Kamis, 28 Mei 2009

Tradisi “Seba” Peninggalan Adat Leluhur Baduy

DN. Halwany


"Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung"
(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).

Filosofi itulah hingga kini tetap aktual bagi komunitas Baduy dipedalaman Lebak yang merayakan tradisi upacara Seba sebagai wujud ungkapan syukur kepada Bapak Bapak Gede (Bupati atau kepala pemerintahan daerah).

Perayaan adat Seba, menurut warga Baduy, merupakan peninggalan leluhur tetua (Kokolot) yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap tahun. Acara itu digelar setelah musim panen ladang huma, bahkan tradisi sudah berlangsung ratusan tahun sejak zaman Kesultanan Banten di Kabupaten Serang. Namun, dalam upacara Seba kali ini, di Pendopo Pemkab Lebak berbeda dengan tahun-tahun lalu. Seba tahun ini jumlah pendatang warga Baduy Luar dan Baduy Dalam terbesar hingga tercatat sebanyak 1.031 orang atau 10 persen dari penduduk 10.074 jiwa.

Seba itu sediri merupakan menyerahan hasil tani atau hasil bumi pada pemerintah setempat yang biasa kita sebut dengan upeti pada kerajaan, itu semua merupakan rasa syukur masyarakat baduy luar dan baduy dalam karena mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah, kegiatan seba ini tanpa ada paksaan dari manapun masyarakat baduy luar yang dipimpin oleh Jaro maupun baduy dalam yang dipimpin oleh Puun, bersama-sama berbondong-bondong membawa hasil tani tersebut pada pemerintahan yang saat itu diserahkan pada Bupati Lebak secara langsung di pendopo Kabupaten Lebak.

Kawasan Baduy yang menghuni lahan seluas 5.108 hektare itu, dan seluas 3.000 hektare di hutan lindung dalam acara Seba tersebut meminta perlindungan kepada Bupati dan aparat pemerintah daerah sehingga masyarakat Baduy merasa aman dan damai. Kejadian pemerkosaan dan penyerobotan tanah ulayat yang menimpa warga Baduy tahun lalu, jangan sampai terulang kembali. Demikian permintaan warga Baduy dalam acara Seba tersebut. Panggilan kewajiban Seba begitu sakral, karena prosesi itu titipan dari Lembaga Adat Baduy dari leluhur hingga dijalankan para generasi penerusnya. Malam itu, ribuan warga Baduy memadati pelataran Pendopo tampak hening dan khusyu tak ada satu pun orang-orang yang bercanda atau mengganggu acara tersebut.

Baduy Dalam, berseragam serba putih-putih hingga kini masih mempertahankan adat mereka. Baduy Dalam pergi kemana-mana selalu ditempuh berjalan kaki. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan, termasuk mengikuti upacara Seba dengan berjakan kaki sepanjang 50 Km. Bagi Baduy Luar yang berseragam hitam-hitam kehidupannya lebih modern, dan mereka kemana-kemana menggunakan kendaraan bahkan di zaman sekarang ini juga banyak warga Baduy Luar memiliki telepon seluler (ponsel).

Ayah Mursid (35), seorang kepala Lembaga Adat Baduy Dalam (Tangtu Jaro 3), memiliki kekuasaan Cibeo, Cikeusik, Cikawartana, sejak usia 12 tahun sudah mengikuti acara Seba, sehingga dirinya cukup dikenal di kalangan pejabat pemerintah maupun masyarakat Lebak. Ia bersama Naldi (20), warga Cikeusik, melakukan perjalanan menuju Pemkab Lebak yang cukup melelahkan sekitar 12 jam, dan mereka berjalan kaki hingga sepanjang 12 kilometer menembus perbukitan Gunung Kendeng di kawasan Baduy.

Selama menempuh ke pusat pemerintahan, ia juga beberapa kalii melepaskan rasa lelah dengan beristirahat di sepanjang jalan. "Kami mulai pergi dari Kampung Cibeo sekitar pukul 5.00 pagi. Orang-orang masih tidur lelap. Namun, perjalanan lancar hingga sampai di sini pukul 17.00 sore," katanya.

Prosesi upacara Seba suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan menjadikan ketetapan Lembaga Adat Masyarakat Baduy yang diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. "Seba itu titipan adat yang harus dijalankan karena jika tidak dilaksanakan khawatir kami kualat," katanya. Namun demikian, kendati melelahkan Seba itu, ia merasa senang selain bisa bertemu langsung bersama Bupati dan aparat Muspida setempat.

Saidi sebagai Jaro tanggungan 7 yang membawahi Lembaga Masyarakat Baduy Luar sekaligus memimpin acara Seba itu meminta perlindungan kepada Bupati sebagai kepala daerah dan Kepolisian setempat, agar ditegakan hukum bagi pelaku kerusakan hutan maupun pemilik ternak yang masuk ke wilayah kawasan Baduy. "Di perbatasan masih ada ternak warga luar yang masuk ke kawasan Baduy hingga merusak tanaman, padahal kami sudah beberapa kali melaporkan ke aparat polisi, namun hingga kini belum juga ditindak," katanya. Ia mengatakan, pihaknya berharap dalam kehidupan itu dilindungi oleh pemerintah daerah sehingga warga Baduy merasa tenang dalam menjalankan aktivitas pertanian.

"Sebagai rasa syukur, kami tak seberapa memberikan hasil pertanian, tetapi kedatangan ke sini hanya menjalin hubungan erat bersama pemerintah daerah," demikian Saidi, saat memberikan sambutannya di hadapan Bupati serta Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).

1 komentar:

  1. assalamualaikum,
    Kang Naufal salam kenal saya Ferry, staf pengajar FH untirta, saat ini sedang S2 di FH Undip. Proposal tesis saya di ACC mengenai Hukum Pidana Adat Baduy. Punten jika merepotkan, Kira-kira dimana saya dapat lihat Buku alm bapak yang berjudul The way of life Suku Baduy as cultural....
    Saya putera Aman Sukarso, Ia beberapa kali menceritakan alm Halwany Mihrob dalam beberapa kali obrolan. Ia temen alm bapak dulu. Saya juga pernah bertemu dengan Kang Agus Tiar, memperkenalkan diri karena surprise 'menemukan' putera alm Halwani Mihrob. Saat ini saya masih di Semarang, Insya Allah turun lapang ke Baduy bada Lebaran Fitri, tapi sebelumnya saya membutuhkan banyak data tentang Baduy sebelum turun. Hatur nuhun.
    Wasslamualaikumwr.wb

    BalasHapus