Kamis, 26 Februari 2009

Antara Debus Banten dan Deboah Aceh

DN. Halwany


Masyarakat Indonesia, sesuai dengan yang tercantum pada sila pertama Pancasila, dikenal sebagai masyarakat relijius. Di samping itu, tak dapat disangkal pula bahwa mereka masih percaya akan hal-hal yang berbau mistis, gaib, atau magic. Dunia mistis dalam masyarakat kita lantas dikaitkan erat dengan ibadah atau praktik ritual yang dilakukan oleh setiap masyarakat daerah atau suku bangsa yang ada di Indonesia; seperti ritual-ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat yang diakomodir menjadi sebuah kesenian/kebudayaan dari daerah di Indonesia.

Banten adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan sekaligus nama suku bangsa asal yang terdapat di provinsi tersebut. Sebagian orang berpendapat bahwa orang Banten adalah orang Sunda juga, karena kebudayaan yang ditumbuhkembangkan oleh mereka pada umumnya sama dengan orang Sunda. Dalam kebahasaan misalnya, orang Banten menggunakan bahasa yang mereka sebut sebagai "Sunda-Banten", yaitu bahasa yang menunjukkan beberapa perbedaan dibandingkan dengan bahasa Sunda yang lain, terutama dalam intonasinya. Lepas dari masalah kesamaan dan perbedaan kebudayaan yang ditumbuhkembangkan oleh orang Sunda dan orang Banten itu, yang jelas bahwa Banten adalah sebuah suku bangsa yang ada di Provinsi Banten (Melalatoa, 1995).

Sebagaimana masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia, orang Banten juga mempunyai berbagai jenis kesenian tradisional. Salah satu diantaranya yang kemudian yang kemudian menjadi label masyarakat Banten adalah debus. Banyak pendapat dari beberapa orang bahwa, jika seseorang mendengar kata "debus", maka yang terlintas dalam benaknya adalah "Banten".

Konon, kesenian yang disebut sebagai debus ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah yang dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada abad ke-16. Para pengikut tarikat ini ketika sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena "bertatap muka" dengan Tuhan), kerap menghantamkan berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi yang mereka gunakan adalah "lau haula walla Quwata ilabillahil 'aliyyil adhim" atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Jadi, kalau Allah mengizinkan, maka pisau, golok, parang atau peluru sekalipun tidak akan melukai mereka.

Di Banten pada awalnya kesenian ini berfungsi untuk menyebarkan ajaran Islam. Namun, pada masa penjajahan Belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa, seni ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat Banten untuk melawan Belanda. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini hanya berfungsi sebagai sarana hiburan semata.
Pemain Para pemain debus terdiri dari seorang syeh (pemimpin permainan), beberapa orang pezikir, pemain, dan penabuh gendang. 1-2 minggu sebelum diadakannya pertunjukan debus biasanya para pemain akan melaksanakan pantangan-pantangan tertentu agar selamat ketika melakukan pertunjukan, yaitu: (1) tidak boleh minum-minuman keras; (2) tidak boleh berjudi; (3) tidak boleh mencuri; (4) tidak boleh tidur dengan isteri atau perempuan lain; dan lain sebagainya.

Permainan debus biasanya dilakukan di halaman rumah pada saat diadakannya acara-acara lain yang melibatkan banyak orang. Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah: (1) debus dengan gada-nya (2) golok yang digunakan untuk mengiris tubuh pemain debus; (3) pisau juga digunakan untuk mengiris tubuh pemain; (4) bola lampu yang akan dikunyah atau dimakan (sama seperti permainan kuda lumping di Jawa Tengah dan Timur; (5) panci yang digunakan untuk menggoreng telur di atas kepala pemain; (6) buah kelapa ; (7) minyak tanah dan lain sebagainya. Sementara alat musik pengiringnya antara lain: (1) gendang besar; (2) gendang kecil; (3) rebana; (4) seruling; dan (5) kecrek.

Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhanPermainan debus pada umumnya diawali dengan mengumandangkan beberapa lagu tradisional (sebagai lagu pembuka atau "gembung"). Setelah gembung berakhir. Tujuannya adalah agar mendapat keselamatan selama mempertunjukkan debus. Setelah zikir dan macapat selesai, maka dilanjutkan dengan permainan pencak silat yang diperagakan oleh satu atau dua pemain tanpa menggunakan senjata tajam yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Setelah itu barulah atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam lidah, kulit pipi dan angggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.

Sebagai tambahan, pada atraksi penusukan perut dengan menggunakan debus, seorang pemain memegang debus, kemudian ujungnya yang runcing ditempelkan ke perut pemain lainnya. Setelah itu, seorang pemain lain akan memegang kayu pemukul yang disebut gada dan memukul bagian pangkal debus berkali-kali. Apabila terjadi "kecelakaan" yang mengakibatkan pemain terluka, maka Syeh akan menyembuhkannya dengan mengusap bagian tubuh yang terluka disertai dengan membaca mantra-mantra, sehingga luka tersebut dalam dapat sembuh seketika. Kemudian, ketika atraksi penyayatan tubuh dengan sejata tajam seperti golok dan pisau, pemain akan menusukkan senjata tersebut ke beberapa bagian tubuhnya seperti: leher, perut, tangan, lengan, dan paha. Namun, melakukannya, ia mengucapkan mantra-mantra agar tubuhnya kebal dari senjata tajam. Salah satu contoh mantranya adalah: "Haram kau sentuh kulitku, haram kau minum darahku, haram kau makan dagingku, urat kawang, tulang wesi, kulit baja, aku keluar dari rahim ibunda. Aku mengucapkan kalimat la ilaha illahu". Dan, ketika atraksi pemakanan kaca dan atau bola lampu, yang dimuntahkan bukannya serpihan kaca melainkan puluhan ekor kelelawar hidup.

Permainan debus yang dilakukan oleh masyarakat Banten, jika dicermati secara mendalam, maka di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama dan bekal kehidupan di kemudian hari. Nilai-nilai itu antara lain kerja sama, kerja keras, dan religius. Nilai kerja sama tercermin dalam usaha para pemain yang saling bahu-membahu dalam menunjukkan atraksi-atraksi debus kepada para penonton. Nilai kerja keras tercermin dalam usaha pemain untuk dapat memainkan debus. Dalam hal ini seseorang yang ingin memainkan debus harus berlatih secara terus menerus sambil menjalankan syarat-syarat dan pantangan-pantangan tertentu agar ilmu debusnya menjadi sempurna. Dan, nilai religius tercermin dalam doa-doa yang dipanjatkan oleh para pemain. Doa-doa tersebut dibacakan dengan tujuan agar para pemain selalu dilindungi dan mendapat keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan permainan debus.

Sedangkan permainan debus dikenal oleh orang Aceh adalah permainan daboh, di Aceh deboah biasa menggunakan rebana sebagai pengiring, mengiringi atraksinya di panggung sepanjang permainan seni debus ala Aceh atau biasa disebut rapa’i daboh. Setelah merapal mantra yang berbunyi "Haram kau minum darahku, haram kau sentuh kulitku, haram kau makan dagingku. Urat kawat, tulang besi, kulit baja. Aku keluar dari rahim ibunda. Aku masuk pada kalimah la ilaha illahu", maka seketika ia tikamkan rencongnya (senjata tajam khas Aceh-Red) ke perut, paha, lengan, serta bagian tubuh lainnya. Besi tajam bernama rencong itu, atas izin Allah, ternyata mendengar permintaan kita Permainan ini hampir serupa dengan permainan yang ada di Banten.

Sebagaimana galibnya seni tradisi di Tanah Air yang memiliki unsur pendukung sesuai dengan fungsi dan tugasnya, di kesenian daboh ini juga terdapat pembagian kerja sesuai bidangnya masing-masing. Pada daboh ada pemimpin yang bertugas memimpin pertunjukan. Disusul oleh jabatan khalifah yang bertanggung jawab secara keilmuan (khalifah inilah yang akan mengobati jika peserta daboh ada yang terluka, atau menangkal ilmu-ilmu dari orang lain yang hendak berlaku jahil). Dalam bahasa yang biasa kita kenal, mereka biasanya akan berkata, "Satu guru satu ilmu, dilarang saling mengganggu." Berikutnya adalah pemain rebana (rapa’i) dan pemain atraksi kekebalan tubuh. Para pemain rapa’i, tentu saja berfungsi mengiringi penampilan aktor yang beratraksi di panggung sambil dengan memukul rapa’i (rebana" secara berirama disertai nyanyian yang di dalamnya berisi mantra mohon kekebalan).


Sumber Data :
1. Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam kasanah Budaya Nusantara I. Jakarta, PDK
2. Halwany Michrob, 1989, Debus Al Madad Tradisional Pereforming Art of Banten
3. Buklet 1994, Banten Festifal 94
4. Buklet 1997, Banten The Virgin Destination of Indonesia
5. Tim penyusun Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Prop. Banten,
2003, Profil Seni Budaya Banten

1 komentar:

  1. bisa minta musik pengiring kesenian debusnya ? bisa di download dimmana yah ?

    BalasHapus