Kamis, 05 Februari 2009

Banten Dalam Lintasan Sejarah

DN. Halwany



“Kejayaan Banten yang pernah menembus dunia internasional harus dijaga dan lebih ditingkatkan dalam perkembangannya. Karya Syeikh Nawawi Al Bantani, sampai sekarang masih menjadi rujukan referensi di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir dan beberapa universitas terkenal di timur tengah. Bahkan Banten pernah memiliki mata uang sendiri yang digunakan untuk berdagang dengan dunia luar. Bahkan orang-orang Barat dari Denmark, Portugis, Belanda bisa hidup berdampingan di Banten. Ini mencerminkan betapa kejayaan Banten demikian maju saat itu,”

“Adanya kesultanan Banten, masjid agung, dan menara adalah simbol nilai-nilai religius yang telah lama tertanam dalam masyarakat Banten,”

Demikian ungkapan Dr. Hidayat Nurwahid, mantan Presiden PKS yang sekarang menjadi ketua MPR, tiga tahun yang lalu dalam seminar “Membangun Kembali Kejayaan Banten” yang digelar oleh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) propinsi Banten, Sabtu (27/9), di Hotel Mahadria, Alun-Alun, Serang. Banyak yang mesti dikenali lebih mendalam tentang Banten oleh para kader PKS terkait kepentingan partai dakwah ini memenangkan PILKADA Banten akhir 2006. Terlebih jika dilakukan pendataan kader, maka jumlah kader PKS dipropinsi Banten tidak sedikit yang berasal dari daerah diluar Propinsi Banten. Bahkan, mungkin kader yang merupakan orang perantauan jumlahnya lebih banyak jika dibanding dengan putra daerah yang asli Banten. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap kader untuk mengenal Banten lebih dalam, baik tentang; sejarah, budaya, penduduk, penyebaran agama, pendidikan maupun potensi kewilayahan, demi upaya yang optimal untuk memenangkan PILKADA.

Sejarah Banten
Banten sebagaimana nama suatu wilayah sudah dikenal dan diperkenalkan sejak abad ke 14. Mula-mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah hingga orang Eropa yang kemudian menjajah bangsa ini. Pada tahun 1330 orang sudah menganal sebuah negara yang saat itu disebut Panten, yang kemudian wilayah ini dikuasai oleh Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Pada masa-masa itu Kerajaan Majapahit dan Kerjaan Demak merupakan dua kekuatan terbesar di Nusantara. Tahun 1524 - 1525 para pedagang Islam berdatangan ke Banten dan saat itulah dimulai penyebaran agama Islam di Banten. Sekitar dua abad kemudian berdiri Kadipaten Banten di Surasowan pada 8 Oktober 1526. Pada tahun 1552 - 1570 Maulana Hasanudin Panembahan Surasowan menjadi Sultan Banten pertama.

Kesultanan Banten
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524-1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.



Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa lahir tahun 1631, adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.

Banten Pasca Kemerdekaan
Setelah memasuki masa kemerdekaan, muncul keinginan rakyat Banten untuk membentuk sebuah propinsi. Niatan tersebut pertama kali mencuat di tahun 1953 yang kemudian pada 1963 terbentuk Panitia Propinsi Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Dalam pertemuan antara Panitia Propinsi Banten dengan DPRD-GR sepakat untuk memperjuangkan terbentuknya Propinsi Banten. Pada tanggal 25 Oktober 1970 Sidang Pleno Musyawarah Besar Banten mengesahkan Presidium Panitia Pusat Propinsi Banten. Namun ternyata perjuangan untuk membentuk Propinsi Banten dan terpisah dari Jawa Barat tidaklah mudah dan cepat. Selama masa Orde Baru keinginan tersebut belum bisa direalisir. Pada Orde Reformasi perjuangan masyarakat Banten semakin gigih karena mulai terasa semilirnya angin demokrasi dan isu tentang otonomi daerah. Pada 18 Juli 1999 diadakan Deklarasi Rakyat Banten di Alun-alun Serang yang kemudian Badan Pekerja Komite Panitia Propinsi Banten menyusun Pedoman Dasar serta Rencana Kerja dan Rekomendasi Komite Pembentukan Propinsi Banten (PBB). Sejak itu mulai terbentuk Sub-sub Komite PBB di berbagai wilayah di Banten untuk memperkokoh dukungan terbentuknya Propinsi Banten. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan akhirnya pada 4 Oktober 2000 Rapat Paripurna DPR-RI mengesahkan RUU Propinsi Banten menjadi Undang-undang No. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten.

Banten menjadi Propinsi
Provinsi ini dulunya merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat, namun dipisahkan sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-undang no.23 tahun 2000. Wilayahnya mencakup sisi barat dari Provinsi Jawa Barat, yaitu Serang, Lebak, Pandeglang, Cilegon, dan Tangerang. Ibukotanya Serang. Tanggal 17 Oktober 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mengesahkan UU No. 23 Tahun 2000 tentang PBB. Sebulan setelah itu pada 18 Nopember 2000 dilakukan peresmian Propinsi Banten dan pelantikan Pejabat Gubernur H. Hakamudin Djamal untuk menjalankan pemerintah propinsi sementara waktu itu sebelum terpilihnya Gubernur Banten definitif. Pada tahun 2002 DPRD Banten memilih Dr. Ir. Djoko Munandar, MEng dan Hj. Atut Chosiyah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pertama. Propinsi Banten terletak pada koordinat 5°7′50" - 7°1′11" LS dan 105°1′11" - 106°’12" BT dengan Ibukota Propinsi adalah Serang. Luas wilayahnya mencapai 9.160,70 km2 dengan jumlah penduduk 7.451.300 jiwa (2003). Ragam suku bangsa yang mendiami propinsi ini diantaranya: suku Banten, Sunda, Baduy, Jawa, dan Lampung, dan lain-lain. Adapun penyebaran agama yang dianut oleh masyarakat Banten adalah; Agama Islam (96,6%), Kristen (1,2%), Katolik (1%), Budha (0,7%), dan Hindu (0,4%). Bahasa komunikasi sehari-hari yang digunakan dalam masyarakat antara lain Bahasa Indonesia, Jawa-Banten, Sunda, dan Jawa.



Sumber Data :
1. Halwany Michrob, 1992, Pengembangan Industri Keramik di Banten
2. Halwany Michrob, 1992, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Baten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar