Prancis menyatakan 9-10 kapal besar, sedangkan sumber Inggris menyebutkan 3-6 kapal Cina yang seluruhnya bertonase sampai 300 ton. Lebih jauh catatan J.P. Coen (1614) menyebutkan tak kurang dari 6 kapal Cina tiba di Banten setiap tahunnya dan membawa kembali kargo barang senilai 300.000 real (Roelofsz, 1962: 245).

Menurut de Houtman (1596) barang-barang yang dibawa dan diperdagangkan orang Cina ialah sutra, laken, beludru, benang emas, taplak, bejana perunggu, panci coran dan tempaan, cermin, sisir, kacamata, belerang, pedang Cina, kipas angin, akar-akar Cina dan payung. Sementara itu keramik merupakan barang dagangan khusus karena mendapat tempat tersendiri (Rouffer dan Ijzerman, 1915:110). Pedagang lain yang juga membawa barang dagangan ialah orang Pegu yang membawa beras, guci, lak, genta, batu berharga, perak, bahan makanan, dan kesturi. Pedagang India menjual bahan dagangan dari bahan kaca, gading, permata, kain, mentega, dendeng, daging asin, beras, gandum, minyak, gula, lak, tembaga, sutra, saputangan, dan bedak; sedangkan pedagang dari Siam membawa beras, timah, tembaga, peti berukir, dan barang-barang buatan Cina. Sementara itu pedagang dari Timur Tengah yang terdiri dari orang Arab dan Parsi membawa obat-obatan dan batu permata (delima), tekstil yang terdiri dari tidak kurang dari 20 jenis. Pedagang Eropa yang pertama kali datang ke Banten adalah Belanda yaitu pada tahun 1596 dengan tujuan mencari rempah-rempah. Ternyata mereka juga membawa barang dagangan antara lain pakaian tenun seperti pedagang Eropa lainnya yaitu orang Portugis (Tjandrasasmita, 1976:6227).

Beras merupakan bahan makanan dan hasil bumi paling pokok di Asia Tenggara, selain bahan makanan lain seperti talas, ubi, sagu dan jenis gandum yang telah mendahului domestikasi padi. Jawa adalah pengekspor beras terbesar ke Malaka, antara lain berasal dari Banten, Kalapa, Batavia dan tempat-tempat di Maluku (Raid, 1992: 23-26). Begitu kemampuan mengekspor beras tersebut menurun, baik akibat blokade militer atau oleh proses pemiskinan, segera muncul areal-areal persawahan baru. Hoare (1930:98) menyatakan kekagumannya: "Hampir tak bisa dipercaya orang-orang Banten pada tahun 1630-an mengetahui arus-arus sungai mana saja yang telah/dapat mereka bendung dan betapa suburnya tanah persawahan yang mereka miliki dalam 2 tahun terakhir akibat pemupukan- pemupukan." Garam didatangkan dari Jarata, Gresik, Pati dan Juwana. Orang biasanya membeli 800 gantang seharga 150.000 perak dan menjual di Banten seharga 1.000 perak setiap 3 gantang. Dari Banten inilah garam antara lain disebarkan ke Sumatera (Baros, Pariaman, Tulang Bawang, Indra Giri dan Jambi) (Lodewycksz, 1598: 100-104).

Meski pun lada menjadi hasil utama Banten, namun begitu cabai dari Amerika, tumbuhan tersebut terakhir ini amat cepat tersebar di Jawa, dan penguasa Banten menggunakan cabai sebagai pengganti lada (ibid, 1598: 146). Catatan armada pertama yang tiba di Banten juga melihat melimpahnya stok madu di pasar Banten yang berasal dari pasokan Palembang dan Timor. Pusat-pusat kehidupan yang penting di Asia Tenggara sarat dengan ramuan jamu dan obat-obatan. Setidaknya orang-orang Belanda yang pertama mendarat di Banten menyaksikan paling tidak 50 jenis ramuan jamu rempah-rempah yang dijajakan pada counter khusus di Pasar Banten (Schouten, 1926: 106-108). Perdagangan interlokal dapat diketahui dari kehadiran pedagang- pedagang dari daerah di wilayah Indonesia, yaitu orang Sumatra, Gresik, Juwana, Makasar, Maluku, Solor dan Sumbawa. Pada umumnya mereka berdagang rempah-rempah seperti lada dan cengkeh. Karangantu merupakan tempat yang memegang peranan, baik sebagai pelabuhan sekaligus sebagai pasar untuk usaha meningkatkan jual beli barang dagangan, seperti tekstil dan keperluan sehari-hari lainnya. Di kota Banten ada beberapa macam tipe jual beli sesuai dengan fungsi pasar di Banten Lama seperti yang tertulis dalam babad Banten.

