Senin, 03 Agustus 2009

Cerita Rakyat Banten “Gubernur Jendral Herman Willem Dendles”

DN. Halwany

Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Daendels, adalah nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah di bumi kita tercinta ini antara tahun 1808 dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya. Sebelum meninggalkan negeri Belanda menuju Jawa, Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.

Kedua tugas ini diberikan kepadanya mengingat bahwa pada saat itu negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan Inggris adalah salah satu negara yang belum bisa ditaklukkan Prancis yang saat itu. (Eymeret: 1973: 29). Pada tanggal 28 Januari 1807 Daendels menerima tugas untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda langsung dari Louis Napoleon atas perintah dari Napoleon Bonaparte. Persiapan keberangkatannya pun dilakukan. Pada tanggal 9 Februari 1807, Louis Napoleon menandatangani instruksi yang harus dilakukan oleh Daendels. Instruksi itu terdiri atas 37 pasal. Pada bulan Maret, Daendels berangkat secara diam-diam, agar tidak diketahui pihak Inggris, melalui Paris, kemudian ke Lisabon dengan menaiki kapal Amerika dan mengubah namanya menjadi Van Vlierden. Dari Lisabon Daendels berlayar menuju Kepulauan Kanari selanjutnya menuju pulau Jawa. (Paulus: 1917: 554). Pada tanggal 1 Januari 1808, setelah menempuh perjalanan selama 10 bulan, Daendels mendarat di Anyer hanya dengan didampingi oleh seorang ajudannya dan tanpa memiliki surat-surat kepercayaan. Dari Anyer dia melalui jalan darat menuju ke Batavia untuk menemui gubernur jenderal saat itu, yaitu Henricus Albertus Wiese (Stapel: 1940: 35). Tampaknya Wiese telah menerima berita pengangkatan Daendels. Pada tanggal 14 Januari 1808 Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada Daendels.

Hubungan Daendels dengan Raja-Raja di Jawa Barat

Sebenarnya Daendels melakukan intervensi terhadap kekuasaan kesultanan di Jawa, yakni: Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), Yogyakarta dan Surakarta (Vorstenlanden). Namun, sesuai dengan tema seminar ini, hanya akan dibahas hubungan Daendels dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Hubungan antara Daendels dan raja Banten bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon. Ribuan pekerja dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan itu. Dalam pekerjaan ini terjadi banyak korban manusia baik yang berasal dari kalangan pribumi maupun dari kalangan orang Eropa, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. Untuk melanjutkan proyek itu Daendels meminta kepada Sultan Banten saat itu, untuk menyediakan tenaga baru dari Banten. Sultan Banten menolak permintaan itu mengingat banyaknya korban yang sakit dan mati karena penyakit. Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirimkan utusannya yang bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar bersedia mengirimkan rakyatnya. Du Puy diserang dan dibunuh. Keadaan ini membuat Daendels marah, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Banten. Sultan Banten menyerah dan diasingkan ke Ambon, sementara pemerintahan diserahkan kepada putra mahkota (Murdiman: 1970:14). Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan kondisi di Banten. Pada akhir abad ke 18, di kraton-kraton Cirebon cukup kacau akibat konflik di dalam kraton. Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya, untuk menjalankan

Sumber lain menyebutkan bahwa Daendels pergi ke Jawa melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari, New York baru menuju ke Jawa dengan menggunakan kapal Amerika (Graaf: 1949: hal. 363). pemerintahan di kraton dilakukan oleh beberapa adipati. Ketika sultan wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal juga secara mendadak. Sementara itu putranya yang diharapkan menggantikannya usianya masih sangat muda. Akibatnya, pemerintahan di dalam kraton diserahkan kepada walinya hingga tahun 1799. Kondisi kraton menjadi sangat kacau ketika putra Sultan yang dulu dibuang ke Maluku melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia. Sementara itu Sultan Kanoman meninggal tahun 1798. Namun, yang menggantikan bukan putra mahkota, melainkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kekacauan yang mengakibatkan banyak orang Cina terbunuh. Akibat kerusuhan ini putra mahkota Kanoman ditangkap dan dibawa ke Batavia karena dianggap mendalangi kerusuhan itu. Ribuan rakyat protes ke Batavia, tetapi bisa dihalau di Krawang. Akibat dari kejadian ini semua, putra mahkota Kanoman dibuang ke Ambon. (Lubis, 2000: 45-47) Pada masa Daendels menjadi gubernur jenderal. Oleh Daendels para penguasa kerajaan tidak diijinkan menggunakan sebutan sultan lagi, melainkan menggunakan sebutan pangeran. Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember 1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan yang juga dikenal dengan istilah Benteng Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan.

Jatuhnya Kesultanan Banten berdasarkan arsip yang ada

Berdasarkan ringkasan daftar keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang dibuat di Banten tanggal 22 Nopember 1808 terdapat dua hal yang berkaitan dengan jatuhnya Kesultanan banten, yaitu: Pertama, Berita Acara terbunuhnya Komandan Du Puy dan Letnan Kohl serta seorang Eropa dan tiga anggota militer pribumi dan kedua perintah untuk Raja Banten. Daendels menerima laporan terbunuhnya Komandan Du Puy, Letnan Kohl, tiga orang Eropa dan tiga anggota militer pribumi. Pada saat Du Puy dipanggil oleh utusan Sultan agar datang menghadap ke Benteng Intan (Istana Sorosowan), Komandan Du Puy diserang oleh adipati Pangeran Wargadiraja hingga meninggal. Sultan dianggap mengetahui rencana pembunuhan itu dan tidak melakukan apa-apa, bahkan membiarkan para penyerang merusak mayat Du Puy, kemudian dengan sangat kejam menyeretnya menuju sungai dan menenggelamkannya. Kejadian ini juga menimpa para anggota militer Eropa dan pribumi yang menyertai Du Puy ke sana. Wakil pemerintah yang ditugaskan ikut menjaga Kraton yang bernama Kapten Kohl, pada malam sebelum pembunuhan itu dibuat mabuk, sehingga Sultan dianggap dengan bebas bisa membunuhnya esok harinya. Sultan tidak melakukan tindakan pencegahan sedikitpun. Selain itu juga ada tuduhan pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Banten yakni: adanya serangan terhadap tiga orang serdadu Eropa yang dikirim ke teluk Anyer. Namun, tidak semuanya berhasil dibunuh, karena sebagian bisa melarikan diri ke seberang.

Selanjutnya Daendels memberikan instruksi bagi Raja Banten yang baru, untuk mengesahkan tata cara berikut upacara bagi Prefect Banten, apabila dia tiba sebagai wakil pemerintahan umum Paduka Raja.

1. Tidak ada upacara yang dilakukan apabila pada kesempatan ini Prefect tidak sedang diminta untuk menghadap raja;

2. Dalam kesempatan resmi tergantung pada kondisi, Prefect setelah menyampaikan kepada raja alasan pertemuan ini, oleh empat utusan dikawal dan upacra dari pihak raja Banten akan diadakan sesuai kebiasaan;

3. Prefect setelah mendekati raja akan dilengkapi dengan sebuah payung besar yang baik pada sisi dalam maupun luarnya dicat kuning dan diberi warna pinggi emas dan batangnya lebar, dan selain itu akan dicat biru muda dengan tombol emas, yang harus dipegang oleh seorang pembantu sampai di rumah ketika dia harus diterima oleh raja dengan seluruh ikat kepalanya.

4. Raja harus berdiri dari kursinya ketika Prefect memasuki istana dan harus menyambutnya ketika Prefect di sini menyampaikan salamnya kepada raja, seperti halnya diadakan upacara secara cermat ketika kembali terjadi dia duduk di sebelah kanan raja dan kemudian disesuaikan dengan pemilihan.

5. Dalam peristiwa upacara ini bisa ditunjukan bahwa kepada raja ketika tampil di depan umum dan Prefect kebetulan ada di sana, harus digandeng tangannya di bawah pengawasan Prefect dan dipayungi.

6. Apabila raja menghampiri Prefect, ketika memasuki benteng Speelwijk atau di tempat lain di mana pejabat ini biasa tinggal, dilepaskan tiga tembakan senapan, dan kepada Prefect wajib menyambutnya, membawanya masuk namun para pejabat rendahan bisa menerimanya di depan atau di luar kompleks bangunan itu.

7. Juga para pejabat rendahan seperti halnya Prefect baik yang berjalan kaki maupun berkereta dan berkuda bisa berangkat dan dinaiki bila mereka kebetulan berhalangan.

8. Apabila seorang Prefect atau pejabat lain bertemu dengan raja di tengah jalan, setiap orang akan berbagi jalan dan masing-masing memberi salam, namun anggota militer bisa berdiri di depan raja.

9. Apabila Prefect berjalan menghampiri raja, dia akan berjalan di belakang korps prajurit jaga yang terdiri atas seorang sersan, seorang kopral dan 12 orang prajurit biasa.

10. Pada semua upacara lain, sejauh dirasakan perlu oleh Prefect, harus dihadiri pula oleh raja ketika upacara ini diadakan seperti yang ditetapkan dalam pasal 6.

11. Dengan kedatangan Prefect di Banten, Prefect akan menyampaikan kepada raja yang akan memberikan sambutan kedatangannya sebelum dia sendiri menghadap raja.

12. Selain itu kepada Prefect dan raja diberi wewenang untuk saling bertemu secara kekeluargaan tanpa upacara. Setelah itu Prefect dalam semua aspek akan memperhatikan kepentingan martabat negara yang diwakilinya dan memperhatikan agar raja dan para bangsawannya baik dari pihak penguasa Eropa maupun bangsanya sendiri dihormati martabatnya.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya. Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.

Sumber data;

Michrob, Halwany, 1994, “Festifal Banten 94” booklet atau brosur tempat wisata di daerah Banten.

Michrob, Halwany, 1990, diambil dari buku berbahasa Belanda yang berjudul “Geschiedenis van Indonesie” 1949

1 komentar: