Rabu, 02 Juli 2008

Perjuangan Rakyat Banten


DN. Halwany

Riwayat terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) sangat bersifat khusus, yakni semesta dan berakar pada rakyat/kerakyatan, yang didahului oleh perjalanan panjang melelahkan melawan kekuatan penjajah yang datang ke bumi Nusantara silih berganti. Dari sifatnya yang khas, proses sejarah TNI memperlihatkan hasil pembentukan karakter TRI yang: (1) bukan kelanjutan sejarah militer kolonial Belanda, dan (2) bukan pula kelanjutan tradisi militer pendudukan Jepang. Meski pun tak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian perwira pelopor pembentuk TNI yang dididik baik oleh Belanda mau pun Jepang. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa karakter TNI berakar pada sejarah perlawanan rakyat di seluruh pelosok Nusantara, sama sekali bukan merupakan retorika kesejarahan, tetap menunjuk pada data dan fakta bahwa perlawanan menentang kekuatan asing, tetap berlangsung dengan teknik persenjataan seadanya di bawah kepemimpinan elite kerajaan - kerajaan lokal mau pun kelompok ulama.

Sejarah panjang perlawanan bersenjata rakyat Indonesia sering diiringi oleh semangat juang yang amat tinggi, tetapi sebaliknya tidak didukung oleh kesatuan tindak, keserempakan dan strategi perang yang andal. Sekali pun seringkali pula pihak pejuang Indonesia dapat menimbulkan korban jiwa dan kerusakan cukup besar di pihak lawan, namun tak terhindarkan berkembangnya mitos di kalangan militer Belanda, bahwa: " ...bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu membebaskan diri dari penjajahan Belanda, oleh karena katanya sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak dapat bersatu dan tidak mampu membangun angkatan perang…..” (Simatupang, 1991: vii). Elite militer Belanda agaknya lupa atau mencampakkan begitu saja pengalaman buruk berkepanjangan dari sejumlah perang besar seperti yang terjadi di Aceh, Banten, Jawa (perang Diponegoro), Makasar, Saparua, Banjar, Minangkabau dan sebagainya. Selain terjadi perang frontal, lebih sering terjadi serangan-serangan gerilya, yang seringkali membuat Belanda putus asa, frustrasi, membabi-buta dan sebagainya.

Perang-perang "lokal" dan katanya "terbatas" itu, pada kenyataannya menjadi salah satu sebab utama kebangkrutan kompeni dagang Belanda, selain karena faktor korupsi para pejabatnya. Tidak usah jauh-jauh kita mencari kesaksian, misalnya yang diungkap oleh J.P. Coen (1615) dalam suratnya kepada Heren XVII bertanggal 22 Oktober 1615, menyatakan a.l.: " ... Pangeran Banten tidak takut pada orang Portugis, Spanyol, Belanda atau Inggris mana pun, tetapi hanya kepada Raja Mataram…." (DR. Anthony Reid, 1992: 140). Atas dasar kajian dokumen sejarah lokal dan kolonial, DR. Anthony Reid (1992: 142) antara lain menyimpulkan bahwa orang Asia Tenggara dan khususnya orang Indonesia, dari Aceh hingga ke Maluku, banyak memiliki reputasi dalam hal keberanian individual, jika bukan untuk ketegaran militer. Berikut ini adalah perjalanan panjang berjuang melawan penjajahan yang khususnya dilakukan oleh rakyat di wilayah Banten.

Perjuangan Ulama dan Rakyat Banten

Dalam perkembangan kesejarahan Banten peran ulama sejak berberdirinya Kesultanan Banten sangatlah menentukan. Bahkan berdirinya kesultanan ini didahului dengan motif penyebaran agama dan menolak kehadiran Portugis yang gigih menghancurkan Islam dalam semangat Perang Salib. Pendiri kesultanan Banten pun, Syarif Hidayatullah, adalah seorang ulama yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Hasanuddin, yang juga seorang da'i yang berhasil. Penyerangan Banten ke Lampung dan Solebar pada masa Maulana Hasanuddin, penyerangan Pajajaran pada masa Maulana Yusuf, dan juga penyerangan ke Palembang pada masa Sultan Muhammad, semuanya bermotif keagamaan, penyebaran agama Islam, disamping tidak menutup kemungkinan adanya motif ekonomi, motif kekuasaan, atau motif tambahan lainnya.

Dalam birokrasi kerajaan, dikenal adanya Kadhi (Hakim Agung) yaitu seorang ulama yang mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting. Kadhi atau juga disebut Faqih Najmuddin selalu dimintai pendapatnya dan persetujuannya dalam setiap perjanjian yang dibuat Sultan (Sudewo, 1986:65). Kadhi-lah yang menjadi Wali Sultan dan penasehat pengangkatan pengganti sultan pada masa Sultan Muhammad, yang masih kecil. Bahkan dalam keadaan genting, ia menjadi pimpinan perang di samping jabatan tetapnya sebagai pemimpin keagamaan, misalnya pada masa Sultan Tirtayasa.

Keadaan demikian berlangsung sampai dikenalkan sistem penjajahan oleh Belanda. Pemerintah kolonial berusaha untuk memisahkan antara urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan, disesuaikan dengan prinsip yang dianutnya: sekularisme. Para ulama mengajarkan pada masyarakat bahwa penjajahan adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam. Menentang penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam, dan bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Maka apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan, dia mati sahid yang balasannya hanya surga. Keyakinan semacam ini tertanam pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan demikian wajarlah apabila Banten yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Barat tidak pernah sepi dari perlawanan kepada penjajah. Dan benarlah bahwa nasionalisme Indonesia dimulai dengan nasionalisme Islam (Noer, 1982:8).

Pada masa awal kesultanan sampai dengan masa Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa selalu bergabung dengan para ulama. Sehingga seluruh kebijaksanaan pemerintah mendapat dukungan penuh dari rakyat. Semenjak kompeni Belanda dapat menguasai politik pemerintahan Banten, yang mempunyai missi tertentu kepada agama Islam maka untuk keamanan diri dan keluarganya, kaum elit birokrat sedikit demi sedikit menjauhi kaum agama. Merupakan satu kegembiraan tersendiri apabila mereka tidak dimasukkan kepada kelompok "fanatik", yaitu orang-orang yang memakai ukuran agama dalam tiap tindakannya, dan, karenanya orang "fanatik" inilah yang dianggap berbahaya oleh penjajah. Bagi para pejabat (yang sudah dipengaruhi "kuasa" penjajah), kesejahteraan rakyat tidaklah penting, mereka hanya berlomba-lomba menyenangkan tuannya dengun memeras rakyat. Sehingga sangat jarang sekali perlawanan bersenjata tumbuh dari kalangan birokrat ini. Hal demikian memang disengaja oleh pemerintah penjajah, untuk mengadu-domba pimpinan pribumi. Penjajah merangkul penguasa- penguasa yang rakus dengan kekuasaan; dan dengan dalih mempertahankan adat istiadat nenek moyang mereka bekerja-sama membendung pengaruh agama Islam. Dengan keadaan ini maka hanya kepada para ulama-lah tumpuan rakyat untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Meski pun akhirnya Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Banten, namun perlawanan rakyat yang dipimpin para ulama terus meningkat; bahkan sejak abad ke-19 perlawanan bersenjata lebih meringkat lagi sehingga dikatakan bahwa sepanjang abad ke- 19 Banten sebagai tempat persemaian kerusuhan dan pemberontakan. Tidak ada satu pun distrik di Banten yang sepi dari perlawanan rakyat menentang penjajah Belanda (Kartodirdjo, 1984: 45).

Keadaan demikian sejalan dengan meningkatnya semangat kebangkitan Islam yang tumbuh di Timur Tengah, dan berkat semakin meningkatnya hubungan antara kedua daerah itu (Benda, 1972: 83). Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tidak sedikit di antara mereka, setelah sekian lama bermukim di tanah suci itu kembali ke tanah air dengan membawa kekuatan baru berupa ajaran Is1am yang lebih murni. Lambat laun ajaran tauhid tersebut berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini menguasai Indonesia; dengan dimotori ulama-ulama inilah perlawanan umat Islam lebih marak lagi (Suminto, 1985:3).

Walaupun dalam teorinya pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem politik netral agama, tapi dalam praktek bertolak belakang; banyaknya kemudahan yang diberikan bagi pemeluk agama Kristen sebanding dengan tekanan-tekanan pada pemeluk Islam. Pada tahun 1859, Gubernur Jendral mengintruksikan agar selalu mengawasi setiap gerak-gerik ulama, terutama yang dianggap "fanatik" dan suka memberontak. Dengan melihat bahwa hampir setiap perlawanan rakyat selalu digerakkan oleh ulama terutama yang sudah pergi haji maka diadakanlah pembatasan, pengetatan dan pengawasan terhadap orang yang akan dan sudah haji. Dengan dalih untuk melindungi perjalanan jamaah haji ini, pemerintah kolonial mendirikan konsul di Singapura, Kalkuta, Kairo, dan Jeddah; melalui konsul-konsul itulah segala gerak-gerik jamaah haji dari Nusantara diawasi, sejak keberangkatan sampai pulang dan perbuatan-perbuatan yang dilakukannya selama di Mekkah (Suminto, 1985:3). Di antara jamaah haji dari Banten ini banyak yang mukim di Mekah untuk memperdalam pengetahuan keislaman, dan akhirnya mereka pun banyak yang menjadi tokoh terkemuka mukimin asal Nusantara dikenal dengan nama masyarakat Jawah. Melalui jamaah haji yang merupakan orang pilihan di daerahnya kaum Jawah "memompakan" semangat perjuangan kebangkitan keagamaan dan politik, yang kemudian disebarkan kepada rakyat Banten (Kartodirdjo, 1985:221). Dengan kenyataan ini Snouck Hurgronye menyatakan bahwa dari Mekah inilah perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori (Kartodirdjo, 1985:222).

Salah seorang "kaum Jawah" yang terkenal dan berpengaruh asal Banten adalah Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani. Menurut tradisi, Nawawi adalah keturunan langsung dari Pangeran Sunyararas, putra Maulana Hasanuddin. Mulai dari usia 5 tahun, ia belajar ilmu keislaman dari ayahnya, KH. Umar, di daerah asalnya di Desa Tanara, Tirtayasa, Serang. Sepuluh tahun kemudian, setelah ayahnya meninggal, Nawawi melanjutkan belajar pada K.H. Sahal, seorang ulama terkenal di daerah Banten. Kemudian bertiga dengan saudaranya (Tamim dan Ahmad), mereka pergi ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf. Pada usia yang masih muda, tiga bersaudara itu pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmu keislamannya. Selama 30 tahun (1830 - 1860) Nawawi pun belajar pada Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sambulawesi, Nahrawi dan Abdul Gani Daghestani di Mekah. Selanjutnya, Nawawi belajar pada Syekh Dimyati dan Muhammad Dahlan Khatib al-Hambali di Madinah (Hafifuddin, 1987: 40). Dari ilmu-ilmu yang diperolehnya di perantauan ini, Nawawi banyak menulis buku yang diantaranya 115 judul yang sudah diterbitkan dalam bahasa Arab, dalam berbagai disiplin ilmu. Dengan prestasi keilmuannya ini Nawawi digelari Ulama al-Hijaz, Imam Ulama al-Haramain.

Pengaruh Syekh Nawawi al-Jawi al-Bantani ini sangat terasa dalam pergerakan nasional menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Melalui murid-muridnya yang datang ke Mekah, sewaktu ibadah haji, Syekh Nanawi memompakan semangat perjuangan. Di antara muridnya yang terkenal adalah: K.H. Wasid (Cilegon), K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim Asyhari (Jombang), dan K.H. Tb. Asnawi (Caringin) (Steenbrink, 1984: 118; Chaidar, 1978:6 dan Kartodirdjo, 1988: 78).

Untuk menjaga dari pengaruh ajaran agama dan kebudayaan yang dibawa kolonial Belanda, para guru agama mendirikan pesantren, yaitu lembaga pendidikan keislaman, yang umumnya didirikan di tempat jauh dari keramaian kota. Di pesantren inilah para santri dididik untuk cinta agama dan semangat membela tanah air. Dalam beberapa dasawarsa, di Banten terdapat peningkatan fanatisme di kalangan masyarakat pesantren, dengan satu sikap bermusuhan dan agresif yang ditanamkan pada diri para santri terhadap penguasa kolonial dan kaum priyayi yang dianggap sebagai antek penjajah (Kartodirdjo, 1985:224). Ketimpangan sosial, penderitaan rakyat, dan perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah dan antek - anteknya ini menimbulkan kebencian yang mendalam. Alasan inilah yang memudahkan timbulnya banyak api pemberontakan di Banten yang hampir semuanya berbalutkan agama walaupun dalam skala yang berlainan. Kerusuhan kedaerahan terus bermunculan silih berganti, dari beberapa di antaranya berkembang menjadi pemberontakan yang sesungguhnya.

Prof.DR. Sartono Kartodirdjo (1966) dan Prof.DR. T. Ibrahim Alfian (1994) memaparkan dan menganalisis daftar panjang pergolakan rakyat Banten pasca Kesultanan sampai menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang. Kartodirdjo (1993:391) membedakan gerakan-gerakan rakyat Banten (dan rakyat di daerah lain), ke dalam kelompok gerakan:

1. gerakan melawan pungutan tinggi/pajak;

2. gerakan milenaristis, bertujuan mengembalikan zaman sebelum ada perubahan, ingin menegakkan kembali kesultanan;

3. gerakan mesianistis, gerakan Ratu Adil, dan

4. gerakan revivalistis dan sektaris yang bertujuan memperbaiki kehidupan beragama.

T. Ibrahim Alfian antara lain memaparkan gerakan-gerakan rakyat (sosial; Kartodirdjo lebih senang menggunakan terminologi pemberontakan petani) di wilayah Banten, antara lain:

1. pemberontakan Nyai Gumpara, 1818, milenaristis

2. pemberontakan Tumenggung Muhammad, demang Menes, 1825, protes pungutan pajak;

3. pemberontakan Mas Zakaria, 1811;

4. pemberontakan Ratu Bagus Ali, 1836;

5. pemberontakan Cikande Udik, motif perang sabil;

6. 1850, pemberontakan demang Cilegon yang dicetuskan oleh Tubagus Iskak, Mas Derik dan Haji Wakhia;

7. 1851, perlawanan Usup;

8. 1862, peristiwa Pungut;

9. 1866, kerusuhan Kolelet;

10. 1888, Geger Cilegon, motif perang sabil, dipimpin para ulama, peristiwa terbesar dan paling banyak korban di kedua belah pihak.

T. Ibrahim Alfian menggambarkan bahwa untuk memotivasi semangat "jihad" dalam berbagai pergolakan itu, para pemimpin agama (ulama), memompakan semangat perang sabil dan mati syahid, seperti misalnya terkandung dalam al-Qur'an surah At-Taubah (Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga, mereka berperang pada jalan Allah ... ). Atau juga seperti yang terdapat pada Qur'an surah Al-Hajj: 39 (Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi).

Dalam "meringkas" laporan mengenai Geger Cilegon 1888 yang dipimpin oleh K.H. Wasyid dkk., Alfian memaparka (1994:474): di pihak pemerintah kolonial tewas 19 orang dan 7 orang luka termasuk A.A. Veenhuyzen, Kapten infanteri Batalyon 9. Di pihak rakyat syahid 30 orang termasuk 18 orang haji, luka-luka 13 orang termasuk 4 orang haji, 94 orang diadili dan dibuang termasuk 42 orang haji.

Masa Pendudukan Tentara Jepang

Sekali pun singkat dan hanya berlangsung lebih dari 3,5 tahun, namun pendudukan tentara Jepang berdampak luas dan dalam di seluruh aspek kehidupan, termasuk dampak tumbuhnya embrio tentara nasional Indonesia (TNI). Segera setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia,dibentuklah suatu pemerintahan militer yang bersifat sementara sesuai dengan undang-undang No. 1/1942 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenam belas pada tanggal 7 Maret 1942. Pada dasarnya, susunan pemerintahan masa pendudukan Jepang tetap mempertahankan sistem lama. Pada masa penjajahan Belanda, sejak tahun 1834, daerah kesultanan Banten dijadikan sebagai satu karesidenan, meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Jabatan mulai dari residen sampai dengan kontrolir selalu dipegang orang Belanda; sedangkan jabatan mulai dari bupati ke bawah barulah diserahkan kepada orang bumiputera. Penguasa tertinggi di karesidenan (residentie) adalah residen yang dalam menjalankan tugas sehari-hari dibantu oleh sekretaris residen, asisten residen, dan kontrolir. Asisten residen dan kontrolir biasanya ditempatkan di setiap kabupaten yang berfungsi sebagai pembantu residen dalam menangani masalah pemerintahan di wilayah kabupaten. Penguasa tertinggi di kabupaten adalah bupati, yang bertanggung jawab langsung kepada residen. Dalam melaksanakan tugasnya, bupati dibantu oleh patih, wedana, asisten wedana atau camat, dan lurah atau jaro.

Pada masa kekuasaan pemerintah Jepang, administrasi pemerintahan ini diadakan perubahan dengan beberapa undang-undang dan peraturan yang ddibuat pemerintah Jepang disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di negara Jepang. Berdasarkan UU No. 27 tanggal 5 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan daerah) dan UU No. 28 tanggal 7 Agustus 1942 (tentang aturan pemerintahan shu dan tokobetsusyi). Pulau Jawa, kecuali Surakarta dan Jogjakarta, dibagi atas daerah-daerah yang disebut: shu, shi, ken, gun, son dan ku. Shu adalah pemerintahan tertinggi yang berotonomi di bawah seorang shucokan yang kedudukannya sama dengan karesidenan (residentie); shi sama dengan stadsgemeente; ken sama dengan kabupaten (regentschaap); gun sama dengan kawedanaan (distict); son sama dengan kecamatan (onder-district), dan ku sama dengan desa.

