Selasa, 24 Februari 2009

Batik Kebantenan

DN. Halwany

Sandang adalah salah satu kebuntuhan paling pokok manusia dalam melindungi, menghiasi dan memberi arti pada tubuh sekaligus statusnya. Mulai dari bentuk fungsional yang paling sederhana, sandang menjalani sejarah panjang seiring dengan perjalanan sejarah kemanusiaan. Aneka ragam budaya manusia, menghasilkan pula keanekaragaman sandang, mulai dari bahan, potongan (model), ragam hias, sampai pada asesorinya, Penkembangan pemikiran dan penghayatan manusia terhadap jagad beserta isinya, menjadikan sandang sebagai salah satu kancah simbolisme, baik pada ragam hias bentuk dan fungsinya.

Kita sudah kenal dengan kain batik, yakni salah satu produk sandang yang dikembangkan oleh sejumlah etnik lokal, terutama di Jawa, Bali den Sumatera. Di Pulau Jawa sendiri, berkembang seni batik yeng dipengaruhi oleh aliran-aliran besar seni yang bensumber pada tamaddun besar, seperti: Tuban, Lasem, Madura, Mantingan, Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, Kacirebonan dan Kabentenan. Diasumsikan bahwa pembuatan batik dl daerah Jawa Barat berumur sama tuanya dengan tradisi pembuatan batik di daerah Jawa Tengah, Teknik celup tahan air, sudah lama dikenal sepentl terlihat pada tradisi pembuatan batik di berbagai daerah Banten (pesisiran) dan Suna Kuna (pedalaman). Sisa-sisa tradisi pembuatan batik di wilayah Banten, antara lain masih dapat ditelusuri dikalangan komunitas Baduy (Lebak), Bojonegara dan Pontang (serang), termasuk data-data piktorial yang dikemukakan oleh P.A.A. Djajadiningrat.

Dokumen sejarah pun memberikan informasi kepada kita mengenai adanya ekspor-impor berbaga jenis kain dan tidak tertutup kermungkinan adanya lintas niaga kain batik Kabantenan, sekalipun rincian untuk itu sampai sekarang belum ditemukan. Namun dari berita/catatan de Houtman, antana Lain menyebutkan bahwa barang-barang yang dibawa dan diperdagangkan oleh orang Cina, ialah: sutra, laken, beludru, benang emas, taplak, bejena, perunggu, panci tembaga cor dan tempaan cermin, sisir, kaca mata, belerang, pedang Cina, kipas angin, akar-akar Cina dan payung (Rouffaen & IJuerman, 1915: 110). Sementara itu para pedagang laln dlsebutkan membawa: beras, guci, lak, genta, batu berhanga, perak, bahan makanan, kesturi, bahan kaca, gading, permata, kain, mentega, dendeng, daging asin, beras, gandun, minyak, gula, tembega, sutera, saputangan, bedak, pakaian tenun, rempah-rempah dan sebagainya.

Batik Kabantenan, bagaimana pun memiliki kaitan erat terhadap berbagai aspek penafsiran sejarah, sepenti: asal-usul, regam hias, simbolisme, perilaku, rasa memiliki (sense of belonging), sekaligus rasa ingin menyelamatkan tradisi (cares). Seni batik adalah seni tulis yang langsung digambar pada media kain dengan menggunakan malam/lilin serta pewarna yang produknya kemudian dikenal dengan nama “kain-batik”. Seni batik, dapat pula diartikan sebagai seni melukis pada kain. Kajian Panamita Abdurrachman sampai pada dugaan bahwa batik berkembang luas di India, Gujanat, China dan Asia Tenggara, dan bahkan DR. J.L.A. Brandes (1883), menyatakan bahwa kepandaian membuat kain batik, merupakan salah satu anasir asli Indonesia sebelum tenjadinya kontak dengan tradisi besar dari India. Menurut Brandes, anasir asli lainnya adalah: pengenalan metrik asli, kemampuan astronomi dan navigasi, bertanam padi di sawah dengan sistem irigasi yang teratur, mengembangkan permainan gamelan dan wayang, pengenalan sistem alat tukar, kemampuan menggolah logam dan sebagainya.

Manusia agaknya tidak puas hanya memenuhi kebutuhan fungsioal primer, Banyak benda-benda/penalatan fungsional kemudian diberi hiasan, baik dengan menera (incised), melukis (paniting), mengukir (engrave), menempeli (applique), mewarnai, menekan (impressed) dan sebagainya. Evolusi terus berjalan, tetapi mungkin pula simultan. Sejumlah hiasan itu kemudian menjadi simbolisasi gegasan akan berbagai hal, termasuk konsep-konsep serta persepsi sang seniman terhadap jagat, lingkungan, kehidupan, kematian, keindahan, kepercayaan dan sebagainya. Simbolisasi melalui berbagai media tersebut (batu, tembikar, keramik, kaca, kulit, tulang, gading, kayu, kain dll.) di presentasikan dalam berbagai wujud dan dimensi, motif – motif flora, fauna dan pola-pola geometri sebagai simbolisasi persepsi seniman dalam menangkap gejala-gejala alam, menjadi dominan dalam sejumlah karya seni rupa.

Manusia dan kelompoknya terus berintenaksi dengan kelompok - kelompok lain, dan terjadilah penyebaran dan penyeberan gagasan-gagasan, termasuk gagasan dalam bidang seni. Transformasi berpola mau pun acak saling bertumburan, membaur, bahkan kemudian memberi corak khusus pada berbagai produk lokal, sesuai dengan gaya kostum setempat. Pada abad XIX dan mungkin sejak abad-abad sebelumnya, tumbuh dan berkembang gaya-gaya daerah (1) pesisiran, dan (2) pedalaman. Pada gaya-gaya pesisiran diserap anasir-anasir jawi sementara dari pedalaman berkembang gaya penganuh sunda. Pada keduanya motif tumpal menjadi anasir hias yang utama. Apabila gaya Trusmi Cirebon berani untuk tidak mengandalkan simetri pada seluruh bidang, dan lebih menyajikan corak yang tegas dan nyata di atas bahan polos. Maka Batik Keabantenan memperlihatkan jiwa yang keras, jujur dan lurus.

Pada Batik Kabantenan tiba-tiba muncul tipe mascot sarung menyambung dengan motif/disain flora dan fauna, yang digunakan oleh golongan elite kekuasaan pada masa lampau, namun pada penggal kedua abad XX motif ini kemudian lebih banyak digunakan sebagai busana pengantin sunat. Bentuk tetap, namun fungsi berubah, sesuai dengan tuntutan masa. Dari segi dan tataran artefaktual, eksistensl Batik Kabentenan masih tampak dibuat dan dipakai di komunitas Baduy baik Baduy luar mau pun dalam, sementara di Bojanegara dan pontang masih ditemukan sejumlah alat tenun tradisional (ATBM), dan sisa - sisa batik kabantenan masa Kesultanan, juga menjadi sebagaian koleksi batik di Museum Nasional.



Sumber Data :
1. Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara I. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
2. Buklet 1994, Banten Festifal 94
3. Buklet 1997, Banten The Virgin Destination of Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar