Senin, 03 Agustus 2009

Cerita Rakyat Banten “Runuhnya Kesultanan Banten”

DN. Halwany

Cerita-cerita rakyat di daerah Banten, khususnya Banten Lama sudah banyak yang punah. Hal ini disebabkan sudah tidak adanya lagi orang yang tahu mengenai cerita rakyat Banten. Menurut para informan, punahnya cerita-cerita tentang Banten sebentar lagi akan hilang karena para pencerita sudah hampir semuanya meninggal dunia. Selain itu, di wilayah Banten, khususnya Banten Lama mulai banyak pendatang baru yang tidak memahami cerita-cerita lama. Dari cerita yang disampaikan oleh tiga orang informan diperoleh cerita, Kalau berbicara tentang kota Banten, yang dimaksudkan adalah kota Banten Lama, yang terletak 11 km di sebelah Utara kota Serang. Di situlah terletak reruntuhan istana Kesultanan Banten yang lebih dikenal orang dengan Istana Sorosowan. Di sekitar Istana Sorosowan terdapat Masjid Agung yang terletak di sebelah Barat reruntuhan Istana Sorosowan. Di dalam kompleks Masjid Agung ini dimakamkan beberapa Sultan Banten dengan keluarganya. Sementara itu di sebelah Timur reruntuhan Istana Sorosowan terdapat reruntuhan Istana Kaibon.

Menurut cerita rakyat, kata Banten berasal dari Ketiban Inten yang maknanya adalah ´kejatuhan intan´. Yang dimaksudkan dengan intan menurut beberapa versi antara lain adalah agama Islam, karena di kota Banten Lama inilah agama Islam berkembang. Versi lain mengatakan bahwa di dalam reruntuhan Istana Sorosowan terdapat sebuah kolam yang bernama kolam intan, yang reruntuhannya hingga saat ini masih ada, yaitu berada di dalam reruntuhan Istana Sorosowan. Versi lain mengatakan bahwa kata Banten berasal dari istilah bantahan yang mengacu kepada tindakan para sultan di Banten yang selalu membantah untuk mengikuti perintah pemerintah Hindia Belanda.

Menurut versi orang Banten, keruntuhan Banten memiliki dua versi. Versi pertama yaitu tidak dinobatkannya Sultan Banten di atas Batu Gilang. Versi kedua adalah karena tindakan Pangeran Mangkubumi yang membunuh utusan Belanda yang bernama Kapten Du Puy. Diceritakan bahwa pada mulanya Maulana Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah, bertapa di atas batu untuk bersimpuh yang namanya Batu Gilang. Karena khusuknya dan lamanya beliau bertapa, beliau tidak sadar bahwa peci yang dikenakannya sudah menjadi sarang burung. Maksud dan tujuan beliau bertapa adalah untuk meminta petunjuk di mana tempat yang baik untuk mengajarkan agama Islam. Tiba-tiba, batu yang digunakan untuk bertapa ini seakan-akan terbang dan di sekelilingnya terdapat air laut. Maulana Hasanuddin beserta Batu Gilang terombang-ambing di atas laut dan terdampar di daratan yang saat ini dikenal dengan kota Banten lama. Di sinilah Maulana Hasanuddin mendirikan Kesultanan Banten pertama kali. Oleh karena itu Semua Sultan Banten yang akan dinobatkan menjadi raja harus dinobatkan di atas Batu Gilang ini. Belanda yang saat itu mengincar wilayah Banten untuk dijadikan jajahannya tidak berhasil untuk menundukkan Banten yang saat itu menjadi kota pelabuhan yang sangat besar. Belanda melihat bahwa salah satu penyebab sukarnya Banten ditaklukkan karena adanya Batu Gilang ini. Oleh karena itu, Belanda membuat tiruan dari batu gilang ini yang disebut sebagai Singayaksa. Semenjak Sultan yang kelima, Sultan tidak dilantik lagi di atas Batu Gilang, melainkan dinobatkan di atas batu Singayaksa. Menurut anggapan masyarakat Banten dengan dinobatkannya para Sultan di atas batu Singayaksa inilah yang menyebabkan kehancuran Kesultanan Banten.

Versi kedua, keruntuhan Kesultanan Banten diakibatkan oleh perlawanan Sultan Shafiuddin kepada pihak Belanda. Diceritakan bahwa Daendels yang saat itu menjadi Gubernur Jendral di Batavia, ingin membuat jalan dari Anyer sampai Panarukan dan membangun pelabuhan angkatan laut di Ujung Kulon. Karena hanya bermodalkan uang sedikit dan mengejar waktu pembangunan jalan yang harus selesai selama satu tahun, maka dilaksanakanlah apa yang disebut sebagai kerja paksa. Untuk melaksanakan dua proyek besar itu, Sultan Banten harus menyediakan tenaga sebanyak 1.000 orang setiap harinya. Namun, karena kondisi alam yang banyak rawanya serta becek, banyak penduduk Banten yang mati karena penyakit dan mati karena disiksa. Kabar kematian penduduk yang banyak itu didengar oleh Sultan Shafiuddin, sehingga beliau memutuskan untuk tidak mengirimkan penduduknya untuk mengerjakan proyek itu. Tiba-tiba datanglah Kapten Du Puy, utusan Gubernur Jenderal dari Batavia, menghadap Sultan Banten. Akan tetapi, ketika Du Puy akan memasuki istana, tidak disambut dengan tabik tuan, melainkan disambut dengan ayunan pedang oleh mangkubumi istana, hingga lehernya putus. Mendengar berita ini Daendels memerintahkan untuk menangkap Sultan Banten dan menghancurkan istananya. Sultan Shafiuddin dibuang ke Ambon, sementara istananya dibakar oleh militer Belanda. Orang Banten dikejar dan dibunuh. Oleh karena itu banyak penduduk dan ulama Banten (Tubagus) yang melarikan diri ke Sumedang, Lampung, dan wilayah lain di nusantara ini. Jadi dapat dimaklumi apabila saat ini di luar wilayah Banten banyak ditemukan nama Tubagus yang mengaku nenek moyangnya orang Banten.

Setelah itu pemerintahan di Banten diambil alih oleh pemerintah Belanda. Untuk meredam gejolak orang Banten, Belanda mengangkat Sultan yang ke-21 yakni Sultan Rafiuddin, yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Bahkan untuk makan saja, Sultan menerima gaji dari Belanda, dan tidurnya pun di istana ibunya yang bernama Istana Kaibon. Belanda memang menghendaki hilangnya Kesultanan Banten. Oleh karena itu, Istana Kaibonan pun akhirnya dihancurkan. Bahkan, pada saat membangun kantor dan tempat tinggal residen Serang, batu bata dan kayu serta perlengkapan rumah lainnya yang ada di Istana Kaibon dibawa ke kota Serang.

Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember 1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan yang juga dikenal dengan istilah katiban Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan.

Berdasarkan ringkasan daftar keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang dibuat di Banten tanggal 22 Nopember 1808 terdapat dua hal yang berkaitan dengan jatuhnya Kesultanan Banten, yaitu: Pertama, Berita Acara terbunuhnya Komandan Du Puy dan Letnan Kohl serta seorang Eropa dan tiga anggota militer pribumi dan kedua perintah untuk Raja Banten. Daendels menerima laporan terbunuhnya Komandan Du Puy, Letnan Kohl, tiga orang Eropa dan tiga anggota militer pribumi. Pada saat Du Puy dipanggil oleh utusan Sultan agar datang menghadap ke Benteng Intan (Istana Sorosowan), Komandan Du Puy diserang oleh adipati Pangeran Wargadiraja hingga meninggal. Sultan dianggap mengetahui rencana pembunuhan itu dan tidak melakukan apa-apa, bahkan membiarkan para penyerang merusak mayat Du Puy, kemudian dengan sangat kejam menyeretnya menuju sungai dan menenggelamkannya. Kejadian ini juga menimpa para anggota militer Eropa dan pribumi yang menyertai Du Puy ke sana. Wakil pemerintah yang ditugaskan ikut menjaga Kraton yang bernama Kapten Kohl, pada malam sebelum pembunuhan itu dibuat mabuk, sehingga Sultan dianggap dengan bebas bisa membunuhnya esok harinya. Sultan tidak melakukan tindakan pencegahan sedikitpun. Selain itu juga ada tuduhan pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Banten yakni: adanya serangan terhadap tiga orang serdadu Eropa yang dikirim ke teluk Anyer. Namun, tidak semuanya berhasil dibunuh, karena sebagian bisa melarikan diri ke seberang.

Sultan juga dianggap mengabaikan bertemu dengan Perfect Daerah Hulu Jakarta W.C. van Mohman, Direktur Jenderal W.H. van Ijsseldijk dan anggota Dewan Hindia P.F. Chasse yang sengaja diutus oleh Gubernur Jenderal untuk menangani masalah ini. Pemerintah Hindia Belanda memandang bahwa martabat pemerintah telah dicemari dengan pembunuhan itu dan akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan martabat itu, bahkan bila perlu dengan mengepung Kraton dan menangkap Sultan untuk dibawa ke Benteng Speelwijk. Pembunuhan terhadap pejabat tinggi pemerintah yang telah dilakukan oleh raja dan rakyat harus dijadikan contoh oleh yang lain. Oleh karena pemerintah menetapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Kesultanan Banten akan dinyatakan sebagai wilayah Raja Belanda serta demi kepentingan negara.

2. Marsekal dan Gubernur Jenderal akan mempertimbangkan kebiasaan yang ada di Banten seperti ketika dipimpin oleh rajanya sendiri dengan mengangkat putra mahkota sekarang Pangeran Ratu Aliudin yang tidak terlibat sedikitpun dalam perkara itu. Pangeran Ratu Aliudin akan diangkat menjadi Sultan Banten dengan aturan-aturan dan instruksi serta sumpah yang diambilnya seperti terlampir dalam peraturan pemerintah ini.