Untuk jabatan di wilayah seperti shi, ken, gun, son, dan ku, masing-masing diangkat sityoo, kentyoo, guntyoo, sontyoo, dan kutyoo. Aturan pada jaman Hindia Belanda yang dulu berlaku untuk stadsgemeente, kabupaten (regentshap), kawedanaan (district), dan kecamatan (onder district) serta desa; berlaku juga untuk shi, ken, gun, son, dan ku; kecuali ada peraturan istimewa yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Jepang. Akan tetapi kekuasaan otonomi yang dahulu diberikan mulai dari bupati sampai ke lurah dalam menangani urusan pemerintahan, kecuali untuk tingkat ken dan shi, ditarik menjadi wewenang sityoo; dengan demikian semua otonomi yang ada pada tingkat residentie dihapus. Segala kekuasaan yang dahulu di tangan Gubernur Jenderal kini dipegang oleh Panglima Tentara Jepang (Saiko Shikikan), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Kepala Pemerintahan (Gunseikan). Begitu pula pemerintahan di daerah dipegang oleh tentara Jepang (Surianingrat, 1981: 72-75).

Pada tanggal 29 April 1942, bersamaan dengan pengangkatan wakil gubernur dan pembantu wakil gubernur Jawa Barat, R. Adipati Aria Hilman Djajadiningrat, diangkat sebagai residen Banten (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984:8). Wilayah karesidenan Banten di bawah koordinator Gunseibu Jawa Barat meliputi 4 ken, yaitu Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Karena kondisi geografis sebagai daerah ujung barat pulau Jawa, keletakan Banten merupakan pintu masuk yang sangat strategis serta atas dasar pertimbangan ideologi, politik, sosial ekonomi dan strategi militer, Banten dijadikan benteng pertahanan wilayah pendudukan Jepang di pulau Jawa bagian barat. Basis pertahanan yang terpenting dengan kesatuan tempur besar ditempatkan di Pulau Sangiang, sebagai pangkalan angkatan laut (kaigun) di Selat Sunda, dengan markas komando di Anyer, kekuatan angkatan udara di Gorda, menghadap ke pantai Jawa; kesatuan angkatan darat (rikugun) di tempatkan di Sajira, Rangkasbitung. Di Serang ditempatkan satu Sub Detasemen Kempetai (Polisi Militer), untuk meliputi seluruh daerah Banten. Dengan dalih untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum, di balik tujuan Jepang untuk mengontrol dan memperkuat kedudukannya di Indonesia, dikeluarkan Undang-undang No. 3 tanggal 30 Maret 1942 dan Undang-undang No. 23 tanggal 15 tahun 1942. Undang-undang yang disebutkan pertama adalah larangan untuk berkumpul lebih dari 2 orang dan larangan mendengarkan siaran radio asing. Sedangkan Undang-undang kedua mengenai peraturan pembubaran semua organisasi sosial politik yang ada kecuali NO (Nahdatul Oelama) dan MIAI (Majlis Islam 'Ala Indonesia) (Adam Malik, 1975:18).

Setelah kehidupan organisasi sosial-politik bangsa Indonesia dimatikan dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang disebutkan di atas, pemerintah pendudukan Jepang membentuk organisasi baru yang merupakan organisasi propaganda perang Jepang, yaitu: Gerakan Tiga ANipon pemimpin Asia, Nipon pelindung Asia dan Nipon cahaya Asia. denpan slogannya:

Organisasi ini dibentuk pada tanggal 29 April 1942 dengan Mr. Samsudin ditunjuk sebagai ketuanya tapi baru berusia delapan bulan organisasi ini dibubarkan kembali, karena dianggap gagal dalam missinya oleh pemerintah Jepang, yaitu menarik simpati rakyat Indonesia. Salah satu sebab kegagalan organisasi ini karena pemimpin yang dipilih bukanlah tokoh nasional yang populer di mata rakyat. Di samping itu kalangan militer Jepang sendiri nampaknya merasa khawatir kalau-kalau organisasi ini dipakai oleh golongan nasionalis untuk menyebarkan ide-ide kemerdekaan (Berita Oemoem, 2 April 1943; dan Kahin, 1970: 103-104).

Sebagai gantinya pemerintah Jepang membentuk Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) pada tanggal 9 Maret 1943 dimana para pemimpinnya diambil dari tokoh-tokoh nasional yang populer dan berpengaruh di kalangan rakyat Indonesia, antara lain Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan K. H. Mas Mansur yang keempatnya dikenal sebagai Empat Serangkai. Dengan menempatkan orang-orang tersebut sebagai pimpinan Poetera, Jepang berharap dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mengerahkan potensi rakyat guna memenangkan perang di Asia Pasifik karena diperhitungkan, perang dengan pasukan sekutu akan segera mendekati Pulau Jawa (Kahin, 1970:106). Tapi tidak lama kemudian, Poetera pun dibubarkan dan digantikan dengan Jawa Hookookai (Gerakan Kebaktian Rakyat Jawa).

Untuk mengambil hati rakyat, Jepang melakukan berbagai cara pendekatan, misainya: memberi pelajaran baris berbaris kepada para pemuda, dengan membentuk sainendan dan keibodan. Di samping itu juga pemerintah pendudukan Jepang membangun beberapa gedung sakolah antara lain di kota Serang dibangun sebuah Chugakko (SMP), di Pandeglang dibangun sebuah Sihan gakko (Sekolah Guru) dan sebuah Nogyo gakko (Sekolah Menengah Pertama) (Asia Raya, 20 Oktober 1942 dan Djajamihardja: Wawancara). Program pendidikan yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang bagi penduduk di Banten sebagai usaha menJepangkan penduduk dilakukan lewat sekolah-sekolah yang para gurunya telah dipersiapkan melalui kursus pendidikan guru yang "dipola" sesuai dengan propaganda Jepang. Kursus untuk guru-guru ini diselenggarakan di Jatinegara, Jakarta, yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan; gelombang pertamanya mulai diselenggarakan pada bulan April 1942. Dalam kursus ini para guru di samping mendapat pelajaran kependidikan juga diajarkan bahasa Jepang, adat istiadat Jepang dan taiso Dari karesidenan Banten di antaranya yang pernah mengikuti kursus guru tersebut adalah: Sumintapura dari Pandeglang, Suwardilangi dari Serang dan R. Djajaroekmantara dari Lebak. (semacam senam pagi).

Untuk membantu pasukan Jepang di medan pertempuran dibentuk Heiho, sebagai prajurit pembantu. Dalam prakteknya, untuk mencari pemuda-pemuda yang akan dijadikan Heiho ini pemerintah pendudukan Jepang pun tidak jarang menggunakan cara paksaan. Pemuda-pemuda Heiho ini dilatih secara kemiliteran dan ditempatkan dalam barak khusus yang diawasi ketat oleh tentara Jepang. Para heiho ini dikirim ke front pertempuran di luar tanah air, sehingga banyak pemuda Banten, yang gugur dalam pertempuran di kepulauan Salomon, melawan tentara Sekutu.

Perubahan sosial politik mulai terasa setelah Jepang berkuasa selama satu tahun. Sikap mereka yang semula ramah dan simpatik berubah kejam, menekan rakyat dengan berbagai peraturan ketat. Pemerintah melarang rakyat mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berkumpul lebih dari dua orang. Semua rakyat yang mempunyai radio harus mendaftarkannya di tempat-tempat dan waktu yang ditentukan dalam Maklumat Kantor Besar Pemerintah Dai Nippon. Radio tersebut harus dibawa ke kantor wedana setempat untuk dilak/disegel. Tujuannya agar rakyat tidak mendengar berita dari luar negeri, terutama berita tentang kedudukan Jepang dalam perang. Di antara peraturan-peraturan itu, ada satu ketentuan yang sangat ditentang oleh para ulama, yaitu kewajiban untuk melakukan seikereimusyrik, dosa yang terbesar dalam Islam. yaitu membungkuk ke arah timur untuk memberi hormat kepada Kaisar Jepang, yang dianggap sebagai dewa matahari. Sikap tersebut oleh para ulama disamakan dengan sikap ruku' pada waktu shalat, sedangkan ruku itu hanyalah kepada Allah, bukan kepada yang lain; apabila sikap ruku' itu dilakukan kepada selain Allah. maka termasuk

Sejak Agustus 1943, inisiatif pertempuran Pasifik beralih ke pihak Sekutu. Di Pasifik Utara pihak Sekutu telah mengusir tentara Jepang dari kepulauan Aleuten; di Pasifik Tengah armada Amerika telah siap mendekati Philipina; di Pasilik Selatan pulau-pulau Guadalcanal dan New Georgia di kepulauan Salomon telah dikuasai Sekutu; di Pasitik Barat, pulau Papua juga telah didarati pasukan Sekutu; bahkan beberapa pulau di Indonesia Timur telah mengalami serangan udara. Sehingga otomatis kedudukan Jepang di Indonesia terancam, sedangkan kekuatan tentara Jepang sudah kemunduran, karenanya diperlukan tambahan tenaga Heiho yang sudah tidak mencukupi lagi.

Dalam pada itu, semangat patriotisme pemuda Indoneda yang sudah dapat bersatu, menginginkan adanya "pasukan" yang menguasai bidang kemiliteran, dan semua anggotanya berasal dari orang Indonesia sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kemerdekaan Indonesia.

Melihat situasi yang dialami tentara Jepang yang dalam keadaan terdesak itu, Gatot Mangkuprojo, salah seorang aktifis pergerakan, pada tanggal 7 September 1943 mengirimkan surat pada Saiko Sakikan (panglima tertinggi) dan Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang, yang isinya tentang permohonan membentukan Jawa kyodo bo ei gyugun (pasukan sukarela untuk membela tanah Jawa); dengan alasan untuk membantu tentara Jepang dalam mempertahankan pulau Jawa dari serangan pasukan sekutu. Pada tanggal 3 Oktober 1943 permohonan dikabulkan oleh pemerintah militer Jepang. Demikianlah pada tanggal tersebut Gunseikan (Panglima Tentara XVI) Letjen Kumakici Harada mengeluarkan sebuah peraturan yang dikenal dengan nama Osamu Seirei no. 44, yang berjudul "Pembentukan pasukan sukarela untuk membela tanah Jawa", yang selanjutnya disebut Pembela Tanah Air (PETA) (Panitia, 1985: 55).

Pembentukan PETA dimulai dengan memilih calon-calon perwira, yakni calon untuk shoodanchocudancho (komandan kompi), dan daidancho (komandan batalyon). (komandan peleton),

a. Untuk calon shodancho umumnya diambil pemuda-pemuda yang baru saja selesai sekolah dan belum bekerja.

b. Untuk calon cudancho diambil dari masyarakat yang sudah mempunyai kedudukan, seperti guru, pegawai pamongpraja, dan pegawai lain.

c. Untuk calon daidancho umumnya dipilih dari tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh luas di daerah setempat.

Untuk calon perwira PETA ini didirikan tempat-tempat pelatihan yang disebut Java bo ei gyugun kanbu kyokutai disingkat kyokutai. Pemusatan pelatihan untuk perwira wilayah Jawa dan Madura terletak di Bogor, sedangkan untuk tingkat budancho (bintara) diselenggarakan di Cimahi, Jawa Barat, dan Magelang, Jawa Tengah; dengan lama latihan antara dua bulan sampai lima bulan sesuai dengan kepangkatannya. Untuk membantu dan mengawasi gerakan PETA, di setiap daidan ditempatkan beberapa perwira, bintara, dan tamtama Jepang, sebagai penasihat dan pengawas. Dalam waktu singkat, berdirilah di daerah-daerah kesatuan PETA di bawah pimpinan perwira-perwira muda. Hal ini menambah rasa harga diri dan kebanggaan rakyat yang menginginkan mempunyai angkatan perang sendiri. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa dalam organisasi PETA tidak ada "jenjang karir", seperti pada ketentaraan layaknya. Tidak ada persyaratan ijazah, kontrak kerja, bayangan gaji, ataupun kenaikan pangkat. Motivasi pemuda waktu itu hanyalah semangat keinginan membela tanah air dan memperoleh keterampilan kemiliteran untuk nanti melepaskan diri dari belenggu penjajah.

Tingkat kepangkatan dalam PETA ini terdiri dari: (1) Daidancho (komandan batalyon), (2) Chudancho (komandan kompi), (3) Shodancho (komandan peleton), (4) Budancho (komandan regu), dan (5) Giyuhei (prajurit sukarela). Tentara PETA di Jawa secara organisatoris di bawah koordinasi 3 orang Ciku bo ei sireikan (setingkat Kodam): (1) untuk wilayah Jawa Barat di bawah pimpinan Mayjen Mabuci dan berkedudukan di Bandung (2) wilayah Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Nakamura berkedudukan di Magelang, dan (3) wilayah Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen lwabe dan berkedudukan di Surabaya (Nasution, 1982: 65-67). Di wilayah Banten terbentuk 4 daidan:

a. Dai ichi Daidan (batalyon I), dipimpin oleh K.H. Tb. Ahmad Chatib, yang berkedudukan di Labuan.

b. Dai ni Daidan (batalyon II), dipimpin oleh Entol Oyong Ternaya, berkedudukan di Kandangsapi, Malimping.

c. Dai san Daidan (batalyon III), dipimpin oleh K.H. Syam'un, berkedudukan di Serang, dengan kompi-kompinya di Merak dan Anyar.

d. Dai yon Daidan (batalyon IV), dipimpin oleh Uding Suriatmadja, berkedudukan di Pandeglang sebagai daidan cadangan (Panitia ..., Naskah).

Di Serang dibentuk pula Yugeki tai (pasukan bawah tanah) merupakan pasukan khusus yang tidak berseragam tentara, dan secara organisatoris berdiri sendiri. Anggotanya ada sekitar 27 orang yang dipimpin oleh Ali Amangku (shodancho), Umar Syarif (shodancho) dan Kamaruzaman (shodancho). Tugas resmi mereka itu sebenarnya adalah untuk meneliti sikap masyarakat terutama tokoh- tokohnya terhadap pemerintah Jepang. Tapi dalam prakteknya, para yugekiWawancara, 11 Nopember 1992). Rakyat di Caringin, sebuah desa di dekat Labuan, dengan dipimpin kyai dan pemuka masyarakat merencanakan mengadakan pemberontakan kepada penguasa militer Jepang. Rencana itu sempat tercium oleh kempetai, sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan. Para kyai dan pemimpin perencana pemberontakan itu ditumpas secara kejam sampai ke akar-akarnya. inilah yang secara diam-diam mendekati para pelajar di sekolah untuk menumbuhkan rasa kebangsaan kepada mereka, sehingga dari mereka itulah kemudian tumbuh TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) (Djadjamihardja,

Di daerah Serang, sejak awal pendudukan Jepang sudah ada gerakan bawah tanah yang menentang fasisme ini, yaitu Gerakan Djojobojo yang dibentuk pada tahun 1941. Organisasi ini berpusat di Jalan Semar, Bandung, yang dipimpin oleh seorang tokoh komunis Mr. Muhammad Yusuf. Cabangnya yang di Serang dipimpin oleh Ce Mamat yang sekaligus mendapat wewenang untuk menangani masalah karesidenaan Banten, Tangerang dan Jakarta. Kegiatan organisasi ini terutama banyak dilakukan di kalangan buruh minyak dan buruh perkebunan, dimana mereka melakukan taktik sabotase misalnya dengan membongkar rel kereta api antara Banjar dan Pangandaran, yang mengakibatkan tergulingnya kereta api militer Jepang pada awal tahun 1943 (Kertapati, 1961: 18-19). Pada akhir tahun 1943, Gerakan Djojobojo tercium oleh pemerintah Jepang, para tokohnya ditangkap dan bahkan ada yang dihukum mati. Tokoh Haji Sinting dari Kaujon, Serang, tertangkap dan dijatuhi hukuman tembak. Ce Mamat sendiri tertangkap di Serang kemudian dibawa ke markas kempetai di Serang, kemudian dipindahkan ke markas pusat kempetai di jalan Tanah Abang III, Jakarta, dan baru dibebaskan pada tanggal 19 Agustus 1945.

Pada tahun 1944 bermunculan organisasi pemuda, yang pada umumnya merupakan cabang dari Jakarta; misalnya Hizbullah, Sabilillah, Lasykar Wanita Indonesia, Barisan Pelopor, Barisan Banteng, dan Barisan Indonesia Merdeka (Bima). Organisasi yang disebut terakhir ini merupakan kegiatan di bawah tanah, yang dalam menyampaikan informasi kepada anggotanya dilakukan secara berantai semacam "sel sistem". Menurut Ayip Dzuhri, bekas tokoh pemuda di Serang, kegiatan Bima ini sebenarnya diujudkan untuk merongrong pemerintah pendudukan Jepang, misalnya melakukan sabotase dan lain-lain.

Sedangkan Barisan Pelopor merupakan organisasi bentukan Jepang, yang didirikan pada tanggal 1 Maret 1941. Cabangnya di Serang diketuai oleh Ayip Dzuhri yang juga menjadi anggota Bima. Menurut Sudiro (1979:4) tujuan utama dari Barisan Pelopor ini adalah sebagai kaderisasi pemuda dan aksi massa. Dalam waktu yang hampir bersamaan, didirikan pula organisasi Barisan Banteng cabangnya di Serang dipimpin Ayip Dzuhri dan Abduhadi. Organisasi ini bertujuan untuk menanamkan semangat kebangsaan. Dalam waktu yang relatif singkat Barisan Banteng ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan pemuda. Gambar kepala banteng yang mereka pakai di ikat kepala, baju atau senjata (berupa tombak), adalah sebagai lambang menolak kerja sama dengan Jepang (Rasyidi, 1979:15). Karena Barisan Banteng menunjukkan sikap yang menentang pemerintahan Jepang, maka organisasi ini pernah dibubarkan. Tapi sejak tanggal 3 Nigatsu 2603 (1943) latihan-latihan dibolehkan lagi dengan beberapa syarat.


Sumber Data :

Halwany Michrob & Mujahid, Catatan Masalalu Banten, Percetakakan Saudara 1993

Halwany Michrob, 30 Tahun Korem 064 maulana Yusuf Banten, Percetakan Saudara 1996

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Percetakan Pustaka Jaya 1984

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Pustaka LP3ES Inaonesia, 2003

1 komentar: