Kamis, 26 Februari 2009

Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah

DN. Halwany

Mengamati berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata (krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987). Data arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan. Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah, Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.

Sub sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230). Sementara itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan pemukiman manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 : 11-25-1122).

Melihat rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya masalah ini antara lain :
- Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
- Monopoli rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi, disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, Halwany & Mujahid,1990:21).

Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda. Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56). Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India. Untuk menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng, pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.

Pekerjaan pertama Deandles adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Daendels memerintahkan kepada Sultan Banten. untuk mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar pekerjaan yang direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya berawa-rawa, banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga banyak diantara mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan sultan yang datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya :
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun
benteng Belanda.

Sudah tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda, maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton (Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis, 1881). Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan, sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.

Setelah Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II). Pengerjaan pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja yang mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.

Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.

Karena banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk Marica, terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil, akhirnya Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh Daendels sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat menguasai Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11), Daendelas mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi. Akhirnya Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia karena disana masih banyak binatang buas.

Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.

Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.



Sumber data;
1. Michrob, Halwany, 1990, diambil dari buku berbahasa Belanda yang berjudul “Geschiedenis van Indonesie”
2. Michrob, Halwany, 1991, Data Arkeologi Putau Panjang Jawa Barat, Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala Jabar,
DKI, Lampung 1991
3. Michrob, Halwany, 1994, “Festifal Banten 94” booklet atau brosur tempat wisata di daerah Banten
4. Michrob, Halwany dan Hujahid, 1990, Masa Lalu Banten, Serang
5. Chang Kwang chih, Major Aspects of Tnterelationstrip of Archaeology and Ethnology,
6. Michrob, Halwany 1990, Data arkeologi Pulau Panjang
7. Sanusi pane, Sejarah Indonesia I, Balai Pustaka, Jakarta 1950
8. Soetjipto Wirjosoeparto, 1951, Sejarah Nasioanal Indonesia II, Jakarte Indonesia
9. Chijs, van der 1881, Oud. santam, Tijdschrift van het Bataviaasch Gencschap van Kunstenen Wetenschappen
10.Soebroto ,Ph. , 1985 , studi tentang pemukiman Arkeotogi : Kemunginan Penerapannya di Indonesia A III.l-9B3,
Jakarta: Dedikbud. Catatan

1 komentar: