Rabu, 20 Januari 2010

Pernikahan Adat Baduy

DN. Halwany

Buyut nu dititipkeun ka puun

Negara satelung puluh telu

Bagawan sawidak lima

Pancer salawe nagara

Baduy adalah suatu masyarakat yang tradisional yang hidup di dalam sisi barat dari pulau Jawa, Indonesia. Masyarakat ini masih primitif, karena cara hidup mereka mengacu pada sebagian model lama. Di dalam zaman globalisasi mereka masih bertahan hidup dengan prinsip-prinsip hidup yang lama penuh dengan kearifan lokal. Urang "BADUY" Kanekes, yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan, sebagai masyarakat tradisi murni, yang masih kuat menampakan ciri-ciri budaya Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budha. Diantaranya, penghormatan kepada Roh Karuhun (leluhur) serta tercemin pula dalam sementara bentuk sastra lisannya yang mengandung nilai falsafah Sunda buhun, seperti pada mantera. Sampai kini pada era globalissasi komunikasi, pada penghujung Abad XX, masih kuat dan mantap berdiri dengan jatidirinya. Urang Baduy, baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri Urang Baduy adalah Urang Sunda. Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal di luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan. Adapun istilah Sunda Wiwitan bagi orang Baduy Kanekes, pengertiannya tidak hanya terbatas pada etnik atau sub etnik, tapi juga meliputi geografis, sejarah, bahasa, budaya termasuk adat dan kepercayaan. Ada satu penuturan orang Baduy yang berbunyi: "Geunna kami ieu tah, ti nu Karolot geh, Urang Sunda bae, Sunda Wiwitan. Apanan kami ieu tah, cicing di tanah Sunda, nu Karolot urang Sunda, omong Sunda, agama Sunda". Arti bebasnya kira-kira: "Kami ini, sejak Leluhur Orang Sunda, Sunda Wiwitan. Sebab kami diam di tanah Sunda, Leluhur orang Sunda, bahasa kami Sunda, agama Sunda". Demikian dikatakan Aki Puun di saung rumahnya yang berada di Kawasan Baduy Jero Cibeo kepada penulis.

Yang dimaksud Puun, ialah pimpinan tertinggi adat serta pemerintahan adat dan agama. Puun juga merupakan pimpinan tertinggi dalam lembaga ilmu pengetahuan, seperti lembaga untuk meneliti peredaran bintang dalam menentukan penanggalan (kalender) Baduy, hal ini juga bisa dipakai untuk menentukan masa mulai menggarap ladang serta menuai padi. Meneliti garis sastera Bambu untuk menentukan hari kelahiran, perkawinan dan lainnya. Dalam pernikahan di Baduy merupakan sebuah proses yang bukan main-main di kalangan warga Baduy, karena setelah menikah pasangan suami istri tersebut mau tak mau harus sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, sebelum adat pernikahan berlangsung ada serangkaian proses adat yang harus dijalankan calon mempelai laki-laki. Adapun proses sebelum pernikahan tersebut melalui tiga proses yaitu lamaran yang diajukan dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Lamaran pertama diajukan untuk mengungkapkan keinginan meminang anak perempuan (menyatakan keseriusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Setelah delapan bulan, lamaran kedua diajukan. Lamaran kedua merupakan bukti kesungguhan keluarga laki-laki menikah dengan anak perempuan keluarga itu. Selang lima bulan, lamaran ketiga diajukan, dan jika disetujui pernikahan dapat segera dilangsungkan.

 
Ketiga lamaran ini harus dilalui oleh setiap warga Baduy yang akan melangsungkan pernikahan, terutama di Baduy Dalam. Untuk Baduy Luar, banyaknya lamaran bisa kurang dari tiga kali. Selama masa lamaran ini, pinangan laki-laki masih mungkin ditolak. Selama masa lamaran, warga Baduy menjalani bobogohan atau yang kita kenal sekarang sebagai pacaran. Bobogohan merupakan saat perkenalan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah atau dinikahkan. Laki-laki mengunjungi perempuan, calon istrinya. Tetapi, kedatangan laki-laki ini tidak boleh sendiri. Ia harus datang bersama teman-teman laki-lakinya. Karena di Baduy seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak boleh terlihat berduaan. Selain itu, laki-laki harus membantu calon mertuanya bekerja di ladang. Orangtua perempuan akan menilai kerja calon menantunya, apakah layak untuk mendampingi putrinya kelak. Di Baduy keluarga baru harus menghidupi dirinya masing-masing dengan bekerja di ladang. Akan tetapi, tidak semua calon pengantin menjalani bobogohan. Anak-anak yang dijodohkan sering diberitahu dan dipertemukan pada hari upacara pernikahan berlangsung. "Saya dahulu baru tahu kalau hari itu akan dinikahkan setelah ayah pulang dari huma sore hari," ungkap Jakri (29), seorang warga Baduy Dalam. Pada usia 23 ia menikah tanpa mengetahui siapa bakal calon istri yang dipilihkan untuknya. Jakri sempat menyesalkan langkah orangtuanya yang tidak melibatkan dirinya seputar masalah pernikahan ini. Akhirnya, Jakri menerima pernikahan ini sebab ia yakin pilihan orangtuanya telah didasarkan pada berbagai pertimbangan. Selain itu, warga Baduy memang tidak boleh menolak perjodohan yang dibuat orangtua (takut kawalat,..red).

Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un. Setelah kami terjun langsung melakukan observasi, terbukti bahwa dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. Kehidupan mereka hakekatnya sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.



Selasa, 12 Januari 2010

Pantun Buhun Urang Kanekes

DN. Halwany

Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat (Garna,1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Disamping itu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki syair-syair atau pantun-pantun. Adapun syair ataupun pantun tersebut menggunakan bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam lisan sehari-hari Baduy tapi mengandung pituah, perintah, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno. Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa.

Berikut beberapa contoh sastera lisan yang dikenal di kalangan Masyarakat Baduy:

Mantera

Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu. Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas. Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera.

Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :

Sapun awaking reuk make pasang panjang pasadun pok sablapun

Meunag Ahung tujuh kali

Ahung deui

Ahung deui

Ahung malungga

Ahung malingga

Ahung mangdegdeg

Ahung mangandeg

Ahung manglindu asih

Ka Ambu aing Sira mangambung

Ka Bapa aing Sira mangumbang

Pangjungjungkeun panglawungkeun

Ku Ambu aing sira manglaung

Ku Bapa aing sira mangumpang

Pangnyambungkeun aing saur pangngapakeun aing saba

Ka luhur ka mega beureum

Ka mega hideung

Ka mega si karambangan

Ka mega si kareumbingan

Ka mega si karenten

Ka mega si kalambatan

Ka mega si kaleumbitan

Ka mega ssi antrawela

Ka kocapna

Ka ucapna

Ka Puncakning ibun

Ka guru putra hiyang bayu

Ka nu weang nyukcruk ibun

Ahung.......

(dari pantun: Langgasari Ngora)

Tingkatan mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan. Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk. Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:

Weweg sampeg, Mandala pageuh

Mangka tetep mangka langgeng

Mangka langgeng tunggal tineung

Datang hiji datang dua

Datang tilu nungku nungku

Datang opat ngawun ngawun

Datang lima lingga emas

Datang genep nguren nguren

Datang tujuh lilimbungan

Puluhan tanpa wilangan

Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:

Semoga menetap semoga bahagia

Semoga sentausa menyatu kasih

Datang satu datang dua

Datang tiga berangkulan

Datang empat berpasanagan

Datang lima lingga cerlang

Datang enam berpasangan

Datang tujuh menyatu kasih

Berpuluh tidak terhitung

Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi:

Calik calik nu geulis

Nyai Sri calik di dieu

Unggah ka pasaran lega

Geusan sia gagayahan

Geusan sia gagayahan

Di gedong manik mandala pageuh

Lemut teuing ku buruanana

Lesang teuing ku bojana

Nu geulis ranggeuy mirikiniknik

Bar ngampar ku samak metruk

Gasan bujang kasangna bagus

Gasan Nyai tes netepan

Ngajepret palisir bodas

Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:

Silakan singgah nan cantik jelita

Nyai Sri dudukdisini

Naik ke halaman luas

Kalulah jelita pembawa kesuburan

Kaulah jelita pembawa kemakmuran

Duduklah di singgasana manik mandala perkasa

Indahnya halaman yang terhampar

Molek istana yang tersedia

Betapa pemurahnya wahai dikau jelita

Nan cantik molek pembawa kemakmuran

Duduklah beralas tikar kedamaian

Di tempat istirahat indah alamnya

Tempat Nyai menyantaikan diri

Berbaring tenang dengan tentram.

Adapun Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping). Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya. Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.

Pikukuh, adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung).

Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna!

Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"

SASTERA LISAN BADUY