De Houtman telah menggambarkan Pasar Karangantu secara mendetail dan terperinci yaitu: tempat penjualan semangka, mentimun dan kelapa merupakan kelompok A. Tempat penjualan gula dan madu dalam periuk-periuk, masuk kelompok B. Kelompok C menggambarkan tempat penjualan kacang, kelompok D tempat penjualan tebu dan bambu, E tempat penjualan keris, pedang dan tombak. Kelompok F tempat pakaian laki-laki, kelompok G tempat penjualan bahan pakaian wanita. Kelompok H tempat penjualan rempah-rempah, benih dan biji-biji kering. Kelompok I tempat orang-orang Benggala dan Gujarat menjual barang besi dan barang tajam. Khusus kedai orang Cina digambarkan pada kelompok K. Adapun L adalah tempat penjualan daging, M tempat penjualan ikan, N tempat penjualan buah-buahan, O tempat penjualan sayur-sayuran, P tempat penjualan marica, Q tempat penjualan brambang (bawang), R tempat penjualan beras, S kios untuk pedagang, T tempat penjualan emas dan permata. Pada urutan kelompok lain terpisah dengan kelompok bagian dalam dan disebutkan kelompok V, yaitu perahu-perahu asing yang penuh dengan muatan bahan makanan, pada kelompok akhir yaitu kelompok X adalah tempat penjualan unggas (de Houtman, 1596-1597). Dalam berita Cina disebutkan bahwa pedagang Cina adalah orang asing pertama yang mengunjungi Banten, dan Valentyn menyatakan bahwa jika di Banten tidak ada orang Cina, maka pasar-pasar tersebut akan menjadi sepi karena pasar sebagian besar dikuasai oleh pedagang Cina (1858:492). Mereka membawa sutra, laken, beludru, benang emas, keramik, taplak, bejana perunggu, panci tembaga, air raksa, peti hias, kertas aneka warna, almanak, emas tempaan, cermin, sisir kacamata, belerang, pedang Cina, kipas angin, akar-akaran Cina dan payung. Sedangkan keramik, sebagai barang dagangan yang mereka bawa, merupakan barang dagangan yang cukup penting, yang antara lain dibuktikan oleh terdapatnya tempat tersendiri bagi para pedagang keramik (Rouffaer dan Ijzerman, 1915:110).

Pada tahun 1596, orang Belanda untuk pertama kali datang Ke Banten untuk mencari rempah-rempah. Lama kelamaan para pedagang tersebut ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah dan keramik. Pada tahun 1602, Belanda mendirikan kantor dagang VOC di Banten untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dan keramik; dari sinilah kekuasaan VOC berkembang dan VOC berperan sebagai penyalur keramik ke Eropa (Brown, 1977:20). Menurut Volker (1954:193), di samping keramik dari Cina, VOC juga menyalurkan keramik-keramik dari Jepang, Siam dan Annam. Hal ini disebabkan antara lain dengan dihancurkannya pusat pembuatan keramik milik kerajaan Cing-te cen sehingga terjadi kemunduran produksi keramik secara drastis. Disebutkan bahwa, VOC telah mengapalkan 80 bentuk keramik Jepang untuk konsumsi Batavia, dan wilayah sebelah baratnya. Keramik-keramik Jepang tersebut dipesan VOC dari Deshima dengan menerapkan bentuk dan desain disesuaikan dengan kebutuhan orang Eropa. Salah satu jenis keramik Jepang yang hadir di Surosowan adalah keramik Arita, yang sekaligus memperlihatkan tingkat peran dan hubungan antara Banten Lama dengan Jepang pada abad XVII M. Selain mengapalkan porselen Jepang dari berbagai pos dagang di pela-buhan-pelabuhan Jepang, VOC juga mengapalkannya dari Pulau Formosa ke Batavia, yang selanjutnya disebarkan ke cabang-cabang VOC di luar Indonesia. Sedangkan untuk perdagangan antar pulau, sebagian besar dilakukan oleh perahu-perahu Indonesia. Ini menunjukkan luasnya alur distribusi keramik dari Jepang, meski pun bagi Eropa keramik-keramik Jepang dianggap kurang bermutu tinggi. Keramik yang diperdagangkan antara lain meliputi piring, mangkuk, cepuk, tempayan, guci, cangkir, kendi, teko, dan cawan. Perdagangan keramik di Banten masih terlihat sampai awal abad ke-19 walau pun perdagangan dan pengiriman keramik tidak lagi seramai abad sebelumnya.

Di samping barang-barang dari luar negeri yang dipasarkan di Banten, terdapat juga barang hasil dalam negeri, seperti semangka, ketimun, gula, madu, gambir, bambu, senjata, ayam, kambing, beras, lada, minyak dan garam. Fungsi pasar di Banten setidaknya meliputi: (1) tempat terakumulasinya hasil-hasil lokal (hasil bumi, ternak dan industri), (2) tempat distribusi barang-barang ekspor dan impor, (3) sumber utama penghasilan kerajaan, dan (4) tolok ukur ekonomi kesultanan secara makro. Sementara itu peranan pasar di Banten meliputi: (1) akses dan asset ekonomi kesultanan, (2) penentu dan pemantap satuan harga barang terhadap mata uang-mata uang tertentu yang diedarkan sebagai alat tukar sah di Banten, dan (3) instrumen perdagangan lokal, interlokal, regional dan internasional. Setelah collapse-nya kesultanan secara politis dan militer, fungsi dan peran pasar (pasar-pasar) Banten tersudut pada aliran barang, jasa dan orang yang berskala amat kecil. Dari hasil penelitian arkeologi tahun 1976 saja dapat diidentifikasikan mata-uang logam yang bertuliskan huruf Arab berbahasa jawa "Pangeran Ratu ing Banten" adalah mata uang yang dikeluarkan oleh raja Banten. Hal tersebut dapat mengacu pada simbol dan sebutan raja Banten diantaranya Maulana Muhammad yang bergelar Pangeran Ratu ing Banten yang memerintah Banten tahun 1580 sampai dengan 1596. Menurut Willem Lodewyksz, pada tahun 1596 ada tiga buah pasar yang ada di Banten berfungsi sebagai pusat perdagangan lokal dan perdagangan internasional yang sangat pesat. Di antara para pedagang asing yang datang di Banten ialah orang-orang Cina, menyusul pedagang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis. Mereka membawa barang dagangan yang terdiri dari pakaian tenun yang biasa dibawa oleh pedagang Eropa lainnya (Tjandrasasmita, 1976:227).

Mata uang logam Cina yang pernah diketemukan de Houtman dan Kaizer adalah berupa uang tembaga yang disebut caixe, yang telah beredar di Banten (van Lischoten, 1910:78). Peranan mata uang picis, real dan uang chi'en yang terbuat dari tembaga, ternyata uang chi'en-lah yang lebih tinggi harganya di Banten, jika dibandingkan dengan mata uang lainnya (Rouffer, 1915:122). Mata uang Cina sebagai mata uang asing masuk pertama kali di Banten yakni pada tahun 1590, saat mana raja Cina, Hammion, membuka kembali peredaran mata uang Cina di luar negeri setelah dua puluh tahun menutup kemungkinan karena khawatir akan adanya inflasi di negaranya.

Untuk memberikan gambaran nilai sebuah mata uang, kami uraikan sebagai berikut:

Harga uang picis dapat kita lihat dalam perbandingan:

1 atak = 200 picis 1 bungkus = 10000 picis

1 peku = 1000 picis 1 keti = 100000 picis.

Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah jika dibanding harga mata uang logam lainnya (van Ansooy, 1979:37). Sebagai contoh dalam menentukan harga dari seorang budak per hari dapat disewa dan harus setor pada majikannya sebesar 1000 picis (1 peku), berikut makan 200 picis. Harga makanan untuk orang Barat per hari menghabiskan rata-rata 1 atak (Fruin Mees, 1920:44). Di Banten bagi seorang yang berani membunuh pencuri akan mendapat hadiah dari Sultan sebesar 8 peku (Keuning, 1938:888). Adapun harga seekor ayam di Mataram pada tahun 1625 rata-rata 1 peku (Macleod, 1927:289). Menurut orang Cina di Banten, dari hasil pembelian 8 karung lada dari pengunungan seharga 1 keti dan dijualnya ke pasar Karangantu seharga 4 keti, kejadian tersebut tercatat pada tahun 1596 (Commelin, 1646:76).

Harga pasaran tidak selalu stabil seperti yang diharapkan, permasalahannya ialah akibat nilai harga picis yang sulit untuk bertahan lama. Seperti terjadi pada tahun 1613, ada perubahan nilai pecco yang secara drastis terpaksa harus turun, tercatat 34 dan 35 peccoes = 1 real; ini berarti pula pengaruh uang asing yang masuk ke Banten dapat mempengaruhi stabilitas pasar di Karangantu saat itu.

Pada tahun 1618, J.P. Coen merasa tidak senang dengan turunnya nilai mata uang picis di Jawa, bahkan tercatat sejak tahun 1596 di Sumatra pun telah mengalami kemerosotan nilai tukar uang picis sampai dengan 1 : 8,500 (Mollema, 1935:211). Rupanya percaturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari kehadiran beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang pada saat itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari Jambi untuk di perjualbelikan di Banten (F. van Anrooy, 1979:40). Variabilitas jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi, memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang (kertas, logam, atau lainnya), memberikan informasi mengenai satuan nilai mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam, nilai intriksiknya adalah pada nilai logamnya (tembaga, timah, perak, suasa atau emas). Kegunaan penemuan mata uang pada berbagai situs, secara arkeologis dapat membantu (1) kronologi situs, (2) jenis mata uang yang berlaku, (3) batas-batas peredaran mata uang yang dimaksud, serta (4) satuan nilai yang ditetapkan.

Di Banten, ditemukan 4 jenis mata uang logam, yakni mata uang logam Banten, Belanda, Inggris dan Cina. Mata uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa, berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm, diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm, tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm, terbuat dari timah. Dari lubang-lubang ekskavasi di Surosowan, dapat dikumpulkan 242 keping uang Banten. Mata uang Belanda di Banten ditemukan lebih bervariasi jenisnya (8 jenis) yang dapat dibedakan dari tahun terbitnya yang terletak di bawah monogram. Salah satu sisi mata uang berlambang propinsi- propinsi Belanda yang mengeluarkan mata uang masing-masing, kecuali sebuah di antaranya bertuliskan Java 1807. Sisi lain dari tiap mata uang biasanya berlambang VOC atau Nederl. Indie. Mata uang Belanda di Banten berpenanggalan 1731 - 1816. Dari lubang- lubang ekskavasi di Surosowan diperoleh 164 keping mata uang logam Belanda/VOC (Widiyono, 1986: 335). Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan. Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua variasi. Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4 bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan. Dari lubang ekskavasi Surasowan ditemukan 6 keping mata uang Inggris.

Pada salah satu sisi mata uang Cina terdapat tulisan Cina yaitu: YUNG CHENG T'UNG PAO = Coinage of Stable Peace, yang berarti pembuatan mata uang untuk kestabilan dan perdamaian. Sedang pada tulisan sebaliknya diketahui sebagai huruf Manchu yang belum dapat dikenali artinya. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2,25-2,80 cm, tebal 0,10-0,18 cm dan diameter lubang 0,45-0,60 cm. Jenis ini ditemukan di lubang ekskavasi Surosowan sebanyak 25 keping. Penelitian sebaran mata uang logam di Banten diarahkan pada ruang-ruang di dalam dan di luar benteng. Dari 437 keping mata uang logam yang ditemukan di eksekavasi, 92 ditemukan di luar benteng dan 345 dari dalam benteng Surosowan. Homogenitas ruang penelitian (hanya di sekitar Surosowan), serta jumlah koleksi hasil penelitian yang sangat tidak seimbang dengan aktivitas ekonomi Banten sebagai pusat politik, ekonomi dan perdagangan, berdampak pada terbatasnya lingkup penafsiran dari kehadiran mata uang logam sebagai data arkeologi di Banten

Sumber Data :

Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),

Katalogus Koleksi Data Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Punbakala, Jakarta.

Halwany Michrob & Mujahid, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara 1993

Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,

(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama

Tjandrasasmita, Uka, Hasan M. Ambary & Halwany Michrob,

(1987), Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama, Yayasan Pembangunan Banten.

Banten, Dulu Kini dan Mendatang

DN. Halwany

Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten yang dikenal Pelabuhan Karangantu. Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India. Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk. Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”. Menghadapi ancaman ini, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi. (Michrob, 1993)

Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng. Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik, akan tetapi ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika menilai waktunya tepat. Puteranya Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.

Sekilas Tentang Banten

Mengingat nama Banten pada masa lalu, terbayang kejayaan bandar Banten antar pulau dan negara. Nama yang tersangkut di dalamnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa, pahlawan nasional asal Kerajaan Banten yang terkenal gigih melawan pemerintahan kolonial Belanda. Banten memang kaya peninggalan sejarah dari zaman megalitik sampai penjajah Jepang, meskipun bila kita ke sana saat ini banyak prasarana umum yang tertinggal. Ragam peninggalan di sana mencerminkan tingginya peradaban nenek moyang, luasnya pergaulan orang Banten sampai di tingkat internasional dengan rasa toleransi begitu tinggi antaretnis dan agama saat itu. Banten bukan hanya sosok Sultan Ageng Tirtayasa yang jaya ataupun Jendral Daendels yang memaksa rakyat mengerjakan pembangunan jalan 1.000 kilometer dari Anyer di Banten hingga ke Panarukan di Jawa Timur, lebih dari itu. Banten tua memiliki kekayaan ilmu pengetahuan yang mengagumkan, menjadi sumber sejarah tak habis-habisnya untuk dikupas dan ditelaah sebab wilayah Banten berhubungan erat dengan wilayah Jawa bagian tengah dan barat yang pada masa lalu dikenal lewat Kerajaan Demak (Jawa Tengah), Pajajaran (Jawa Barat), atau Bogor dengan Kerajaan Pakuan.

Udara panas begitu terasa ketika aku berada di Banten. tetapi begitu melihat sisa reruntuhan keraton tersebut, rasa ingin tahu mengalahkan ketakutan kulit akan terbakar sinar mentari. Kawasan seluas empat hektar yang dikelilingi benteng setinggi dua meter itu menyisakan bekas bangunan, seperti pintu gerbang keraton berbentuk bulat, kolam pemandian, hingga sistem saluran air dalam keraton. Semula, wilayah itu tertutup tanah. Yang tampak hanya gundukan tanah bercampur potongan batu bata. Setelah digali, tampak lebih jelas bekas reruntuhan keraton yang menurut berbagai sumber dibangun pada abad ke-16. Keterbatasan anggaran membuat untuk sementara upaya penggalian terhenti, namun keindahan istana itu sudah mulai terlihat. Tiga tangga istana berbentuk setengah lingkaran dari batu bata dan pemandian Roro Denok yang sampai sekarang masih mengeluarkan air menjadi bukti keindahan Keraton Surasowan. Kemajuan peradaban juga bisa disaksikan dari sisa bangunan di sana. Pada tahun 1552, ketika keraton itu mulai dibangun, nenek moyang kita ternyata sudah mengembangkan teknologi penyaringan air bersih. Pada bagian depan istana diasumsikan bangunan yang ada tangganya terdapat saluran air. Di depannya ada enam keran (dulu terbuat dari besi berwarna kuning sehingga tempat itu disebut Pancuran Emas) untuk mengambil air bersih yang sudah disaring. Air bersih bersumber dari waduk Tasik Ardi, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Keraton Surasowan. Sebelum digunakan untuk minum, air itu harus melalui tiga penyaringan (peninggilan) yakni; pangindelan abang, pangindelan putih dan pangindelan mas. Waduk Tasik Ardi hingga kini masih tetap asri dan menjadi salah satu tempat wisata dalam kawasan Banten Lama, walau debit air yang dikeluarkan jauh lebih kecil. Sementara, pipa saluran air menuju keraton tetap terpelihara baik walau sebagian tertutup tanah dan jalan.

Di dalam wilayah eks Karesidenan Banten (sejak tahun 2000 menjadi provinsi sendiri, pisah dari Provinsi Jabar) itu ada beberapa kawasan situs dan peninggalan sejarah. Ada Banten Girang yang menyimpan situs zaman megalitik, ada Banten Lama di mana terdapat bekas Keraton Surasowan, Keraton Kaibon, Vihara Avalokitesvara, bekas benteng Speelwijk yang dibangun VOC Belanda, terletak 10 km arah utara Kota Serang. Di Kota Serang sendiri ada beberapa gedung yang masuk kategori cagar budaya yang perubahannya tak bisa dilakukan sembarangan. Setidaknya di sana ada empat gedung bersejarah. Gedung negara (kini kantor Gubenur Banten), dulu kantor Residen Banten yang dibangun pada tahun 1800-an, gedung Joang (kini tempat organisasi massa berkantor), bekas sekolah Mulo (kini Polres Serang), dan bekas markas marsose Belanda dibangun pada tahun 1900-an (kini menjadi markas Korem 064 Maulana Yusuf Banten). Kondisi gedung-gedung itu relatif masih bagus. Akan tetapi, penjara serta bangunan lain yang menjadi asrama polisi harus dirawat dan dibersihkan. Penjara empat pintu yang umurnya diperkirakan satu abad tersebut kini menjadi rumah tahanan Polres Serang.

Bagaimana persisnya sejarah kerajaan di Banten sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, sampai sekarang belum terpecahkan. Buku Catatan Masa Lalu Banten yang disusun Halwany Michrob yang memuat bagian Banten pada masa Kesultanan, kolonial, penjajahan hingga masa kini upaya maksimal telah dilakukan para sejarawan pendahulu, tetapi hasil penelitian baru menghasilkan potongan dari sosok Banten masa silam. Penyusun menyimpulkan, sosok sejarah Banten hingga saat ini belum terwujud utuh. Penggalan yang dikaji para ahli arkeologi baru mata rantai yang terputus-putus. Walau demikian, hasil penelitian tersebut menjadi bukti Banten memiliki nilai sejarah. Bukti keberadaan Kerajaan Banten antara lain terdapat pada naskah kuno Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke-17 Masehi yang diteliti tim pimpinan Prof Dr Edi S Ekadjati dari Program Kerja Yayasan Pembangunan Jabar 1989-1991. Seperti apakah kejayaan Banten masa silam? Silakan menyaksikan Museum Banten Lama, depan bekas Keraton Surasowan yang dikelola Kantor Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten. Di sana terdapat lukisan dua duta besar Keraton Banten yang dikirim ke Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai Ngabehi Wira Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana. Archaeological Remains of Banten Lama yang dibuat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1984 menyatakan, sejarah Banten terutama terjadi pada abad ke-16 ke atas. Antara abad ke-12 sampai ke-15 Banten sudah dikenal sebagai pelabuhan untuk Pemerintah Inggris di Sunda. Pertumbuhan wilayah itu maju pesat. Bandar yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari pusat Pemerintahan Banten Lama disinggahi pedagang dari Gujarat (India), Tionghoa, Melayu, Portugal, dan Belanda.
Waktu itu, arus barang keluar-masuk pelabuhan sangat lancar sehingga perekonomian Banten maju pesat. Pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai eksportir lada (Michrob, 1993). Produk rempah-rempah mengundang banyak pedagang dari berbagai negara datang lalu tinggal di sana. Tak aneh bila di kawasan itu berdiri bangunan berusia di atas 100 tahun seperti vihara, mesjid Lama Banten, serta bekas kampung Arab, India, dan Cina. Banyak hal bisa digali dari kawasan ini. Anda ingin rekreasi tapi bosan ke pantai dan gunung ? Datanglah ke Serang. Selain bisa melepas ketegangan di akhir pekan, pengetahuan mengenai sejarah Banten akan bertambah.


Banten Tegar Menyongsong Hari Depan
Masih banyak yang mengira Banten masih identik dengan Jawa Barat. Padahal, tidaklah demikian. Masyarakatnya yang religius, letaknya yang berada di pesisir, serta perjalanan historis yang dilalui, menjadikan Banten sebagai daerah dengan kekhasannya tersendiri. Itulah sejumlah alasan yang membuat para tokoh di Banten kemudian memperjuangkan agar Banten terpisah dari Jawa Barat dan menjadi propinsi tersendiri. Secara umum budaya maupun tradisi orang Banten dan Jawa Barat memang cenderung mirip. Tapi sesungguhnya, terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi karakter misalnya, orang Banten cenderung keras dan pemberani seperti karakter orang pesisir lainnya. Jadi, banyak orang yang kemudian merasa 'gerah' bila berurusan dengan mereka. Sementara, orang Jawa Barat sebaliknya. Mereka lebih halus dan lemah lembut.
Coba saja tengok ke belakang. Sebelum abad ke-16, Banten bukanlah apa-apa. Kala itu, hanya dikenal daerah yang bernama Banten Girang atau Banten Hulu, sekitar 3 km dari Kota Serang sekarang, sebagai ujung jalur darat yang tidak memiliki peran penting semasa Kerajaan Pajajaran. Namun, era selanjutnya bicara lain. Setelah kedatangan Sunan Gunung Jati, ulama terkemuka dari Cirebon untuk menyebar agama Islam, nama Banten mulai muncul ke permukaan. Banten kemudian dikenal sebagai sebuah pelabuhan niaga yang ramai yang berpusat di Karangantu. Tak hanya itu, layaknya murid yang cerdas, prestasi Banten semakin hari makin meningkat dan menjadi pelabuhan terbesar nomor 2 setelah Sunda Kelapa. Apalagi dengan jatuhnya Malaka, pelabuhan penting di selat Malaka waktu itu ke tangan Portugis, di tahun 1511, membuat posisi Banten menjadi penting lantaran para businessmen dari Timur Tengah atau Cina sudah enggan singgah di Malaka dan beralih ke bandar Banten. Seiring dengan itu, diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati pula, Banten pun menjadi kerajaan Islam yang semula kerajaan hindu berpusat di Banten Girang, sebagai pusat pemerintahan setempat semasa Pajajaran, lalu dipindahkan ke Surosowan yang berada tak jauh dari pelabuhan Banten Lama. Ini dilakukan untuk memperkuat posisi politik dan pelabuhan Banten saat itu.
Yang menarik, walau sebagai pendiri kerajaan di Banten, Sunan Gunung Jati tidak lantas menjadi raja. Ia justru menyerahkan tahta kepada putranya, Hasanudin yang kemudian menjadi sultan Banten pertama. Kejayaan Banten mulai terusik dengan berlabuhnya serombongan kapal-kapal Belanda di bawah pimpinan J.P. Coen di Banten pada akhir abad ke-16. Dengan dalih berdagang pada awalnya, secara perlahan namun pasti, perekonomian Banten pada zaman kesultanan di kuasai oleh VOC (Michrob,1993). Dari sinilah awan hitam sejarah Banten dimulai.

Kawasan Sejarah Banten Lama

Awal mula Banten tak bisa lepas dari keberadaan sebuah tempat yang dikenal dengan kawasan Banten Lama. Berada di wilayah Kasemen, di sana terdapat sejumlah bangunan yang mampu berbicara banyak mengenai perkembangan Banten sejak kemunculannya. Dalam konteks sekarang, bangunan ini juga menjadi simbol kejayaan Banten masa lalu. Komplek Istana Surosowan, dulunya adalah keraton kesultanan pertama yang ada di Banten. Dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin, keraton ini berdiri di areal seluas 3 hektar dan dikelilingi oleh tembok tinggi setebal 5 meter. Namun, ketika Belanda menguasai Banten, istana dihancurkan. Dan kini hanya temboknya yang tersisa. Sedangkan bagian dalamnya, yang dulu berupa gedung istana, tinggal berupa lapangan luas dan kerap menjadi lapangan sepak bola. Sungguh disayangkan. Tak jauh dari Istana Surosowan, dapat dijumpai bangunan lain yang dikenal dengan Mesjid Agung Banten. Mesjid yang masih berdiri kokoh ini masih digunakan sesuai dengan fungsinya sampai sekarang. Mulai didirikan pada masa sultan Banten pertama, mesjid ini merupakan mesjid kedua yang dibangun sultan dan menjadi ikon Banten Lama. Bangunan yang bergaya Eropa-Cina ini memiliki 4 bangunan di dalamnya, yakni bangunan utama (sebagai tempat ibadah) berbentuk segi 4 dengan atap bersusun 5, Tiyamah, menara dan makam di sisi utaranya. Bangunan Tiyamah sendiri berfungsi sebagai pelengkap dan dulu digunakan sebagai tempat bermusyawarah atau diskusi keagamaan. Di sebelah utara mesjid, terdapat beberapa makam tua dari keluarga kerajaan dan pengikut setianya. Makam ini masih ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai pelosok.
Bangunan yang paling khas di kompleks ini adalah menara mesjid dengan tinggi sekitar 25 meter dengan arsitektur Cina yang sangat unik dan menarik perhatian. Anda bisa naik ke puncak menara melalui tangga sempit, selebar bahu, yang melingkari tubuh menara dan menikmati pemandangan sekitar Banten yang cantik serta perairan Selat Sunda yang eksotis dari puncaknya.
Satu lagi bangunan penting di kawasan ini, yaitu Istana Kaibon yang berada di Kampung Kroya atau di sekitar pertigaan dan jembatan menuju mesjid agung. Berasal dari kata 'keibuan', dulunya, istana ini dipakai oleh Ratu Aisyiah, ibu Sultan Syafiuddin yang mengungsi karena dihancurkannya Surosowan oleh pasukan Belanda. Tetapi, Istana Kaibon pun bernasib seperti saudara tuanya (Surosowan-red). Belakangan, Kaibon pun dihancurkan oleh Belanda. Sekarang, kondisi Kaibon sedikit lebih baik dari Surosowan. Pengunjung masih bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas bentuk istana ini secara menyeluruh.
Tak jauh dari Surosowan, ada bangunan Benteng Speelwijk (Belanda) dan sebuah kelenteng Cina atau vihara yang sekarang bernama Avalokitesvara, adalah 2 bangunan lain yang juga menjadi saksi perjalanan sejarah Banten. Meski tinggal menyisakan tembok di bagian utaranya saja, dengan beberapa makam Belanda di sekitar kompleks atau yang dikenal dengan Kierkof, Speelwijk memiliki pesona lain untuk dinikmati. Sementara, kelenteng yang berdiri hanya beberapa puluh meter dari benteng, merupakan kelenteng tertua di Banten. Kelenteng yang berada di bibir pantai ini juga dianggap keramat karena tidak rusak sedikit pun walau diterjang gelombang tsunami besar akibat letusan Gunung Krakatau, 123 tahun lalu. Dengan pengembangan di beberapa bagian, Vihara Avalokitesvara masih berdiri dan melayani umat Buddha dari Banten serta Jakarta yang ingin beribadah.


Sumber Data :

1. Ayatrohaedi, 1980, Masyarakat Sunda Sebelum Islam

2. Djajadiningrat,P.A. Hoesein, 1983, Tinjauan Kritis tentang Sedjarah Banten

3. Halwany Michrob, 1981, Pemugaran dan Penelitian Arkeologi Sebagai Sumer Data Bagi Perkembangan Sejarah Kerajaan Islam Banten 1982, Sejarah Masuknya Islam Ke Banten

4. Hamka, 1967, Sejarah Umat Islam Jilid III

5. Hasan M. Ambary, 1981, Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di Indonesia