Kamis, 17 April 2008

Si Bunda Puisi Banten yang Terlupakan


DN. Halwany

Dewasa ini banyak peninggalan kota lama yang bernilai dan memiliki nilai historis yang dapat menyiarkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah. Ini terlihat dari struktur, konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi kota lama, tentunya tidak terlepas dari berbagai peristiwa idiologi (keagamaan), politik, kebudayaan (kontak antar etnis/ras) serta keamanan. Jika dilihat bangunan kuno peninggalan sejarah di Banten maka banyak terlihat pengaruh dari “luar” dan dipengaruhi pula oleh ekspresi seni, lambang status dan kenyamanan penghuninya pada masa itu. Seperti terlihat pada bangunan – bangunan seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Gedung Timayah, Jembatan Rante, Benteng Speelwijk, Pelabuhan Karangantu, Kelenteng Cina, Waduk Tasikardi, Gedung Kapolres dan gedung-gedung yang memiliki ciri khas bangunan kuno di Banten lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.

Runtuhan sisa-sisa bangunan itu, memperlihatkan suatu kualitas yang kukuh dan kokoh pada masa itu. Dari peninggalan Banten lama dapat diperoleh gambaran-gambaran mengenai perkembangan yang terjadi dari masa kemasa jika dilihat dari objek arsitektur yang senantiasa berubah dalam kurun waktu yang cukup lama. Perkembangan kota ditinjau dari perubahan elemen-elemen primer dengan latar belakang non pisik. Objek ini dapat dimamfaatkan untuk mempelajari pola perkembangan kota dan unsur yang mempengaruhinya, semuanya itu tidak lepas dari pengaruh luar terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan Idielogis Kerajaan Banten pada masa itu. Sebagai mana yang dikatakan oleh H. William Sallers (1984 : 1) reruntuhan dan sisa – sisa bangunan dalam kota kuno itu mungkin akan memperlihatkan suatu kualitas khusus yang kukuh memadai pada masa-nya, atau kualitas tertentu spesifik tersebut berupa rancang bangun yang sama sekali tidak lazim, kualitas keterampilan manusia pembuatnya dalam rinciannya, atau kualitas itu berupa bentuk – bentuk yang amat langka ditemukan pada bentuk - bentuk umum.

Ternyata masih banyak peninggalan kota lama yang bernilai yang terlantar dan kurang mendapatkan perhatian dari masyarkat ataupun pemerintah. Keberadaan peningalan tersebut sebagai salah satu asset untuk pemerintah Propinsi Banten sekaligus sebagai wahana pelestarian, pembinaan dan pengembangan budaya Propinsi Banten serta sebagai sarana pendidikan dan informasi berbagai aspek sejarah dan untuk menginventarisir berbagai aspek kebudayaan yang ada di wilayah Banten.

Keraton Kaibon

Komplek Keraton Kaibon atau Kaibuan terletak di Kampung Kroya, merupakan keraton tempat kediaman ibu Ratu Asyiah, ibunda Sultan Syarifudin. Komplek ini pada tahun 1832 di bongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, sekarang tinggal pondasi, tembok dan gapura saja. Keraton ini mempunyai sebuh pintu besar yang dinamai pintu dalam. Di pintu gerbang sebelah barat terdapat tembok, pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Padureksa dan Bentar).

Apabila dibandingkan dengan arsitektur Keraton Surosowan, maka Keraton Kaibon ini nampak lebih “archaik” terutama apabila di lihat dari rancang bangun pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu Bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbangyang menuju pintu bagian keraton yaitu gerbang Padureksa. Dalam konsep arsitektur Hindu pembedaan jenis pintu (Bentar dan Padureksa) mengacu pada jenis dan fungsi bangunan sakral atau profan.

Keraton Surosowan

Komplek Keraton ini sekarang sudah hancur. Yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi sisa-sisa bangunan berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa-sisa bangunan pemandian dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambang. Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 – 2 meter dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama dibagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali.

Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat sama panjang, dengan luas kurang lebih tiga hekto are, pintu masuk / pintu gerbang berada di sisi utara menghadap ke alun-alun, dan di sisi timur berdasarkan peta dan gambar lama. Pada keempat sudut benteng , kita dapati bagian tembok yang menebal yang menjorok keluar (bastion), sedangkan dibagian sisi sebelah dalam benteng pada keempat sudutnya terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang ada dalam tembok benteng. Dilihat dari gambar dan peta lama diketahui pula bahwa kompek ini dahulunya dikelilingi oleh parit yang digunakan sebagai pertahanan, sekarang parit ini sebagian telah hilang, dan yang masih ada terletak di sebelah bagian selatan dan barat benteng.

Berdasarkan sejarah Banten komplek keraton Surosowan di bangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin (1552 –1570), sedangkan tembok benteng dan gerbangnya terbuat dari batu bata dan batu karang dibangun pada masa Sultan Maulana Yusuf (1570 – 1580).

Benteng Speelwijk

Benteng ini terletak di kampung Pamarican dekat Pabean. Sekarang sudah hancur, tetapi sebagian dari temboknya masih utuh terutama yang terletak di sisi utara benteng, di atas reruntuhan sisi utara tembok keliling benteng Speelwijk di bagian luar terdapat parit buatan yang mengelilinginya.

Benteng Speelwijk terletak kurang lebih 600 m di sebelah barat keraton Surosowan, berbentuk persegi panjang tidak simetik karena setiap sudutnya terdapat Bastion. Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda dan untuk menghormatinya nama yang diberikan pada benteng ini adalah nama pejabat Belanda yaitu Gubenur Jendral Cornelis Janszon Spelman yang bertugas di Banten pada tahun antara 1681 – 1684.

Klenteng China

Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit, sementara itu menurut catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan Menara Banten. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten menurut catatan Cortemunde (1659), Klenteng ini terletak di kampung Pabean dan bangunannya bekas kantor douane (bea cukai) itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw.

Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah lainnya pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha.

Danau Tasikardi

Sub sistem pemukiman manusia, merupakan salah satu prilaku adaptasi manusia dalam melindungi dirinya dari faktor-faktor lingkungan alam. Salah satu fungsi instruksi dari sub sistem pemukiman yakni; secara spesial sub sistem pemukiman manusia merupakan benteng ruang bagi manusia untuk menyelengarakan sebagian aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Salah satu komponen persyaratan layak atau tidaknya sesuatu bentang ruang untuk dapat dijadikan pemukiman, ialah tersedianya suplai air bersih, dengan merekayasa sumber air yang tersedia di sekitar lingkungannya. Di Banten eksistensi waduk Tasikardi yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tirtayasa, merupakan suatu fenomena yang amat menarik. Waduk Tasikardi melalui hasil penelitian para arkeolog mengenai aspek fisik maupun aspek fungsi menghasilkan signifikasi yang cukup tinggi terutama dalam aspek fungsinya seperti penunjang kesejahteraan masyarakat, sebagai prasarana kegiatan ekonomi pertanian dan sekaigus yang sifatnya rekreatif. Tasikardi terletak kurang lebih 2 km di sebelah tenggara kraton Surosowan, adalah suatu danau buatan/situ yang luasnya kurang lebih 5 ha yang pada tengahnya terdapat sebuah pulau kecil yang khusus di buat untuk ibunda Sultan bertafakur “mendekatkan diri pada Allah”

Makam Sultan

Kota kerajaan yang semula di Banten Girang dipindahkan ke dekat muara Sungai Cibanten yang kemudian dikenal dengan nama Banten. Pemindahan ibu kota ini setelah Pucuk Umun (Raja Banten) ditaklukkan dan daerahnya diislamkan.

Sultan Hasanudin merupakan raja pertama yang memimpin Kerajaan Islam Banten setelah didirikan oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah yang kemudian berdiam di Gunung Jati, Cirebon. Gelar yang dipangku saat itu adalah Panembahan Maulana Hasanudin. Biasanya sepulang dari berziarah, kebanyakan orang membawa air putih dalam botol kemasan air mineral. Air ini sengaja diletakkan di dekat makam raja ketika dia berwirid atau membaca Al-Quran. Air ini diyakini telah diberkati. Setiap tahun tercatat 12-13 juta orang berdatangan ke kawasan reruntuhan Keraton Kerajaan Islam Banten yang jaya pada abad ke-12. Mereka datang dari berbagai daerah, baik dari luar maupun dari Banten sendiri. Kedatangan mereka selain untuk berwisata, juga untuk mendapat berkah di petilasan kerajaan ini.

Sebelum berziarah ke makam raja, kebiasaan para wisata zarah tidak lupa membeli air mineral untuk meangkap berkah doa-doa. Pulangnya. tidak lupa pula, menyiapkan recehan karena akan diserbu pengemis anak-anak yang merengek dan mengikuti. Sekali memberi recehan, pengemis lain akan mengerubuti.

Masjid Banten

Berdasarkan data yang baik verbal maupun piktoral, Mesjid Agung Banten ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan yang pertama yaitu Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570) yang bergelar “Penembahan Surosowan”, beliau dilahirkan pada tahun 1479 M. Di Cirebon, putra dari perkawinan Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dengan Ratu Kaung Anten. Dan kemudian dilanjutkan pembangunan masjid Agung tersebut oleh putranya yaitu Sultan Maulana Yusuf yang menjadi Sultan ke-II, memerintah antara tahun 1570- 1580 Masehi. Pembangunan masjid secara lengkap mulai dilaksanakan pada tanggal 5, bulan Dzulhizah tahun 966 Hijriah atau 1569 Masehi.

Mendekati lokasi Masjid Agung Banten terdapat reruntuhan Keraton Kaibon yang kini sudah dipagar. Keraton Kaibon dibangun setelah berdirinya Keraton Surosowan yang merupakan keraton utama, tempat raja menjalankan pemerintahannya. Pembangunan kedua keraton itu dibantu arsitek Portugis bernama Cordel yang dianugerahi gelar Tubagus (Tb) Wiraguna.

Peninggalan tersebut ada yang masih utuh dan banyak yang tinggal reruntuhan saja bahkan tidak sedikit yang berupa frgmen-fragmen kecil atau berupa artefak-artefak kecil. Sebelum memasuki wilayah Banten Lama, kita akan banyak jumpai reruntuhan-reruntuhan yang temboknya masih terpelihara, ada yang berupa pintu gerbang, keraton dan banyak lagi yang lainnya yang masih berdiri tegak dengan motif arsitek yang cukup unik, hasil ciptaan para arsitek dari Belanda, Gujarat, dan Cina. Sedangkan di pusat pemerintahan Banten arsitek bernuangsa Islam, karena pada masa itu jaman keemasan Islam di Banten sekitar abad ke XVI - XVIII. Banten Lama letaknya kurang lebih 10 km sebelah utara Kota Serang, dapat di jangkau dengan berbagai jenis kendaraan tampa kesulitan.

Sumber Data :

  1. Halwany Michrob & Mujahid Hudori, 1993, Catatan Masa Lalu Banten
  2. Festifal Banten 94

3. Halwany Michrob, 1997, Dissertation “Historical Reconstruction and Modern Development of The Islamic City of Banten, Indonesia

4. Hasan M. Ambary & Halwany Microb, 1992, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar