Jumat, 18 Desember 2009

Seren Taun Cisungsang

DN. Halwany



Patromak mah nu geulis, lampu patromak
Patromak mah si Bapa peupeus kacana
Ngahormat mah geuningan abdi ngahormat
Ngahormat ti Abdi kasadayana, geuningan kasadayana….

Sanes hideung mah nu gede ku bajuna
Hideung soteh si Nyai ku calanana
Sanes nineung si Bapa mah ku lucuna
Nineung soteh ka Abdi sok ku belana, geuningan sok kubelana….

Tong ka leuweung nu geulis sok seuur sireum
Ka cai mah si Nyai geura mandikeun
Tong ka deungeun nu geulis sok Abdi nineung
Pasini jeung Abdi geura jadikeun, Silanglai…. Sidulaela…..

Syair-syair sisindiran dalam seremonial cisungsang yang biasa dilantunkan dengan alat musing Angklung buhun sebagai pengiringnya, hal ini dapat dilihat pada seren taun Cisungsang yang biasa dipagelarkan pada saat panen raya di bulan Juli yang bermaksud penyimanan hasil panen dalam lumbung padi. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Cisungsang yaitu Bahasa Sunda.

Cisungsang sebuah daerah yang memiliki luas ± 2.800 km2. Terletak di kaki Gunung Halimun, Desa Cibeber Kabupaten Lebak, kawasan ini dikelilingi oleh 4 (Empat) desa yaitu Desa Cicarucub, Bayah, Citorek, dan Cipta Gelar. Nama Cisungsang pada awalnya berasal dari nama salah satu sungai yang mengalir dari Talaga Sangga Buana. Talaga ini mengalir ke 9 (sembilan) sungai yaitu Sungai Cimadur, Ciater, Cikidang, Cisono, Ciberang, Cidurian, Cicatih, Cisimeut, dan Cisungsang. Wilayah Cisungsang dapat ditempuh dengan waktu 5 jam saja dari kota Rangkasbitung Kab. Lebak atau berjarak ± 175 Km dari pusat kota Provinsi Banten. Kondisi jalan menuju lokati tersebut cukup baik dan dapat ditempuh dengan kendaraan apapun.

Kebudayaan

Kawasan ini dipimpin oleh seorang Kepala Adat, yang penunjukannya melalui proses wangsit dari karuhun. Dikawasan ini sudah penggantian kepala adat dan telah terjadi 4 generasi yaitu generasi pertama oleh dipimpin oleh Embah Buyut yang berusia ± 350 tahun, generasi kedua oleh Uyut Sakrim berusia ± 250 tahun, generasi ketiga oleh Oot Sardani berusia ± 126 tahun dan generasi keempat oleh Abah Usep yang sekarang berusia 35 tahun, dimana beliau mulai memegang tampuk pimpinan pada usia 19 tahun. Abah Usep ini selain menjadi kepala adat beliau mempunyai keahlian di bidang supranatura (dukun) yaitu bisa membaca pikiran orang, Dalam menjalankan pemerintahannya Abah Usep dibantu oleh 87 Rendangan artinya orang yang ditunjuk secara turun temurun yang merupakan perwakilan dari kepala adat.

Sedikit berbeda dengan masyarakat Baduy, masyarakat Cisungsang lebih terbuka terhadap perkembangan, seperti baduy menggunakan sistem isolasi yakni masyarakatnyanya (baduy dalam) tidak dapat beralkulturasi dengan masyarakat luar, sedangkan masyarakat cisungsang tidak seperti itu terbukti dengan adanya penerangan listrik, bentuk rumah, bertani sudah menggunakan alat-alat yang modern dan media elektronik sudah ada seperti TV, Radio, Tape Recorder, Telepon dan Satelit. Namun tentu saja tanpa meninggalkan budaya asli leluhurnnya seperti bentuk rumah tradisi yaitu rumah kayu berbentuk panggung dengan alat memasak tungku (hawu) yang di atasnya dilengkapi tempat penyimpanan alat-alat dapur yang disebut Paraseuneu.

Pakaian adat masyarakat Cisungsang adalah Pakaian dengan 2 warna Hitam dan Putih (Hideung sareng Bodas) mengandung arti yaitu hideung yang berasal dari kata hideng yang berarti cerdas, cepat mengerti. Sedangkan bodas artinya putih bersih, suci jadi harus mempunyai hati yang bersih. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian bertani, berdagang bahkan setelah dipimpin oleh Abah Usep, sebagian besar anak mudanya menjadi pekerja buruh ke kota-kota terutama ke Jakarta dan Sukabumi.

Kepecayaan
Sistem pemerintahan yang digunakan dalam masyarakat Cisungsang menganut 3 sistem, yaitu : sistem pemerintahan negara, sistem kasepuhan (hukum adat), dan sistem agama (hukum Islam). Masyarakat Cisungsang menganut Agama Islam namun dalam mengatur kesehariannya mereka juga memiliki hukum adat dalam perkembangan, kehidupan sehari hari mereka juga menggunakan Syariat Islam salah satu contoh mereka biasa melakukan shalat, Mereka lebih percaya dengan adanya wangsit dari karuhun melalui Kepala Adat (Abah Usep), jadi segala sesuatu ditentukan oleh Abah Usep misalnya jika Abah tidak menghendaki sesuatu atau yang tidak diharapkan akan terjadi akibatnya yaitu berupa sering menderita sakit, usaha selalu rugi/gagal, rumah tangganya berantakan dan sampai ada yang meninggal dunia secara tiba-tiba. Karena lebih meyakini hukum adat maka masyarakat Cisungsang sangat menjaga dan mematuhi larangan-larangan dan kewajiban dari kepala adat karena diyakini akan terjadi sesuatu (kualat) jika melanggar, tapi jika kepala adat menghendaki akibat itu tidak terjadi maka masyarakat Cisungsang harus melakukan Lukun (Pengakuan Dosa).


Lukun ini terbagi kedalam 3 (tiga) tahapan sesuai dengan perbuatan/dosa-dosa yang melanggar hukum adat diantaranya :

1. Lukun Lima (5) yaitu jika seseorang melakukan perbuatan/dosa kecil cara yang harus dilakukan adalah menyembah Kepala Adat/Abah sebanyak lima kali disertai dengan doa-doa.

2. Lukun Tujuh (7) yaitu seseorang melakukan dosa sedang cara yang dilakukan menyembah Kepala Adat /Abah sebanyak tujuh kali disertai doa-doa,

3. Lukun Salapan (9) yaitu seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum adat yang sudah parah seseorang ini akan menyerahkan diri sampai berani dibunuh dan biasanya sampai meninggal dunia kalau tidak segera melakukan lukun salapan.


Masyarakat Cisungsang sangat percaya dengan hukum adat, hukum adat ini merupakan perwujudan amanat-amanat leluhur dari sekelompok suku yang hidup turun temurun untuk kemudian dijadikan pedoman dalam memutuskan sikap hidup. Dalam hal ini Masyarakat Cisungsang memiliki pandangan hidup yang sangat terikat serta patuh terhadap peraturan hukum adatnya yang berlaku secara turun temurun. Masyarakat Adat Cisungsang sangat mengagungkan Padi (pare) Sari Pohaci Dewi Sri, dengan keyakinan bahwa padi ini sebagai sumber kehidupan mereka maka masyarakat ini selalu mengadakan upacara-upacara atau ritual-ritual untuk mengagungkan padi diantaranya dari menanam padi sampai menyimpan padi harus mengadakan selamatan yang disebut dengan Ngamumule Pare (memelihara padi).

Rangkaian Ritual dalam rangka Ngamumule Pare:

1. Nibakeun Sri ka Bumi yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat akan menyebar benih dan waktu dari menyebar sampai menuai benih selama 45 s/d 50 hari. Kegiatan ini diawali dengan mengadakan upacara selamatan yang dilakukan dirumah kasepuhan dan diawali dengan acara doa bersama, dilanjutkan dengan makan bersama dan mengadakan hiburan. Kesenian yang ditampilkan adalah Angklung buhun dan Dogdog lojor. Kegiatan ini dilakukan dari pagi hari sampai dengan siang hari;

2. Ngamitkeun Sri U Bumi yaitu kegiatan yang dilakukan sebelum memetik atau menuai hasil panen yang diawali dengan upacara selamatan yang dilakukan dirumah kasepuhan dan diawali acara doa bersama, dilanjutkan dengan makan bersama dan hiburan dengan menampilkan Angklung buhun dan Dogdog lojor. Kegiatannya dilakukan pagi hari sampai siang hari;

3. Ngunjal yaitu kegiatan penyimpanan padi ke lumbung (leuit) setelah dikeringkan/dilantayan. Kegiatan ini diawali dengan acara selamatan (doa bersama) dengan menyediakan tumpeng dan diiringi tetabuhan dogdog lojor dan rengkong;

4. Rasul Pare di Leuit yaitu mempersembahkan tumpeng rasul dan bebakak ayam jantan berwarna kuning keemasan. Kegiatan ini dilaksanakan dan dipimpin oleh ketua adat yang didampingi 7 (tujuh) orang pake pake kolot (tujuh orang tua yang diambil berdasarkan garis keturunan);

5. Seren Taun (menyimpan padi ke lumbung) dilakukan setiap tahun yang jatuh di bulan Juli dan untuk tahun berikutnya maju 10 (sepuluh hari) dari tahun sebelumnya. Kegiatan seren taun ini berlangsung selama 7 (tujuh) hari 7 (tujuh) malam. Ada 3 (tiga) kegiatan pokok yang tidak boleh dilewatkan dengan tahapan sebagai berikut :

a. Hari Jumat malam Sabtu wajib menampilkan kesenian tradisional pantun;

b. Hari Minggu jam 14.00 WIB, kirim doa ka karuhun (leluhur) yaitu suatu acara yang bersifat sakral dan wajib dilakukan;

c. Hari Senin jam 12.00 WIB, Rasul Seren Taun yakni kirim doa kepada Yang Maha Kuasa yang dipimpin oleh Abah (ketua adat) yang wajib diikuti oleh seluruh perwakilan adat rendangan kasepuhan Cisungsang. Selain Upacara Ngamumule pare di Desa Cisungsang ada beberapa upacara adat lainnya yaitu:

a. Acara Bulan purnama yaitu acara adat yang dilaksanakan 12 kali dalam setahun setiap tanggal 14 pada waktu bulan purnama, dilakukan dengan menggunakan bacaan Jangjawokan, menurut beberapa adat jangjawokan ini ada yang bisa diinformasikan kepada orang tertentu, ada yang tidak bisa diinformasikan kepada orang lain;

b. Acara Ngukus di Pandaringan adalah acara dimana setiap Minggu malam Senin dan Rabu malam Kamis mengadakan Pedupaan di setiap rumah;

c. Acara Prah Prahan, dilaksanakan Hari Jumat pertama bulan Muharam, dimana seluruh masyarakat adat membawa Sawen, bubur beureum (bubur merah), bubur bodas (bubur putih) yang dikumpulkan dirumah ketua adat untuk diberi doa/mantera (jangjawokan) yang dipimpin langsung oleh ketua adat. Selanjutnya dibawa lagi ke rumah masing-masing masyarakat adat untuk segera ditempelkan dilawang panto (diatas pintu). Isi Sawen berupa :

· Daun Hanjuang;

· Daun Tulak Tanggul;

· Sulangkar;

· Daun Darangdan;

· Daun Ilat;

· Daun Rane;

· Daun Palias;

· Pacing;

· Lempah Bodas (Bubur Putih);

d. Acara Rasul Mulud adalah acara yang wajib dilakukan pada bulan Mulud dan dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis setelah tanggal 14 (empat belas) pada bulan tersebut;

e. Acara Rasul Ruwah adalah acara yang wajib dilakukan pada bulan Ruwah dan dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis setelah tanggal 14 (empat belas) pada bulan tersebut;

f. Acara Nyebor, kegiatan ini merupakan lanjutan dari prah prahan yaitu suatu kegiatan dimana para bayi yang lahir pada tahun tersebut untuk di simur/nyimur. Acara simur ini dilakukan oleh petugas khusus yang dinamakan Tukang Rorok.

Atraksi dan Fasilitas

Bagi para wisatawan yang penat dengan rutinitas keseharian, kawasan sejenis ini sedang menjadi trend alternatif, yang sangat tepat dalam ‘merecovery’ sekaligus pembangkit jiwa petualangan anda, tentu dengan suguhan alam asri, dalam balutan budaya masyarakat tradisional. Sekaligus nikmati pula fasilitas tradisional home stay dengan harga yang sangat terjangkau.


Kesenian yang berkembang di masyarakat Adat Cisungsang adalah:
1. Angklung buhun;
2. Dogdog lojor;
3. Sisindiran/pantun;
4. Ngagondang;
5. Wayang golek;
6. Ujungan, terdiri dari Hoe ageung,Hoe alit dan Golok;
7. Silat baster diiringi pencak silat tarik kolot;
8. Rengkong;
9. Celempung, yaitu alat musik dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul dengan telapak tangan
10. Karinding;
11. Betok, yaitu Bass dari bambu yang dimainkan dengan cara ditiup;


Sedangkan cara penyajian Angklung buhun meliputi 12 orang dan dibagi kedalam 2 regu, masing – masing regu terdiri dari 6 orang yaitu 2 pemain dogdog dan 4 pemain angklung. Angklung buhun ditampilkan setiap mengadakan upacara-upacara adat sedikitnya 4 kali dalam setahun, gerakan dari angklung buhun yaitu 2 langkah kedepan dan 1 langkah kebelakang yang artinya mawas diri atau setiap melakukan pekerjaan jangan selalu melihat kedepan harus sekali-kali melihat kebelakang uraian penyajian;

1. Bubuka;

2. Lagu-lagu angklung;

3. Ngadu angklung;

4. Penutup.

1 komentar:

  1. Sangat komprehensif dan baik sekali runutan deskripsi kegiatan kampung ini. Cukup menjelaskan kenapa sampai terjadi musibah longsor yang terjadi di desa ini. Alloh pencipta langit dan bumi sudah menekankan bahwa dosa syiriq tidak terampuni. Abah Usep sudah bersikap layaknya Tuhan. Semoga masyarakat sekitar desa dapat mengambil hikmah dan pelajaran.

    BalasHapus