3. Tanah yang dipinjamkan oleh Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia sejak tahun 1752 di daerah Lampung kepada Sultan Banten ternyata menjadi tempat persembunyian yang aman bagi para perompak laut. Hanya sebagian kecil yang benar-benar di bawah kekuasaan Sultan Banten dan sebagian besar tunduk pada orang-orang Banten yang memberontak dan melarikan diri. Demi kepentingan negara dipandang perlu untuk meminta kembali semua tanah di Lampung dari pemerintahan Sultan Banten dan khususnya di bawah kekuasaan langsung dari pemerintahan Hindia Belanda.

4. Karena dalam pemerintahan sebelumnya terdapat penyetoran hasil bumi dan kerja wajib oleh raja yang telah turun tahta ini, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengambil alih bagian Timur wilayah Kesultanan Banten yang disewakan kepada orang-orang Cina oleh Sultan, diperintah oleh Patih, yang dirasakan oleh penduduk setempat banyak pemerasan dan penipuan sehingga banyak warganya yang lari dan menanggung beban yang berat dari gangguan yang ada di sekitarnya. Warga yang baik terpaksa harus dibebaskan dari perampokan dan pembunuhan sebagai tugas negara yang mengambil alih sewa tanah itu.

5. Empat pabrik gula yang dimiliki Sultan, harus dibekukan untuk menjamin pasokan ke ibukota khususya, dengan tetap memperhatikan penanaman padi. Bagian Timur Kesultanan Banten membentang dari kabupaten Tangerang di sepanjang sungai Cidani sampai 300 roed melalui sungai Jemanteri, serta distrik Sading dan Jesingen dinyatakan sebagai wilayah yang terpisah dari Kesultanan Banten dan digabungkan dengan daerah Batavia.

Selanjutnya Daendels memberikan instruksi bagi Raja Banten yang baru, untuk mengesahkan tata cara berikut upacara bagi Prefect Banten, apabila dia tiba sebagai wakil pemerintahan umum Paduka Raja.

1. Tidak ada upacara yang dilakukan apabila pada kesempatan ini Prefect tidak sedang diminta untuk menghadap raja;

2. Dalam kesempatan resmi tergantung pada kondisi, Prefect setelah menyampaikan kepada raja alasan pertemuan ini, oleh empat utusan dikawal dan upacra dari pihak raja Banten akan diadakan sesuai kebiasaan;

3. Prefect setelah mendekati raja akan dilengkapi dengan sebuah payung besar yang baik pada sisi dalam maupun luarnya dicat kuning dan diberi warna pinggi emas dan batangnya lebar, dan selain itu akan dicat biru muda dengan tombol emas, yang harus dipegang oleh seorang pembantu sampai di rumah ketika dia harus diterima oleh raja dengan seluruh ikat kepalanya.

4. Raja harus berdiri dari kursinya ketika Prefect memasuki istana dan harus menyambutnya ketika Prefect di sini menyampaikan salamnya kepada raja, seperti halnya diadakan upacara secara cermat ketika kembali terjadi dia duduk di sebelah kanan raja dan kemudian disesuaikan dengan pemilihan.

5. Dalam peristiwa upacara ini bisa ditunjukan bahwa kepada raja ketika tampil di depan umum dan Prefect kebetulan ada di sana, harus digandeng tangannya di bawah pengawasan Prefect dan dipayungi.

6. Apabila raja menghampiri Prefect, ketika memasuki benteng Speelwijk atau di tempat lain di mana pejabat ini biasa tinggal, dilepaskan tiga tembakan senapan, dan kepada Prefect wajib menyambutnya, membawanya masuk namun para pejabat rendahan bisa menerimanya di depan atau di luar kompleks bangunan itu.

7. Juga para pejabat rendahan seperti halnya Prefect baik yang berjalan kaki maupun berkereta dan berkuda bisa berangkat dan dinaiki bila mereka kebetulan berhalangan.

8. Apabila seorang Prefect atau pejabat lain bertemu dengan raja di tengah jalan, setiap orang akan berbagi jalan dan masing-masing memberi salam, namun anggota militer bisa berdiri di depan raja.

9. Apabila Prefect berjalan menghampiri raja, dia akan berjalan di belakang korps prajurit jaga yang terdiri atas seorang sersan, seorang kopral dan 12 orang prajurit biasa.

10. Pada semua upacara lain, sejauh dirasakan perlu oleh Prefect, harus dihadiri pula oleh raja ketika upacara ini diadakan seperti yang ditetapkan dalam pasal 6.

11. Dengan kedatangan Prefect di Banten, Prefect akan menyampaikan kepada raja yang akan memberikan sambutan kedatangannya sebelum dia sendiri menghadap raja.

12. Selain itu kepada Prefect dan raja diberi wewenang untuk saling bertemu secara kekeluargaan tanpa upacara. Setelah itu Prefect dalam semua aspek akan memperhatikan kepentingan martabat negara yang diwakilinya dan memperhatikan agar raja dan para bangsawannya baik dari pihak penguasa Eropa maupun bangsanya sendiri dihormati martabatnya.

Sementara itu, pihak Kesultananan Banten harus menerima perintah yang diberikan oleh Gubernur Jenderal yang dirinci dalam suatu aturan yang terdiri atas 30 pasal. Beberapa pokok perintah ini antara lain:

o Sultan Banten tidak memiliki wewenang sedikitpun untuk menegakkan kesuasaan atas tanah-tanah di sepanjang sungai Cidani, termasuk tanag Sading dan Jasinga yang digabungkan dengan daerah Batavia (pasal 2)

o Sultan dan para abdi dalem harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat baginya. Sebagai imbalan Sultan akan menerima jaminan kesejahteraan yang sah (pasal 3);

o Sultan akan mematuhi perintah yang diberikan oleh prefect yang mewakili pemerintah Hindia belanda (pasal 4);

o Sumber penghasilan yang sebelumnya menjadi wewenang Banten akan diambil alih oleh pemerintah Belanda dan Sultan setiap tahunnya akan menerima tunjangan sebesar 15 ribu ringgit Spanyol, hak pasar di Kekel (setahunnya mencapai f 108), pasar di daerah Blachan (setahun mencapai f 160), penjualan kerbau kepada penggilingan tebu (f 170), pemborongan pohon pinang dan apel manis (f 80), pemborongan kapok (f 70), pemborongan pembuatan genting (f80), pemborongan pabrik kapok di Banjarnegara (f 30), pemotongan kerbau (f 540), pemborongan kapok di Seram (f 120), pemborongan perahu balok dan kayu bakar di Cibabi (f 264), pemborongan gambir dan tembakau di Margalangu (f 126), pemborongan pajak di Margarana (F 108), pajak di Kalodran (f 192), pajak di Cidasari (f 54) dan di Pasar Lama (f 72). (pasal 7)

o Para pangeran dan bangsawan tetap dipertahankan, tetapi tidak diijinkan mengangkat pangeran baru. (pasal 8).

o Pemerintah akan membangun tempat tinggal bagi prefet bersama para pelayannya yang harus disediakan oleh Sultan. (pasal 15)

o Jika pemerintah Belanda memerlukan tenaga untukmemperluas prasarana bentengnya untuk aktivitas lain, Sultan harus menyediakan tenaganya yang akan dibayar oleh pemerintah. (pasal 16).

o Semua pelarian pribumi atau Eropa yang bersembunyi di daerah yang dipinjamkan kepada Sultan harus dicari atas perintah negara dan diserahkan kepada pemerintah, tidak terkecuali para budak dan bupati yang mencuri. Mereka yang berhasil menangkapnya akan diberi hadiah. (pasal 17).

o Meskipun sifat-sifat Banten telah lenyap, keturunan mereka akan tetap menjadi ahli waris yang sah atau bisa dialihkan kepada siapapun yang menjadi pilihannya tanpa menunggu kematian sultan seperti yang sebelumnya terjadi. (pasal 19).

o Untuk memberikan contoh penghukuman yang dijatuhkan atas pembunuhan yang dilakukan terhadap pegawai tinggi dan rendah negara, benteng Intan yang diduduki dan direbut oleh pasukan militer akan dibongkar dan dirobohkan. (pasal 21).

o Kepada Sultan diwajibkan, dengan persetujuan pemerintah Belanda, untuk memilih tempat tinggal yang pembangunannya dilakukan oleh rakyat Banten. (pasal 22).

o Mesjid dan makam raja-raja Banten dibiarkan tetap pada posisi lamanya dan kepada Sultan beserta keluarganya diberikan ijin apabila akan melaksanakan ibadah di sana dan memakamkan anggota keluarganya. (pasal 23);

Semua adat dan kebiasaan yang sifatnya merendahkan bagi pegawai pemerintah akan dihapuskan dan kepada prefect Banten akan diperintahkan suatu ketentuan upacara baru di Kraton Sultan seperti saat penerimaan dan pelepasan Sultan harus menandatangai dan mengambil sumpah atas instruksi ini di bawah Al Qur’an. Pengambilan sumpah dan penandatanganan instruksi ini dilakukan oleh raja Banten pada tanggal 28 Nopember 1808

Strukturisme dalam Konteks Kejatuhan Kedua Kraton

Strukturisme dalam ilmu sejarah diilhami dari pendapat Anthony Giddens yang bertolak dari interaksi antara agency dan structure. Agency adalah pelaku sejarah yang konkret yang oleh ahli sejarah dapat ditemukan dalam arsip yang dijadikan bahan penelitiannya. Sementara struktur adalah sesuatu yang konkret pula seperti halnya agency, tetapi tidak jelas terlihat sebab walaupun sukar ditemukan dalam sumber sejarah tetapi struktur itu ada. Mengenai struktur dan agency ini lebih jelas lagi dibahas oleh Lloyd yang mengatakan bahwa agency dan structure keduanya berhubungan secara simbiosis, yaitu walaupun masing-masing memiliki hakekatnya sendiri, tetapi yang satu tidak bisa ada kalau yang lainnya tidak hadir pula. (Lloyd: 1995).

Kesadaran itu bisa diungkapkan, tetapi banyak yang tidak diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pentingnya agency yang sadar akan perbuatannya ini, sehingga kausalitan akan kesadarannya dari berbagai peristiwa hanya dapat diungkapkan melalui perumusan kembali melalui wacara yang berkaitan dengan perbuatan agency itu sendiri. Dengan demikian manusia yang sadar akan perbuatannya itu menentukan dinamika proses sejarah yang ditentukan oleh manusianya itu sendiri (reflexive self regulation). Inilah yang menjadi kunci dari kausalitas dalam sejarah. Sementara itu struktur menurut pengertian Giddens berbeda dengan struktur dalam pendekatan struktural. Struktur menurut Giddens adalah seperangkat kaidah atau aturan. Kaidah ini tidak hanya terdapat dalam kesadaran manusia tetapi bisa juga di luar kesadaran manusia. Sifat struktur yang demikian ini disebut sebagai dualty of structure. Dalam hal struktur ini Lloyd berbeda dengan Giddens. Loys menambahkan bahwa yang dimaksudkan sebagai struktur tidak hanya perangkat aturan (sistem nilai), tetapi juga terdiri atas peran-peran (roles) dan interaksi antarperan-peran itu. Karena komponen struktur itu tidak terlihat maka wujudnya dapat dilihat melalui teori tertentu.

Selanjutnya dalam strukturis ini juga dikenal istileh mentalité yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh para sejarawan aliran Les Annales yang berpusat di Paris. Agency yang menentukan perubahan sosial bersifat dinamis, tidak statis, dan mampu berfikir dan mampu memilih sehingga memiliki alternatif. Lloyd menyebutkan mentalité sebagai idea, ideology dan culture. (Lloyd: 1995: 96-98). Yang dimaksudkan sebagai idea adalah gagasan besar seperti yang terdapat pada ilmu-ilmu tertentu yang bisa ditelusuri sejarahnya dari masa ke masa. Ideology adalah ide-ide politik yang melatarbelakangi tindakan-tindakan politik. Ide-ide semacam ini biasanya dipelajari dalam ilmu politik. Sementara itu culture lebih bervariasi, karena ada high culture yang sama dengan seni, ada pula material culture yang meneliti hasil kebudayaan, serta popular culture yang juga disebut (mirip?) dengan mentalité. Yang dimaksudkan sebagai mentalité atau popular culture adalah bagaimana masyarakat itu memahami dirinya sendiri dan dunia mereka, dan bagaimana mereka mengekspresikan diri mereka sendiri melalui agama, ritus, busana, musik, dan sebagainya (ibid: 97). Sementara itu Lloyd juga melihat bahwa pentingnya rumusan-rumusan yang mirip dengan ilmu alam yang disebut sebagai causal factor. Dalam makalah ini tidak akan dibahas bagaimana penerapan teori strukturis dalam konteks kedua kesultanan itu, tetapi akan lebih menyoroti mentalite yang hidup dan diikuti oleh kedua masyarakat tersebut.

Masyarakat Banten menganggap bahwa akar kehancuran Kesultanan Banten adalah karena para raja terakhirnya tidak dinobatkan di atas Batu Gilang. Batu Gilang adalah simbol kehidupan kerohanian para penganutnya. Simbol Batu Gilang adalah warisan leluhur yang di menjadi peletak dasar perkembangan agam Islam di Banten. Oleh karena itu, apabila orang atau masyarakat ingin hidup tenang, damai, sejahtera, maka yang paling utama adalah tidak boleh melupakan ibadah dan leluhur mereka. Dengan demikian bagi masyarakat Banten ibadah menjadi suatu kegiatan yang tidak boleh diabaikan. Ibadah merupakan suatu kegiatan yang wajib dan harus dijalankan oleh masing-masing individu. Proses hadirnya Batu Gilang yang menurut tradisi lisan yang tertuang dalam dongeng merupakan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berlangsung dari dulu hingga kini. Apabila masyarakat mengabaikan sistem nilai yang berlaku maka tampak jelas bagi mereka reruntuhan kerajaan Sorosowan yang merupakan simbol kehancuran duniawi sebagai akibat dari tidak dijalankannya sistem nilai yang berlaku di Banten. Rakyat Banten harus melarikan diri ke luar Banten ketika benteng Sorosowan dihancurkan. Fenomena banyaknya orang yang mengaku sebagai orang banten yang tinggal di kota lain disebabkan karena para adipati Banten ini diburu dan dibunuh. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pada saat penyerangan dan penghancuran istana Sorosowan banyak adipati Banten yang dibunuh, yang tidak dilaporkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Berbeda dengan di Banten, cerita rakyat di Banten yang menceritakan tentang perjuangan Bagus Rangin dan tindakan kedua Kesultanan Cirebon, merupakan contoh kepedulian pimpinan dan rakyatnya. Bagi masyarakat Cirebon khususnya pemimpin yang baik akan dicintai oleh rakyatnya dan akan dilindungi. Pemimpin yang mempedulikan rakyatnya akan selalu berjuang demi kesejahteraan rakyatnya. Ini semua terdapat pada cerita Bagus Rangin. Sementara itu cerita lisan ini juga membawa dampak bagi perilaku pada sementara orang. Bagus Rangin yang ditumpas oleh Pangeran Kornel membuat sebagian masyarakat Cirebon merasa segan untuk berhubungan dengan masyarakat bagai sementara orang. Atntardua masyarakat itu saling menghindarkan diri untuk berkerabat.

Setelah membandingkan antara arsip dan cerita lisan yang hidup di kedua masyarakat dapat ditarik beberapa kesimpulan:

Pertama, bahwa antara arsip dan cerita lisan seling berhubungan. Walaupun cerita lisan hidup terus menerus di masyarakat, cerita laisan tetap berhubungan dengan sumber sejarah. Karena disampaikan secara lisan, maka sumber yang berasal dari cerita lisan lebih dinamis dan lebih banyak mendapatkan distorsi, sehingga sering terdapat perbedaan tokoh sampingan, perbedaan waktu, perbedaan zaman. Yang dipentingkan dalam cerita lisan adalah pesan moral yang terkandung di dalamnya. Sementara itu sumber yang berupa arsip sifatnya statis, isinya seperti apa adanya yang tertuang di dalam sumber arsip itu.

Kedua, cerita lisan berfungsi sebagai pandangan tatanan adat atau nilai bagi masyarakatnya. Cerita lisan bisa dijadikan petuah ataupun hal-hal yang mengendalikan perilaku masyarakatnya. Sebagai halnya yang terjadi pada masyarakat Cirebon, walaupun kini pendapat tentang tidak diperbolehkannya berkerabat dengan orang Sumedang tidak diikuti lagi oleh masyarakatnya, bahkan cenderung hilang, tetapi cerita itu masih hidup dan berkembang di kalangan orang tertentu. Demikian pula penghargaan mereka terhadap kedua Sultan yang ada di wilayah Cirebon. Masih hidup pandangan di kalangan yang sangat terbatas bahwa Sultan Cirebon tidak memperhatikan rakyatnya, sehingga mereka tidak memiliki kebanggaan sama sekali memiliki dua Sultan.

Ketiga, budaya popular akan terus hidup sejalan dengan perkembangan masyarakat. Apabila masih dirasakan bermanfaat, budaya popular itu akan terus hidup. Semnatara itu apabila dirasakan sudah tidak bermanfaat akan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Cerita rakyat yang ada, baik di Banten maupun di Cirebon merupakan contoh dari budaya popular. Sementara orang sudah ada yang mulai meninggalkannya karena dianggap tidak sesuai lagi dengan pandangan masyarakat masa kini.

Keempat, perlu dilakukan pengumpulan dan kajian lebih mendalam dan lebih intensif cerita-cerita rakyat di kedua wilayah ini, karena orang yang mengenal cerita ini sudah banyak yang maninggal karena tua. Di Banten, hanya dua atau tiga orang saja yang masih mengetahui cerita rakyat ini, karena menurut pengakuan mereka para pencerita itu semuanya sudah meninggal, dan tidak ada yang mengetahuinya lagi karena mulai banyak para pendatang yang bermukim di wilayah itu. Kejadian serupa juga terjadi di Cirebon. Hanya sedikit orang yang masih ingat akan cerita Bagus Rangin atau cerita-cerita lainnya. Informan yang ada rata-rata usianya sudah di atas 60 tahun, sehingga apabila tidak segera dilakukan pendokumentasian, cerita-cerita rakyat ini akan musnah.

Cerita Rakyat Banten “Gubernur Jendral Herman Willem Dendles”

DN. Halwany

Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Daendels, adalah nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah di bumi kita tercinta ini antara tahun 1808 dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya. Sebelum meninggalkan negeri Belanda menuju Jawa, Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.

Kedua tugas ini diberikan kepadanya mengingat bahwa pada saat itu negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan Inggris adalah salah satu negara yang belum bisa ditaklukkan Prancis yang saat itu. (Eymeret: 1973: 29). Pada tanggal 28 Januari 1807 Daendels menerima tugas untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda langsung dari Louis Napoleon atas perintah dari Napoleon Bonaparte. Persiapan keberangkatannya pun dilakukan. Pada tanggal 9 Februari 1807, Louis Napoleon menandatangani instruksi yang harus dilakukan oleh Daendels. Instruksi itu terdiri atas 37 pasal. Pada bulan Maret, Daendels berangkat secara diam-diam, agar tidak diketahui pihak Inggris, melalui Paris, kemudian ke Lisabon dengan menaiki kapal Amerika dan mengubah namanya menjadi Van Vlierden. Dari Lisabon Daendels berlayar menuju Kepulauan Kanari selanjutnya menuju pulau Jawa. (Paulus: 1917: 554). Pada tanggal 1 Januari 1808, setelah menempuh perjalanan selama 10 bulan, Daendels mendarat di Anyer hanya dengan didampingi oleh seorang ajudannya dan tanpa memiliki surat-surat kepercayaan. Dari Anyer dia melalui jalan darat menuju ke Batavia untuk menemui gubernur jenderal saat itu, yaitu Henricus Albertus Wiese (Stapel: 1940: 35). Tampaknya Wiese telah menerima berita pengangkatan Daendels. Pada tanggal 14 Januari 1808 Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada Daendels.

Hubungan Daendels dengan Raja-Raja di Jawa Barat

Sebenarnya Daendels melakukan intervensi terhadap kekuasaan kesultanan di Jawa, yakni: Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), Yogyakarta dan Surakarta (Vorstenlanden). Namun, sesuai dengan tema seminar ini, hanya akan dibahas hubungan Daendels dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Hubungan antara Daendels dan raja Banten bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon. Ribuan pekerja dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan itu. Dalam pekerjaan ini terjadi banyak korban manusia baik yang berasal dari kalangan pribumi maupun dari kalangan orang Eropa, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. Untuk melanjutkan proyek itu Daendels meminta kepada Sultan Banten saat itu, untuk menyediakan tenaga baru dari Banten. Sultan Banten menolak permintaan itu mengingat banyaknya korban yang sakit dan mati karena penyakit. Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirimkan utusannya yang bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar bersedia mengirimkan rakyatnya. Du Puy diserang dan dibunuh. Keadaan ini membuat Daendels marah, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Banten. Sultan Banten menyerah dan diasingkan ke Ambon, sementara pemerintahan diserahkan kepada putra mahkota (Murdiman: 1970:14). Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan kondisi di Banten. Pada akhir abad ke 18, di kraton-kraton Cirebon cukup kacau akibat konflik di dalam kraton. Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya, untuk menjalankan

Sumber lain menyebutkan bahwa Daendels pergi ke Jawa melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari, New York baru menuju ke Jawa dengan menggunakan kapal Amerika (Graaf: 1949: hal. 363). pemerintahan di kraton dilakukan oleh beberapa adipati. Ketika sultan wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal juga secara mendadak. Sementara itu putranya yang diharapkan menggantikannya usianya masih sangat muda. Akibatnya, pemerintahan di dalam kraton diserahkan kepada walinya hingga tahun 1799. Kondisi kraton menjadi sangat kacau ketika putra Sultan yang dulu dibuang ke Maluku melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia. Sementara itu Sultan Kanoman meninggal tahun 1798. Namun, yang menggantikan bukan putra mahkota, melainkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kekacauan yang mengakibatkan banyak orang Cina terbunuh. Akibat kerusuhan ini putra mahkota Kanoman ditangkap dan dibawa ke Batavia karena dianggap mendalangi kerusuhan itu. Ribuan rakyat protes ke Batavia, tetapi bisa dihalau di Krawang. Akibat dari kejadian ini semua, putra mahkota Kanoman dibuang ke Ambon. (Lubis, 2000: 45-47) Pada masa Daendels menjadi gubernur jenderal. Oleh Daendels para penguasa kerajaan tidak diijinkan menggunakan sebutan sultan lagi, melainkan menggunakan sebutan pangeran. Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember 1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan yang juga dikenal dengan istilah Benteng Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan.

Jatuhnya Kesultanan Banten berdasarkan arsip yang ada

Berdasarkan ringkasan daftar keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang dibuat di Banten tanggal 22 Nopember 1808 terdapat dua hal yang berkaitan dengan jatuhnya Kesultanan banten, yaitu: Pertama, Berita Acara terbunuhnya Komandan Du Puy dan Letnan Kohl serta seorang Eropa dan tiga anggota militer pribumi dan kedua perintah untuk Raja Banten. Daendels menerima laporan terbunuhnya Komandan Du Puy, Letnan Kohl, tiga orang Eropa dan tiga anggota militer pribumi. Pada saat Du Puy dipanggil oleh utusan Sultan agar datang menghadap ke Benteng Intan (Istana Sorosowan), Komandan Du Puy diserang oleh adipati Pangeran Wargadiraja hingga meninggal. Sultan dianggap mengetahui rencana pembunuhan itu dan tidak melakukan apa-apa, bahkan membiarkan para penyerang merusak mayat Du Puy, kemudian dengan sangat kejam menyeretnya menuju sungai dan menenggelamkannya. Kejadian ini juga menimpa para anggota militer Eropa dan pribumi yang menyertai Du Puy ke sana. Wakil pemerintah yang ditugaskan ikut menjaga Kraton yang bernama Kapten Kohl, pada malam sebelum pembunuhan itu dibuat mabuk, sehingga Sultan dianggap dengan bebas bisa membunuhnya esok harinya. Sultan tidak melakukan tindakan pencegahan sedikitpun. Selain itu juga ada tuduhan pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Banten yakni: adanya serangan terhadap tiga orang serdadu Eropa yang dikirim ke teluk Anyer. Namun, tidak semuanya berhasil dibunuh, karena sebagian bisa melarikan diri ke seberang.

Selanjutnya Daendels memberikan instruksi bagi Raja Banten yang baru, untuk mengesahkan tata cara berikut upacara bagi Prefect Banten, apabila dia tiba sebagai wakil pemerintahan umum Paduka Raja.

1. Tidak ada upacara yang dilakukan apabila pada kesempatan ini Prefect tidak sedang diminta untuk menghadap raja;

2. Dalam kesempatan resmi tergantung pada kondisi, Prefect setelah menyampaikan kepada raja alasan pertemuan ini, oleh empat utusan dikawal dan upacra dari pihak raja Banten akan diadakan sesuai kebiasaan;

3. Prefect setelah mendekati raja akan dilengkapi dengan sebuah payung besar yang baik pada sisi dalam maupun luarnya dicat kuning dan diberi warna pinggi emas dan batangnya lebar, dan selain itu akan dicat biru muda dengan tombol emas, yang harus dipegang oleh seorang pembantu sampai di rumah ketika dia harus diterima oleh raja dengan seluruh ikat kepalanya.

4. Raja harus berdiri dari kursinya ketika Prefect memasuki istana dan harus menyambutnya ketika Prefect di sini menyampaikan salamnya kepada raja, seperti halnya diadakan upacara secara cermat ketika kembali terjadi dia duduk di sebelah kanan raja dan kemudian disesuaikan dengan pemilihan.

5. Dalam peristiwa upacara ini bisa ditunjukan bahwa kepada raja ketika tampil di depan umum dan Prefect kebetulan ada di sana, harus digandeng tangannya di bawah pengawasan Prefect dan dipayungi.

6. Apabila raja menghampiri Prefect, ketika memasuki benteng Speelwijk atau di tempat lain di mana pejabat ini biasa tinggal, dilepaskan tiga tembakan senapan, dan kepada Prefect wajib menyambutnya, membawanya masuk namun para pejabat rendahan bisa menerimanya di depan atau di luar kompleks bangunan itu.

7. Juga para pejabat rendahan seperti halnya Prefect baik yang berjalan kaki maupun berkereta dan berkuda bisa berangkat dan dinaiki bila mereka kebetulan berhalangan.

8. Apabila seorang Prefect atau pejabat lain bertemu dengan raja di tengah jalan, setiap orang akan berbagi jalan dan masing-masing memberi salam, namun anggota militer bisa berdiri di depan raja.

9. Apabila Prefect berjalan menghampiri raja, dia akan berjalan di belakang korps prajurit jaga yang terdiri atas seorang sersan, seorang kopral dan 12 orang prajurit biasa.

10. Pada semua upacara lain, sejauh dirasakan perlu oleh Prefect, harus dihadiri pula oleh raja ketika upacara ini diadakan seperti yang ditetapkan dalam pasal 6.

11. Dengan kedatangan Prefect di Banten, Prefect akan menyampaikan kepada raja yang akan memberikan sambutan kedatangannya sebelum dia sendiri menghadap raja.

12. Selain itu kepada Prefect dan raja diberi wewenang untuk saling bertemu secara kekeluargaan tanpa upacara. Setelah itu Prefect dalam semua aspek akan memperhatikan kepentingan martabat negara yang diwakilinya dan memperhatikan agar raja dan para bangsawannya baik dari pihak penguasa Eropa maupun bangsanya sendiri dihormati martabatnya.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya. Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.

Sumber data;

Michrob, Halwany, 1994, “Festifal Banten 94” booklet atau brosur tempat wisata di daerah Banten.

Michrob, Halwany, 1990, diambil dari buku berbahasa Belanda yang berjudul “Geschiedenis van Indonesie” 1949

Cerita Rakyat Banten "Prabu Pucuk Umun Vs Sultan Maulana Hasanuddin”

DN. Halwany


Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.


Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.


Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.


Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.


Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:


“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:

1. Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.

2. Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.

3. Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung.


Demikianlah maklumat kami sampaikan.”


Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.


Kedua jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.


Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”


Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.


Sementra itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.


CERITA-CERITA yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah cerita rakyat, bukan data historis. Walaupun demikian, kesimpulan yang dapat ditarik ialah betapa akrabnya Banten dengan Islam sehingga agama ini sudah amat mendalam pengaruhnya terhadap alam pikiran orang Banten. Selain itu, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa agama Islam sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Banten, adalah wajar bila ada anggapan bahwa penyebaran Islam dari Demak melalui Cirebon lalu ke Banten itu merupakan fakta sejarah yang dihubungkan dengan kekuasaan kerajaan, padahal dalam kenyataannya dapat saja melalui tokoh-tokoh di luar itu, walaupun secara kecil-kecilan. Artinya di samping adanya wacana besar yang dibenarkan oleh sejarah, ada pula wacana kecil yang ternyata akhirnya terserap oleh beberapa cerita rakyat.